Global Tiger Day 2020, dari Populasi yang Semakin Terancam hingga Pulau Sanctuary untuk si Raja Hutan

Penampakan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) bernama Monang di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary. Tahun 2017, Monang dievakuasi di Desa Parmonangan, Kecamatan Bandar Huluan, Simalungun setelah terkena jerat di kaki depan sebelah kanan. Foto; KabarMedan.com

MEDAN, KabarMedan.com |  Setiap tanggal 29 Juli selalu diperingati sebagai hari harimau sedunia (Global Tiger Day).  Peringatan tersebut untuk lebih mengkampanyekan pentingnya keberadaan harimau, habitatnya sekaligus memberitahukan kepada masyarakat tentang ‘nasib tragis’ si raja hutan. Miris, karena satwa kunci itu hidup dalam keterancaman dan ketidakpastian.

Di Medan, peringatan Global Tiger Day dilakukan dengan pemberian stiker, poster dan alat-alat kampanye konservasi harimau di sejumlah titik kepada pengguna jalan oleh sejumlah orang mengunakan kaos oranye bergambar harimau.

Seorang pecinta alam di Medan, Riko mengaku sangat marah membaca berita terjadinya konflik harimau dengan masyarakat di beberapa tempat dan tak jarang berujung pada hilangnya nyawa.

“Sudah berapa kali kejadian, ada konflik, kalau bukan harimau yang mati, warga yang jadi korban. Sebenarnya kedua-duanya bisa jadi adalah korban dari ketidakpastian hukum di negeri ini khususnya dalam upaya konservasi satwa dilindungi,” katanya, Senin (3/8/2020).

Ia mengatakan, harimau merupakan satwa dengan teritori yang sangat luas. Teritori tersebut tentu saja adalah hutan. Di saat yang sama, hutan memiliki status kawasan yang kemudian ‘dipecah-pecah’ menjadi berbagai peruntukan agar bisa dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi atau ekonomis.

Peruntukannya sebagai kawasan konservasi, menurutnya akan menguntungkan berbagai satwa dan tumbuhan karena adanya perlindungan meskipun tidak luput dari praktik ilegal seperti perambahan.

“Untuk yang ekonomis ini, bisa untuk perkebunan atau pertanaman monokultur yang mengubah fungsi hutan, jadinya teritori itu terpotong atau bahkan rusak. Maka tak heran jika terjadi konflik. Siapa yang memicu konflik, sepertinya semua orang sudah tahu. Lalu, Global Tiger Day itu, harus lebih dari sekedar peringatan tapi komitmen dan tindakan nyata,” ujarnya.

Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi menjelaskan, hal yang miris bahwa dalam peringatan Global Tiger Day tahun ini, dimulai dengan banyaknya konflik harimau dengan masyarakat di Sumatera Utara dalam beberapa bulan belakangan.

Dirinya berharap peringatan Global Tiger Day ini menjadi momen kampanye kepada banyak pihak agar sadar pentingnya harimau. Ia juga berharap, semua pihak dapat ikut terlibat dalam melakukan upaya perlindungan.

Secara nasional, kata dia, populasi harimau di alam (in situ) tercatat 600 ekor. Keberadaannya di alam tidak luput dari ancaman dan rawan terjadi konflik, terutama di daerah Langkat.

“Tantangannya kerusakan habitat maupun kerusakan itu yang utama, perburuan, dijerat, dan macam-macam di belakangnya, apakah black market, perburuan dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Di Langkat, konflik antara harimau dengan masyarakat terjadi berkali-kali. Apalagi masih ada sebagian masyarakat yang menggembalakan hewan ternaknya tanpa ikatan di dalam atau pinggiran hutan sehingga memancing munculnya harimau.

“Ternaknya dilepas begitu saja, tidak dikandangkan. Ini semacam menggoda harimau untuk memangsa, karena ada bangsa yang mudah, ya diterkam lah,” katanya.

Sebenarnya prinsip perlindungannya mudah, yakni menjaga habitatnya dan menjaga jangan sampai ada perburuan. Hanya saja habitatnya ada berbagai kepentingan.

Jika ada kepentingan sektor lain, misalnya perkebunan, semestinya tetap memberi ruang bagi habitat harimau.

“Misalkan perkebunan, tetap menyisakan areal bernilai konservasi tinggi sebagai tempat perlintasan harimau atau gajah yang bisa tergabung satu sama lain. Jadi isu konservasi harus masuk semua sektor, jangan hanya di sektor kehutanan. Para pengusaha perlu memikirkan itu,” katanya.

