MEDAN, KabarMedan.com | Pertanian dengan cara organik menjadi solusi pemenuhan pangan yang sehat bagi masyarakat. Pola pertanian organik menunjang pertumbuhan tanaman secara baik dan maksimal.
Utema Silan dari UPTD Perlindungan Tanaman dan Hortikultura Sumatera Utara mengatakan, untuk memulai organik petani membuat pupuk kompos. Dalam pembuatannya, sangat baik jika fermentasinya dicampur dengan Trichozia yang di dalamnya mengandung tujuh mikroba.
Kompos tersebut nantinya dicor di lahan atau bedengan dengan ketebalan 5 – 10 cm. Setelah itu, tempat penanaman ditutup dengan mulsa yang sudah dilubangi. Jika penanaman dilakukan di musim kemarau, jarak tanamnya 15 x 15 cm.
Sedangkan di musim penghujan, jarak tanamnya diperbesar menjadi 20 x 20 cm. Pihaknya sudah pernah mencoba penanaman di musim penghujan di Marelan beberapa waktu lalu dengan dua metode yakni ditutup mulsa dan terbuka.
Pertumbuhan di lahan bedengan yang ditutupi mulsa tumbuh lebih cepat dan umbinya lebih besar daripada yang tidak menggunakan mulsa.
Musababnya, bedengan yang menggunakan mulsa kelembabannya lebih terjaga.
Karena itu dia menyarankan agar petani menggunakan mulsa di lahan pertanaman bawang merahnya. Apalagi, ketika tingkat kelembaban tinggi, penyakit lebih mudah datang.
Hal tersebut juga yang membuat petani lebih banyak menanam bawang merah di saat musim kemarau yang kemunculan penyakitnya lebih rendah. Sebelum lahan bedengan ditutup dengan mulsa, menurutnya lahan tersebut juga harus disemprot dengan Trichozia
Langkah berikutnya, setiap seminggu sekali lahan juga harus dicor dengan campuran 5 kg pupuk NPK dengan 2 botol Trichozia. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi pemberian pupuk tabur. Menurutnya, hal tersebut sudah sesuai dengan prinsip pemupukan, yakni sedikit tapi sering.
Dia membenarkan bahwa menanam bawang merah seperti merawat bayi yang membutuhkan perhatian dan kesabaran yang tinggi. Namun penggunaan Trichozia cukup membantu. Berdasarkan pengalamannya bertanam bawang merah di musim penghujan beberapa waktu lalu, tidak ada kemunculan penyakit. Hanya saja, saat itu yang muncul ulat grayak.
Karenanya, petani harus rajin melakukan pengamatan. Jika ada kelompok telur, maka harus dihilangkan. Penerapan secara kimia menurutnya bisa saja berhasil namun harus dengan modal yang besar. Dengan demikian, dampaknya terhadap tanah dan perkembangannya kelak juga akan terasa.
“Semakin besar menggunakan cara kimia, semakin besar pula uang yang harus dikeluarkannya. Dampaknya pun nanti juga akan besar,” katanya, Sabtu (30/3/2019).
Kepala UPTD BIH Gedung Johor, Bahrudin Siregar mengatakan, pihaknya baru bisa memproduksi benih bawang merah dalam jumlah terbatas. Hal tersebut tidak lepas dari luas lahan yang hanya 2 hektare untuk perbenihan bawang merah.
Akhir September dan Oktober yang lalu, pihaknya menanam 2 ton benih bawang merah varietas Bima berlabel kuning dan putih di Kebun Unit BIH di Siguci, Desa Talun Kenas, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hilir dan di halaman belakang kantor UPTD BIH Gedung Johor, Medan. Dari dua lahan tersebut menghasilkan 12 ton. Varietas Bima cocok untuk dataran sedang dan rendah.
Dengan perhitungan kebutuhan benih untuk lahan seluas 1 hektare sebanyak 1 ton, maka produksinya hanya bisa memenuhi kebutuhan 12 hektare saja. Jika ditambah dengan produksi penangkar benih bawang merah, jika saja ada 7 orang, maka hanya 7 ton untuk 7 hektare. “12 tambah 7, hanya 19 hektare, masih kecil sekali,” katanya. [KM-05]