MEDAN, KabarMedan.com | Petani selalu berharap bisa memanen dengan hasil sesuai yang diharapkan. Namun, kadang ada saja kendala yang bisa menyebabkan hal merugikan terjadi. Serangan hama dan penyakit, misalnya. Umumnya petani menggunakan cara-cara kimiawi untuk mengatasinya. Padahal, ada cara alamiah dan lebih efisien serta murah yang bisa dilakukan petani. Yakni dengan menaburinya dengan trichozia.
Item Silan, dari UPTD Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura mengatakan, sebelum menanam jagung, hal yang harus dipastikan adalah, tanahnya sudah dalam keadaan gembur. Untuk itu bisa mentraktornya dua kali. Tidak cukup satu kali karena tanahnya yang sudah terbongkar harus dibalikkan lagi dengan tujuan menghancurkannya hingga halus. Setelah itu, benihnya bisa ditanam.
Setelah 14 hari, petani memberikan pupuk komposnya. Istilah lainnya dibumbun. Biasanya, jika petani menanam benih dari toko, benihnya sudah diberi perlakuan (treatment) khusus dengan fungisida sehingga bisa tumbuh baik. Jamur atau cendawan yang mengganggu tanaman ditekan agar tidak berkembang. Namun jika petani menanam benih yang diambil dari panen sebelumnya, maka benihnya harus ditaburi trichozia.
“Caranya tidak sulit. Hanya beberapa menit saja waktu yang diperlukan. Kalau benihnya diambil dari tanaman sebelumnya, itu bisa pake trichozia. Benihnya bisa diletakkaan di plastik atau wadah, basahi dulu lalu ditabur trichozia. Dibasahi itu biar lengket,” katanya, Rabu (3/7/2019).
Dikatakannya, tujuan memberikan trichozia yang pertama kali untung menghindari munculnya bulai pada benih. Bulai adalah cendawan yang keberadaannya bisa merugikan jika berkembang luas. Benih jagung yang dijual perusahaan benih umumnya sudah ditreatment sehingga bulai tidak muncul.
Namun jika bulai menyerang sebelum umur tanaman lima Minggu bisa menyebabkan tanaman tidak berbuah. Jika serangan terjadi saat tanaman berumur di atas 5 bulan, maka harus diperhatikan skala serangannya. Serangan bulai bisa membuat tanamannya pendek dan buahnya kecil.
Bulai adalah penyakit (maizena downy mildew) yang merupakan gejala serangan Oomycetes dari suku Sclerosporaceae khususnya marga Peronosclerospora yang ditemukan pada berbagai rumput-rumputan (Poaceae). Jenis-jenis yang diketahui menyerang di Indonesia adalah P. Maydis, P. Philippinesis (terutama Sulawesi) dan P. Sorghi (sebagian Sumatera).
Petani harus memperhatikan, apakah serangan bulai sudah terjadi berulang kali atau tidak. Jika berulangkali, maka dibutuhkan perlakuan lebih pada lahan dan benihnya. Pasalnya, kadang petani membiarkan patahan tanaman jagung di lahan. Hak tersebut bisa membuat bulai tetap berada di lahan dan pengendaliannya di kemudian hari bisa lebih sulit. Dalam hal ini, kebersihan menjadi poin penting yang mesti dilakukan petani jika ingin pertanamannya berhasil.
Selain bulai, petani jagung juga berhadapan dengan hawar. Hawar daun (Helmithosporium turcium) bisa dideteksi serangannya ketika ada daun terdapat bercak kecil berbentuk oval kemudian memanjang berbentuk elips dan berkembang menjadi nekrotik. Warnanya hijau keabu-abuan atau coklat dengan panjang 2,5 cm-15 cm. Kemunculannya berkembang dari bawah menuju daun atas. Akibat beratnya, tanaman cepat mati atau mengering. Cendawan ini tidak menginfeksi pada tongkol atau klobot tetapi pada daun atau sisa-sisa tanaman di lahan.
Menurut Utema, petani sebaiknya menyemprotkan trichozia pada saat tanaman berumur 14 hari dengan takaran 10 gram trichozia dicampur dengan 1 liter air. Perlakuannya dengan menyemprotkannya seminggu sekali. Ada varietas tertentu yang rentan terhadap serangan hawar. Menurutnya satu hal yang penting adalah, mengantisipasi serangan hawar sebelum tanaman memulai pengisian buah. Karena bisa membuat buah tak normal atau kecil.
Selain bulai dan hawar, ada diplodia yang serangannya bisa membuat buahnya busuk. Biasanya menyerang pada buah yang tidak tertutup klobot. Menurutnya ada varietas tertentu yang rentan serangan diplodia, yakni yang ukuran tongkolnya besar sehingga tidak tertutup klobot.
Menurutnya, baik bulai, hawar maupun diplodia, penyebabnya cuma satu, perawatan kurang dan kerap membiarkan tanaman jagung yang sudah mati di areal pertanaman. Hal tersebut bisa menyebabkannya menjadi endemis sehingga bisa berpengaruh pada tanah. [KM-05]