Kebutuhan Sanctuary untuk Perlindungan Harimau

Hotmauli menambahkan, semakin tingginya tren konflik yang terjadi sekarang, diperlukan adanya sanctuary. Di Sumatera Utara, kata dia, ada Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, tepatnya di Desa Batu Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara. Di tempat tersebut, saat ini ada 4 ekor harimau sumatera.

Baca Juga:  Kapolres Sergai: Jaga Netralitas dan Sinergi Demi Kelancaran Pilkada 2024

“Semakin sering terjerat atau kita rescue, seperti di Barumun. Saat ini kapasitasnya sudah penuh, jadi perlu (penambahan). Disebut penuh karena di sana ada 4 ekor dan harimau jantan itu kan soliter, tak boleh ada 2 di 1 lembah atau wilayah kekuasaan,” katanya.

Selama ini juga sudah ada Pusat Rehabilitasi Harimau Damas Raya di Sumatera Barat, dan juga Tambling di Lampung. Melihat tren peningkatan konflik, keberadaan sanctuary itu perli namun sebenarnya sifatnya intermediate, bukan tujuan akhir.

“Sanctuary hanya sarana merehab, menghabituasi, harapan utamanya tetap kembali ke alam,” katanya.

Munawar Kholis yang sempat bekerja dan fokus dalam penanggulangan konflik di lanskap Leuser yang juga anggota Forum Harimau Kita mengatakan, populasi harimau sumatera yang saat ini disebut berkisar antara 600 ekor.

Perlu hati-hati memaknai ini karena angka tersebut merupakan populasi yang diestimasi dari 23 lanskap. Dibandingkan dengan analisis serupa tahun 1992, saat itu jumlahnya diperkirakan 400 ekor, namun hasil analisis dari 7 lanskap.

“Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bagaimana tren populasinya kan,” katanya.

Untuk itu, harus ada kajian lebih jauh terutama kaitannya dengan angka deforestasi  per tahun di Sumatera. Semakin tinggi angka deforestasi, demikian juga dengan konflik yang terjadi dan kemudian jika populasi di lanskap kecil habis, konflik mereda. Konflik itu, kata dia, tidak jarang berujung kematian harimau.

“Sebagian karena berkonflik dengan manusia, harimaunya nerkam orang kemudian diracun,” katanya.

Keberadaan harimau, kata dia, tidak hanya di lanskap besar, tetapi juga ada di lanskap kecil. Lanskap besar itu seperti Leuser, Ulu Masen, Kerinci Seblat, populasinya masih besar dan kuat. Sedangkan di Dolok Surungan, Tapanuli Utara, populasi kecil mungkin 4 atau 5 ekor.

“Tidak kita pungkiri bahwa dari 600 dalam beberapa site ada indikasi peningkatan karena mungkin patrolinya kan luar biasa, effortnya. Setiap Taman Nasional melakukan patroli hingga ke resort-resort, dan dana dari donor juga ikut bantu patrolinya menjadi intensif,” katanya.

Kelemahannya adalah distribusi alokasi dana eksternal yang masih terfokus pada lokasi atau lanskap yang besar dan terkenal sehingga lanskap yang kecil dan kurang terkenal, meskipun rawan terjadinya konflik justru tidak terjangkau.

Donor, kata dia, biasanya mengedepankan bekerja di lanskap besar terkenal. Ke depan, kalau masih bekerja dengan cara seperti ini, lanskap besar terkenal aja yang aman.

“Yang kecil, populasinya akan terkikis, habitatnya semakin terancam, deforestasi tidak terdekteksi dengan cepat dan akhirnya warga ambil inisiatif untuk membunuh atau menangani konflik secara kurang tepat,” katanya.

Konflik Terjadi di Luar Kawasan Konservasi

Selama ini, konflik harimau dengan manusia tidak hanya terjadi di dalam atau di dekat kawasan konservasi. Karena itu, sebenanarnya sangat dibutuhkan aksi khusus di wilayah non-konservasi itu.
Misalnya kawasan perkebunan atau jalan yang membelah kawasan habitat harimau, harusnya ada lanskap bersama yang disepakati para pihak dan memastikan bahwa perusahaan menerapkan skema HCV (high carbon value).

“Mau tidak mau harus bergantung pada skema HCV. Kita harus memastikan perusahaan untuk kemudian betul-betul mendesain dan mengelola HCV dengan benar,” katanya.

Sanctuary Sebuah Solusi?

Mengenai sanctuary, Munawar memiliki pandangan sendiri. Banyak definisi sanctuary, salah satunya sebagai sebuah kawasan, bukan fasilitas kandang.

