Merawat Kelestarian Mangrove di Paluh Kurau, Demi Kesejahteraan dan Mitigasi Perubahan Iklim

Dua orang nelayan mencari ikan di kawasan SM Karang Gading LTL. Lestarinya hutan mangrove selain berdampak pada ekosistem juga meningkatkan pendapatan nelayan. (KabarMedan/dwn)

LANGKAT, KabarMedan.com | Adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Tunas Tanjung Harapan yang selama bertahun-tahun mencoba merehabilitasi hutan mangrove di salah satu titik terjadinya deforestasi Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading Langkat Timur Laut (LTL). Mereka menjadi saksi semakin pulihnya kawasan mangrove lebih memberi manfaat daripada sebelumnya.

Ditemui di rumahnya di Dusun Kurandak, Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang, Ketua KTH Tunas Tanjung Harapan, Dedi Damanik mengatakan kelompoknya sejak 2011 menanam dan merawat hutan mangrove seluas 138 hektar atas dasar kesadaran pentingnya lingkungan dan menjaga kelestariannya secara swadaya, meski menghadapi banyak tantangan.

“Setiap tanaman yang mati, kami sisip ulang. Pada awalnya memang sulit mengajak teman-teman untuk ikut menanam. Belakangan setelah mereka merasakan manfaat dari lestarinya mangrove dari penanaman kami, merekapun akhirnya ikut terlibat menanam,” katanya, akhir pekan lalu.

Dedi Damanik (kiri) menunjukkan bibit mangrove yang akan ditanam pada bulan Oktober. (KabarMedan/dwn)

Dia lalu mengajak ke lokasi pembibitan yang lokasinya bisa itempuh menggunakan perahu selama 30 menit. Dikatakannya, selain menanam, mereka juga membangun diskusi dengan warga tentang pentingnya hutan mangrove. Salah satu poin penting yang dibahas adalah bahwa penanaman mangrove ini pasti berdampak positif pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Masyarakat kini sudah menyadari bahwa saat mangrove rusak mereka kesulitan mendapatkan hasil tangkapan yang menggembirakan. Kemudian setelah upaya penghijauan dilakukan baik secara swadaya maupun didukung oleh lembaga-lembaga lain, telah mengubah kondisi seperti sebelum adanya kerusakan akibat perambahan untuk arang, kelapa sawit maupun tambak.

Keberhasilan penanaman Kembali mangrove di kawasan tersebut telah menjadikan lingkungan yang lebih asri. Kecantikan alam ini juga mendatangkan program bantuan dari beberapa lembaga untuk pembibitan sebanyak 40.000 batang di lahan seluas 11 hektare dimulai awal Oktober. Menurutnya, ini menjadi pencapaian penting bagi dalam menjaga hutan dari ancaman abrasi dan perambahan.

Patroli Swadaya di Tengah Kendala Perlengkapan
Dikatakannya, tantangan terbesar yang dihadapi selama ini adalah penebangan liar dan sulitnya menjaga area hutan mangrove tanpa alat yang memadai. “Selama ini, kami hanya bisa patroli dengan jalan kaki, siang maupun malam. Kami tidak punya perahu untuk memantau wilayah lebih luas,” ujarnya.

Dengan luasnya hutan dan lokasi yang terpencil serta keterbatasan peralatan, patroli dilakukan dengan berjalan kaki sehingga menjadi sangat berat dan tidak efisien. “Kami harus menjaga hutan ini dari abrasi dan aktivitas ilegal, tapi tanpa perahu, itu sangat sulit. Harapan kami adalah ada bantuan dari lembaga-lembaga lain untuk ini,” kata Dedi penuh harap.

Harapan untuk Masa Depan Hutan Mangrove
Dedi dan kelompoknya berharap dukungan lebih besar dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk meningkatkan akses dan perlengkapan yang diperlukan untuk menjaga hutan mangrove. “Kami ini berada di ujung pesisir, aksesnya sulit, katanya.

Menurutnya, hutan mangrove bukan hanya benteng pelindung dari abrasi laut, tetapi juga sumber kehidupan dan warisan alam yang harus dilestarikan. “Kami ingin hutan ini tetap asri, agar semua orang bisa menikmati keindahannya, dan masyarakat kami bisa terus hidup dari hasil alam yang berkelanjutan,” katanya.

Di lokasi yang sama, anggota KTH Tunas Tanjung Harapan, Sabran menjelaskan saat ini pihaknya sedang membibitkan bakau minyak dan bakau putih masing-masing 20.000 batang dan akan ditanam di lahan yang kosong dan yang hutan mangrovenya rusak sehingga terjadi pemulihan ekosistem. Bulan depan diharapkan dapat dilaksanakan.

