Turbulensi Hebat dari Para Pembenci Bitcoin

Mata uang virtual (MUV) bitcoin (BTC) dan ratusan MUV lainnya kian terjerembab keras setelah Bank Sentral Tiongkok melarang beroperasinya sejumlah bursa MUV di Negeri Panda itu. Pada 14 September 2017 lalu, BTCC mengumumkan akan menghentikan kegiatan perdagangan bitcoin di website mereka mulai 30 September 2017 mendatang. Sebelumnya pasar sempat bullish  setelah keluar pernyataan terbuka dari orang dalam Bank Sentral Tiongkok, bahwa penghentian perdagangan MUV hanya sementara saja. Setelah kabar BTCC itu menyeruak, sontak pasar MUV dunia “memerah”. Harga bitcoin pun merosot hingga US$1.000 dalam tempo tujuh hari saja.

Ketika berita ini kami susun (15 September 2017 pukul 12.34), berdasarkan data di coinmarketcap.com harga satu unit bitcoin secara global  diperdagangkan US$3.237 per BTC. Turun sangat cepat dari US$3.835 pada 24 jam sebelumnya. Bitcoin kehilangan US$598 dengan perubahan sekitar 11,8 persen. Sementara itu Ether (ETH) rontok hingga US$216, kehilangan volume -19,8 persen dalam 24 jam, diikuti oleh Bitcoin Cash (-21,2 persen), Litecoin (-28,9 persen), dan NEO (-22 persen)

Situasi itu diperparah gara-gara pernyataan CEO JP Morgan, Jamie Dimon pada 13 September lalu, bahwa bitcoin lebih parah daripada fenomena Tulip Mania. Akibatnya harga bitcoin turun lebih dari 6 persen. Pernyataan itu seolah-olah JP Morgan tidak meyakini potensi MUV secara umum di masa depan. Padahal JP Morgan sendiri sejak Mei 2017 lalu telah bekerjasama dengan pengembang MUV ZCash untuk membuat teknologi blockchain sendiri. Memang, Dimon dalam pernyataan itu memisahkan secara jelas antara MUV dan blockchain, yang merupakan teknologi dasar dari MUV dan aset digital lainnya.

Dipetik dari Guardian.com (13/9), Dimon mengungkapkan, “Bitcoin adalah penipuan, hanya cocok bagi pengedar  obat terlarang, pembunuh, dan orang-orang yang tinggal di Korea Utara.” Dimon menambahkahkan, “Mata uang (bitcoin) tidak ada apa-apanya. Anda tidak bisa memiliki bisnis, di mana banyak orang dapat membuat mata uang sendiri dan berpikir orang-orang itu adalah orang yang sangat cerdas.”

Beberapa jam sesudahnya, giliran Jeffrey Gundlach si pendiri DoubleLine Capital angkat bicara. Dia bilang, seperti yang dipetik dari businessinsider.sg, “Saya tidak tertarik membeli bitcoin yang sekarang sedang jatuh.” Pernyataan senada juga disampaikan oleh Mohamed El-Erian, Kepala Penasihat Ekonomi Allianz pada Rabu lalu.

Berbeda dengan mereka bertiga, Tom Lee, Pendiri Foundstrat bulan lalu mengatakan kepada media dia meyakini harga bitcoin akan naik menjadi US$6 ribu per BTC setidaknya pada medio tahun 2018. Pada masa itu bitcoin setidaknya lebih mainstream dan kesadaran publik lebih luas daripada hari ini sebagai metode pembayaran dan pilihan investasi selayak emas. Dia pun memrediksi harga bitcoin pada tahun 2022 mampu mencapai US$25.000 per BTC. Lee bukan asal ngomong, dia memiliki metode tersendiri dalam prediksinya itu. Lee mengasaskan analisisnya dengan menggunakan Hukum Metcalfe, bahwa nilai jaringan bertambah berlipat-lipat berdasarkan jumlah pengguna di dalamnya.

Demi Tekan Korea Utara?

Entah kebetulan atau tidak, pernyataan Dilon dan penutupan bursa bitcoin oleh Bank Sentral Tiongkok keluar setelah dua hari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan sanksi keras kepada Korea Utara. Sanksi itu diasaskan pada resolusi sanksi yang dirancang oleh Amerika Serikat. Sanksi itu adalah respons kepada Korea Utara, setelah negara komunis itu beberapa kali meluncurkan peluru kendali (rudal) berhulu ledak nuklir.  Terakhir rudal ditembakkan ke wilayah kepulauan Jepang. Walaupun Tiongkok dan Rusia memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, kedua negara yang “bersahabat” dengan Korea Utara itu justru menyetujui sanksi tersebut.

