Dampak Perubahan Iklim di Sektor Perkebunan, Cerita Buruh Sawit dan Pekebun Karet

Sudirman Siagian menunjukkan cara menderes getah karet di ladangnya di Desa Kuta Jurung, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang. (KabarMedan/dwn)

MEDAN, KabarMedan.com | Dampak perubahan iklim dirasakan di hampir semua sector, tak terkecuali perkebunan. Di Sumatera Utara, buruh kelapa sawit dan pekebun karet menyampaikan keluhannya akibat kondisi iklim yang semakin mengkhawatirkan dan nyaris tanpa adanya informasi maupun solusi memadai terhadap masalah yang dihadapinya.

Di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, seorang buruh kelapa sawit bernama Ferianto (37) menceritakan kesehariannya. Ditemui di tempatnya bekerja pada Senin (22/9/2024), Ferianto mengatakan, dia biasa bekerja dari pagi hingga sore, memanen tandan sawit yang beratnya bisa mencapai 25 kilogram.

Dia memanen kelapa sawit yang sudah berusia di atas 25 tahun dengan tingginya lebih dari 20 meter. Untuk bisa memanen, dia harus menggunakan minimal dua galah di sambung dengan satu batang fiber sepanjang 1 meter. Dibutuhkan tenaga dan skill khusus untuk mengangkat galah sepanjang itu sehingga dapat memotong leher tandan buah sawit yang siap panen.

Menurutnya, tantangan yang berat bagi pekerja adalah ketika memasuki musim kemarau. “Bayangkan lah, ngangkat galah panjang yang beratnya minta ampun, kalo goyang beratnya nambah, diarahkan ke sawit, kita mendongak ke atas, di manapun posisi matahari tetap gak enak sama kita, berat, panas, silau. Baran remuk, perasaan diaduk-aduk,” katanya.

Dua orang buruh di Kecamatan Bahorok, Langkat mengangkat kelapa sawit yang baru saja dipanen untuk dinaikkan ke atas truk. (KabarMedan/dwn)

Dengan kondisi demikian panas, dia terpaksa memendekkan jam kerja meskipun konsekuensinya target panen 40 janjang per hari. “Panasnya luar biasa, bisa tembus sampai 35 derajat lebih. Kalau dipaksakan kerja, bisa pingsan. Kami sering harus berhenti di tengah hari, padahal dulu bisa sampai sore,” katanya sambil mengusap peluh di dahinya.

Dampaknya, target panen harian mereka sering tak tercapai. Padahal, hasil panen inilah yang menentukan berapa besar pendapatan yang bisa mereka bawa pulang. Bahkan setiap brondolan yang tak terangkut berarti kehilangan pendapatan yang signifikan, dan itu semakin mempersulit kondisi ekonomi mereka.

Selain suhu panas, ada ancaman lain yang tak kalah meresahkan—ulat hijau. Hewan kecil ini semakin banyak muncul di kebun, menempel di daun-daun sawit. Ironisnya, tidak semua perusahaan perkebunan memberikan fasilitas obat-obatan.

“Setiap kali bekerja, tangan dan kaki jadi gatal-gatal karena ulat hijau ini. Rasanya perih. Kalau gatal parah, ya kami beli obat sendiri. Biayanya nggak murah, tapi terpaksa,” katanya sembari menunjukkan bekas merah di lengannya.

Kondisi ini memunculkan dilema baru. Di satu sisi, mereka harus terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, di sisi lain, perubahan iklim dan hama yang semakin tak terkendali memperparah kondisi kerja mereka. Setiap langkah menuju kebun kini penuh tantangan—dari suhu yang semakin tinggi hingga hama yang merajalela.

Produksi Getah Karet Menurun
Dampak cuaca ekstrim juga dirasakan petani karet di Desa Kuta Jurung, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang. Namanya Sudirman Siagian. Ditemui di rumahnya yang dijadikan tempat pengumpulan getah karet dari kelompok tani mengatakan, getah karet adalah sumber penghasilan Utama bagi keluarganya dan sebagian besar warga desa selama puluhan tahun.