Penggiat mangrove, Wibi Nugraha mengatakan, lestarinya hutan mangrove memberi dampak positif bagi lingkungan dan juga masyarakat yang hidup dari laut. (KabarMedan/dwn)

Dampak Positif Rehabilitasi Mangrove Terhadap Ekonomi
Kegiatan penanaman mangrove tidak hanya berdampak pada pemulihan lingkungan, tetapi juga pada peningkatan ekonomi masyarakat. Sabran menuturkan, setelah banyak pohon mangrove yang ditanam, hasil laut seperti kepiting, udang, dan ikan mengalami peningkatan. Jika sebelumnya, nelayan hanya bisa mendapatkan 10 kg dalam sekali panen, sekarang bisa mencapai 20 – 30 kg.

Desa ini, lanjut Sabran, terdapat 170 Kepala Keluarga (KK) dari 700 jiwa. Sebagian besar bergantung pada laut untuk mencari nafkah. Hanya sekitar 30% warga yang memiliki tambak alam, sementara mayoritas adalah nelayan.

“Kebanyakan pendapatan kami berasal dari hasil laut, terutama kepiting, udang, dan ikan. Dengan adanya hutan mangrove yang terjaga, penghasilan kami meningkat dibandingkan sebelumnya, ketika hutan mangrove rusak dan hasil laut sangat sedikit,” ungkapnya.

Metode Panen Tradisional dan Fluktuasi Harga Kepiting
Dikatakan Sabran, nelayan menggunakan metode tradisional dalam memanen hasil laut yakni dengan memanfaatkan pintu air tambak untuk mengalirkan air ke tambak saat pasang besar, kemudian mengambil hasil tangkapan menggunakan perangkap seperti bubu kepiting atau ambai.

“Penghasilan nelayan di sini rata-rata mencapai Rp100.000 per hari dari hasil kepiting, dan pendapatan meningkat saat terjadi pasang besar, yang biasanya terjadi dua kali sebulan,” katanya.

Namun, harga kepiting sering kali berfluktuasi. Di pasaran bisa berkisar antara Rp70.000 hingga Rp100.000 per kg, tergantung pada musim. “Harga yang menguntungkan biasanya di antara Rp200.000 hingga Rp300.000 per kg, dan puncaknya terjadi pada bulan Januari hingga Maret saat panen raya.

Sementara itu, Usman, pemilik tambak alam yang juga anggota KTH Tunas Tanjung Harapan mengungkapkan keluhan yang kerap dirasakan oleh nelayan setempat terkait harga jual kepiting. Menurutnya, harga kepiting di daerah mereka sangat berbeda dengan daerah lain, bahkan dalam radius yang tidak terlalu jauh.

“Kami sering berkomunikasi dengan teman-teman di daerah Medan dan Langkat melalui telepon, dan perbedaannya bisa mencapai 50%. Misalnya, kepiting jumbo saat Imlek di sini hanya mencapai Rp500 ribu, sementara di daerah Langkat bisa mencapai Rp700 ribu hingga Rp800 ribu,” ujarnya.

Hal ini membuat nelayan setempat merasa kebingungan. “Kami hanya bisa menjual ke tengkulak-tengkulak yang datang ke desa. Mereka menetap di daerah kami, jadi kami tidak punya pilihan lain. Kami tidak tahu harus menjual ke mana. Kami hanya mendengar bahwa di luar sana harga lebih tinggi, sementara tengkulak yang datang ke sini membayar jauh lebih murah,” jelasnya.

KTH Tunas Tanjung Harapan di lokasi pembibitan mangrove di Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang. (KabarMedan/dwn)

Selain perbedaan harga yang signifikan antar wilayah, nelayan juga menghadapi ketidakstabilan harga yang sangat drastis. Usman mengungkapkan, dalam satu hari harga kepiting bisa berubah dua kali. “Pagi kita jual Rp30 ribu per kilogram, sore sudah turun menjadi Rp20 ribu per kilogram. Kami tidak pernah tahu apa alasannya, dan ini membuat kami kesulitan,” tambahnya.

Periode terakhir di mana nelayan merasa harga kepiting menguntungkan adalah antara Januari hingga Maret, ketika harga kepiting mencapai Rp500 ribu per kilogram. “Kami sangat senang saat itu, karena harga semahal itu sangat jarang terjadi. Namun, setelah Maret, harga terus menurun,” kata Usman.

Kerusakan Mangrove dan Penurunan Hasil Tangkap
Usman juga mengenang masa-masa ketika hutan mangrove di daerahnya masih lebat dan terjaga dengan baik. Sekitar 10 tahun yang lalu, penghasilan nelayan dari hasil tangkapan kepiting bisa sangat besar, mencapai Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per hari.

Namun, akibat perambahan hutan mangrove secara ilegal, hasil tangkapan mulai menurun secara drastis. “Kami tak tahu siapa yang merambah, tapi tiba-tiba kami melihat ada yang menebang dan membawa kayu dari hutan. Sejak itu, penghasilan kami menurun terus,” katanya.

Penggiat mangrove yang juga nominasi penerima Kalpataru 2024, Wibi Nugraha menjelaskan kelompok ini telah melakukan upaya konservasi mangrove di SM Karanggading LTL sejak 2011 dan membentuk kelompok tani secara resmi tahun 2021 dan berhasil merehabilitasi mangrove dengan jumlah pohon yang signifikan, memberikan dampak yang besar bagi ekosistem setempat.