Kawasan tersebut harus bersih dari ancaman dan gangguan sehingga harimau dapat hidup terlindungi. Yang lebih urgent dibutuhkan adalah fasilitas untuk menangani konflik sementara.

Baca Juga:  Kereta Api PSO di Sumut Angkut 1,4 Juta Penumpang Hingga Oktober 2024

Harimau yang sudah masuk fasilitas sementara ini, setelah sehat dan tidak ada sejarah melakukan serangan terhadap manusia, maka bisa dilepas lagi dengan mempertimbangkan demografi dan rasio jenis kelamin pada habitat pelepasliarannya.

Perilaku alami induk harimau yang beranak, membawa anaknya ke pinggiran kawasan hutan atau dekat dengan pemukiman masyarakat untuk menghindar dari harimau jantan yang kemungkinan bisa memangsa anaknya (infanticide).

“Itu sudah sangat wajar. Kemudian terlihat oleh masyarakat kampung, masyarakat resah, lapor untuk ditangkap. Penanganan kejadian seperti ini perlu sangat jeli supaya tidak salah dalam menangani berbagai kasus konflik yang dilaporkan masyarakat,” katanya.

Harapannya adalah fasilitas sanctuary dan pusat rehabilitasi benar-benar mengelola individu harimau yang memang sesuai. Harimau yang memang tidak lagi memungkinkan dilepasliarkan dapat diarahkan ke sanctuary atau ke lembaga ek-situ lain. Jangan dipaksakan untuk dikelola di pusat rehabilitasi.

“Kenapa tak kemudian fair saja, kalau dia terbukti makan orang, dan tak akan dilepas ke alam lagi, bisa ditempatkan di sanctuary dan keturunannya dapat dilepasliarkan kembali setelah melalui proses rehabilitasi dan penilaian perilaku. Jika itu tidak memungkinkan juga, opsi lain adalah menempatkannya ke lembaga ek-situ yang memerlukan sebagai fresh blood, kemudian anakan dari lembaga ek-situ bisa menjadi sumber individu yang dapat dilepasliarkan pada wilayah yang populasinya kritis setelah melalui kajian daya dukung dan lain sebagainya,” katanya.

Satu lagi, jika akan melepaskan harimau jantan, perlu diingat bahwa ada potensi infanticide yang dapat berdampak negatif terhadap populasi alami. Sanctuary, kata dia, perlu dikembangkan lebih luas lagi selain mengelola harimau yang tak akan dilepas ke alam. Sanctuary, menurutnya, adalah sebuah kawasan yang bersih dari ancaman dan gangguan, misalnya pulau yang tidak dihuni manusia.

“Saya kadang berpikir begini, kalau ada pulau di luar Sumatera ini, pulau kecil nganggur, kosong, taruh lah di situ sebagai sanctuary, tapi ini perlu kajian yang mendalam. Ketika misalnya harimau pernah makan orang dapat berkembangbiak, anaknya yang liar itu bisa dikembalikan ke populasi di pulau besar Sumatera,” jelasnya.

Beberapa catatan terkait konflik harimau dengan manusia, di antaranya, pada awal April 2020, Ramlan (42), warga Dusun I Pirlok, Desa Harapan Makmur, Kecamatan Sei Lepan, Langkat ditemukan tewas kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Kecamatan Besitang. Korban tewas dengan luka mengenaskan akibat cakaran dan gigitan harimau.

Di bulan Mei, terjadi 3 kali kasus harimau memangsa hewan ternak warga di Langkat. Pertama terjadi di  Dusun Tanjung Naman, Desa Lau Damak, Kecamatan  Bahorok Langkat. Bangkai sapinya ditemukan sekitar 3-4 km dari batas TNGL. Di Bahorok, kasus harimau memangsa hewan ternak warga sebelumnya pernah terjadi pada 2014, 2018, dan 2019.

Berselang beberapa hari terjadi di Dusun Penampen, Desa Sei Musam, Kecamatan Batang Serangan. Kali ini, 1 lembu sekarat, dan 3 ekor sapi menghilang, diduga lari ke dalam hutan karena ketakutan dengan kemunculan harimau. Terakhir di bulan Mei, harimau memangsa lembu warga di Dusun Selayang, Desa Lau Damak, Kecamatan Bahorok.

Kasus terakhir yang berujung kematian harimau terjadi di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Muara Batang Gadis, Mandailing Natal pada pertengahan Juni dan kasusnya baru ketahuan di tanggal 22 Juni setelah fotonya viral di media sosial. Bangkai harimau itu pun dikuburkan dengan ritual di depan rumah kepala desa. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.