Selama beberapa tahun terakhir dia merasakan perubahan yang meresahkan, produksi getah yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya terus menurun, dan ia menduga perubahan iklim adalah salah satu penyebab utamanya. “Dulu, setiap kali menyadap karet, saya bisa dapat getah yang lumayan banyak. Sekarang, hasilnya makin sedikit,” keluhnya.

Menurutnya, perubahan cuaca yang tidak menentu, dengan panas terik dan hujan deras yang sering datang tiba-tiba, membuat proses produksi getah terganggu. “Pohon-pohon ini sangat bergantung pada cuaca. Kalau terlalu panas, getahnya sedikit, bahkan kadang kering. Tapi kalau hujan getahnya encer dan harganya rendah,” katanya.

Menurutnya, perubahan iklim ini semakin tidak terprediksi. Dengan pola curah hujan yang tidak menentu dan suhu yang semakin ekstrem, berperan besar dalam penurunan kualitas dan kuantitas getah yang dihasilkan. Hujan yang datang terlalu sering juga menyebabkan getah karet menjadi rusak sebelum sempat dipanen, menambah kerugian bagi para petani.

Masalah ini diperburuk oleh harga getah yang tidak stabil di pasar. Sudirman mengungkapkan, meskipun harga getah cenderung rendah, biaya perawatan kebun tetap tinggi. “Harga getah sekarang nggak sebanding dengan tenaga yang kami keluarkan. Sudah capek menyadap, hasilnya sedikit, harganya pun nggak bagus,” keluhnya.

Sudirman berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dan para pemangku kepentingan terhadap kondisi petani karet seperti dirinya. Bantuan teknologi untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan stabilisasi harga karet di pasaran sangat dibutuhkan untuk membantu petani-petani kecil bertahan di tengah tantangan besar ini.

“Kalau kondisi ini terus berlanjut, entah bagaimana nasib kami. Semoga ada solusi, agar kami tetap bisa hidup dari karet seperti dulu,” ujar Sudirman dengan harapan yang tersisa.

Seseorang menunjukkan getah karet hasil panen di Desa Kuta Jurung, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang. (KabarMedan/dwn)

Suhu Terpansa Sepanjang Sejarah
Dalam kegiatan Ekspose Nasional Perubahan Iklim di Aula Raja Inal Siregar, di Medan pada Senin (26/8/2024), Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika, Dwikorita Karnawati mengatakan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir merupakan periode tahun terpanas sepanjang sejarah dengan tahun 2023 merupakan tahun terpanas.

Selain itu, berdasarkan data pengamatan BMKG di Staklim Deliserdang mencatat tren kenaikan suhu udara. Dwikorita mengatakan perubahan iklim merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Dampaknya sangat luas, mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kesehatan, dan infrastruktur dan air.

Tak hanya itu, perubahan distribusi curah hujan berpotensi mengganggu ketersediaan air bagi tanaman pertanian maupun perkebunan. Adaptasi yang efektif melalui edukasi dampak perubahan iklim pada skala lokal dengan menyediakan data dan informasi cuaca, iklim dan air.

“Saya memohon Bapak Pj Gubernur Sumatera Utara dapat mendorong dan mendukung seluruh entitas perkebunan di Sumatera Utara untuk dapat mewujudkan kerjasama bersama BMKG dalam pengembangan layanan informasi iklim untuk sektor perkebunan,” katanya.

Sektor Perkebunan Terdampak
Dalam kesempatan yang sama, Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Agus Fatoni mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim yang kian nyata dirasakan, terutama dalam sektor perkebunan.

Saat ini kondisi perubahan iklim di Sumut berdasarkan hasil pengamatan historis BMKG (1951-2021) menunjukkan adanya peningkatan suhu rata-rata di Sumut sebesar 0,13°C per 10 tahun. Hal tersebut menunjukkan adanya tanda-tanda pemanasan global.

Dampak perubahan iklim terhadap ketidakpastian ketersediaan air yang mempengaruhi kebutuhan manusia, flora, fauna, pertanian-perkebunan dan ekosistem alam secara keseluruhan.

“Sektor perkebunan juga terdampak, dengan dampak kerusakan pada tanaman dan infrastruktur perkebunan, serta meningkatnya risiko serangan hama dan penyakit,” ujarnya. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.