Wilayah suaka margasatwa tersebut mencakup sekitar 14.000 hektar, namun kelompok ini diberikan kemitraan konservasi pada lahan seluas 138 hektar. “Lokasi ini berada sangat dekat dengan Selat Malaka, hanya sekitar dua kilometer dari pantai,” ungkapnya.

Pemulihan Ekosistem: Peningkatan Hasil Laut
Salah satu dampak positif yang dirasakan masyarakat setelah rehabilitasi mangrove adalah peningkatan hasil tangkapan kepiting. “Jika dulu seorang nelayan hanya bisa mendapatkan 7-9 kilogram kepiting, sekarang mereka bisa mengumpulkan 90 hingga 100 kilogram per orang,” kata Wibi.

Dikatakannya, hutan mangrove berperan penting dalam perkembangbiakan udang dan kepiting, menunjukkan betapa vitalnya kelestarian mangrove bagi lingkungan dan mata pencaharian masyarakat pesisir. Sudah terbukti bahwa rehabilitasi mangrove membantu meningkatkan hasil laut dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

“Dengan menjaga hutan mangrove, kami tidak hanya melindungi sumber penghidupan kami, tetapi juga membantu lingkungan dalam jangka panjang. Ini adalah upaya kecil kami dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin terasa,” katanya.

Contoh dari Lubuk Kertang
Wibi mencontohkan, di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Langkat juga ada hutan mangrove yang memiliki sejarah panjang dalam mendukung lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan tersebut pernah menjadi role model nasional untuk konservasi mangrove, bahkan menjadi destinasi wisata unggulan di Indonesia sebelum pandemi COVID-19 melanda.

Penebangan Liar dan Kerusakan Hutan Mangrove
Namun, di tengah keberhasilan konservasi, masalah besar tetap mengancam hutan mangrove. Wibi mengungkapkan bahwa dari tahun 2020 hingga 2023, sekitar 700 hektar hutan mangrove di Lubuk Kertang rusak akibat penebangan liar. “Ada oknum-oknum tak bertanggung jawab yang menebang mangrove di malam hari, ketika para nelayan sedang beristirahat,” jelas Wibi.

Beruntung, tindakan cepat dari Polda Sumut dengan Kapolda Sumut saat itu, Irjen Pol Agung Setia Imam Effendi dan aparat keamanan lainnya berhasil menekan aktivitas ilegal tersebut. Saat ini, meskipun hutan sempat rusak, para nelayan di Lubuk Kertang dapat kembali merasakan manfaat dari ekosistem mangrove yang mulai pulih.

“Sekarang, satu orang nelayan bisa menangkap sedikitnya 150 kilogram kepiting dalam satu hari,” tambah Wibi.

Rehabilitasi dan Kolaborasi untuk Masa Depan
Wibi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga swasta, TNI, Polri, dan masyarakat dalam menjaga dan merehabilitasi hutan mangrove. “Mangrove yang sudah rusak tetap bisa dipulihkan. Kepiting dan udang akan kembali berkembang biak jika lingkungan dijaga dengan baik,” katanya.

Ia juga mengapresiasi inisiatif Presiden Joko Widodo yang mencanangkan slogan Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera. Menurut Wibi, ini adalah visi yang realistis dan dapat diwujudkan dengan komitmen bersama. “Hutan mangrove yang lestari tidak hanya menyelamatkan ekosistem, tapi juga bisa membuat masyarakat sejahtera. Ini adalah contoh nyata bagaimana lingkungan dan ekonomi bisa berjalan beriringan,” ungkapnya.

Peran Media dan Dukungan untuk Kelompok Masyarakat
Sebagai penggiat lingkungan, Wibi juga meminta dukungan dari berbagai pihak, termasuk media, untuk terus memberikan perhatian dan apresiasi terhadap upaya konservasi mangrove. “Saya berterima kasih kepada teman-teman media yang selalu memberitakan kondisi hutan mangrove. Ini sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat,” ujar Wibi.

Ia juga berharap kelompok-kelompok masyarakat yang aktif dalam pelestarian mangrove terus didukung dan dilibatkan dalam upaya rehabilitasi hutan. Dengan demikian, cita-cita untuk menciptakan hutan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera dapat terwujud di berbagai wilayah pesisir Indonesia.

Sementara itu, dilihat dari akun Instagramnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara saat ini sedang melakukan pembibitan mangrove untuk pemulihan ekosistem seluas 100 ha di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut.

Dijelaskan, terdapat 363.000 bibit Avicennia sp, Rhizophora apiculata, R. stylosa, R. mucronata, Sonneratia caseolaris, Bruguiera parviflora, dan Fagraea auriculata. Pembibitan ini melibatkan masyarakat di Desa Paluh Kurau dan Desa Karang Gading, didampingi petugas BBKSDA Sumut, Mahasiswa Fakultas Kehutanan USU, dan Green Leadership Indonesia (GLI).

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.