Beberapa hal penting dalam rancangan resolusi sanksi itu mencakup pemutusan impor minyak Korea Utara, pelarangan ekspor tekstil, menghentikan kontrak kerjasama buruh dari Korea Utara di luar negeri, menekan usaha-usaha penjualan batubara dan besi di pasar gelap, menghentikan kerjasama modal (joint ventures) dengan negara lain dan sanksi-sanksi lainnya terhadap banyak hal terkait pemerintahan Korea Utara.

Batubara adalah komoditi utama dan terbesar Korea Utara yang mencapai US$951 juta pada tahun 2015 dan selama setahun belakangan turun hingga 75 persen, setelah pada Juli lalu Tiongkok menghentikan impor batubara dari negeri itu atas permintaan Amerika Serikat sebagai bagian dari tekanan kepada Korea Utara. Tiongkok adalah negara terbesar pengimpor barang-barang dari Korea Utara. Pada 2015 Tiongkok mengimpor sekitar 40 persen batubara dari Korea Utara.

Mengingat Tiongkok mendukung tekanan kepada Korea Utara melalui beragam pelarangan bernilai ekonomi itu, kita patut menduga bahwa pelarangan bitcoin di Tiongkok dan semua hal terkait MUV adalah bagian dari tekanan Tiongkok kepada Korea Utara setidaknya mampu memotong suplai bitcoin ke Korea Utara yang ternyata rajin mengoleksi bitcoin dengan cara menambang atau mencurinya melalui aksi peretasan ke Bithumb dan Yapizon di Korea Selatan.

Ingat bahwa Tiongkok adalah pasar MUV terbesar, hingga kurang lebih 22 persen dari total pasar bitcoin dunia. Lebih dari 70 persen penambang (miner) bitcoin ada di Tiongkok dan Bitman dan Canaan masih mendominasi produksi peranti keras bitcoin mining. Bukan tidak mungkin pula ada perdagangan aktif bitcoin antara Korea Utara dan Tiongkok selama ini.

Priscilla Moriuchi Director of Strategic Threat Development di Recorded Future mengungkapkan kepada CNBC (13/9), bahwa ada kemungkinan Korea Utara selama beberapa waktu melakukan penambangan bitcoin atau bisa jadi mereka menggunakan infrastruktur lain di tempat yang berbeda, bukan di Korea Utara.

Pernyataan Moriuchi itu didasarkan pada hasil penelitian pada April-Mei 2017 lalu. Dia dan timnya di Recorded Future sedang mengembangkan beberapa jenis perangkat terkait kewaspadaan aksi senjata nuklir Korea Utara. Tetapi, tak disangka mereka mendapatkan data aktivitas penambangan bitcoin di Korea Utara.

“Ketika saya mengulas kumpulan data selama seminggu pada Mei 2017, saya mendapatkan serangkaian data aktivitas bitcoin yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: dari yang tidak ada menjadi ratusan data setiap hari,” kata Moriuchi.

Yang menarik, kata Moriuchi, aktifitas penambangan bitcoin dimulai lima hari setelah serangan ransomware WannaCry yang meminta tebusan bitcoin. Serangan pada 12 Mei 2017 itu mengakibatkan lebih dari 230 ribu komputer di 150 negara terkunci. Semua data tidak dapat dibuka sama sekali. National Security Agency (NSA) pada masa itu menuduh Korea Utara adalah dalang di balik ransomware itu.

Pelarangan aktivitas MUV di Tiongkok dan sejumlah komentar sinis dari “selebritas perbankan” soal bitcoin sudah cukup membuat pasar bergetar. Sekarang tinggal dua ketakutan lain (yang kemungkinan besar tidak mungkin dilakukan) di benak investor bitcoin: jikalau belum puas, apakah Pemerintah Tiongkok akan menutup pabrik perangkat keras penambangan bitcoin dan itu secara otomatis akan menghentikan aktifitas penambangan bitcoin di negeri itu? [Vinsensius Sitepu/KM-02]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.