Pola Tanam Jajar Legowo Lebih Menguntungkan, Namun Kebiasaan Lama Sulit Diubah

Dua orang mengipas padi di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang. Pola jajarlegowo lebih menguntungkan namun belum banyak diterapkan oleh petani karena faktor kebiasaan.

HUMBANG HASUNDUTAN, KabarMedan.com | Pola tanam berpengaruh pada hasil. Hal tersebut yang dirasakan oleh masyarakat di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang, Kecamatan Tarabintang, Humbang Hasundutan. Namun, kebiasaan adalah sesuatu yang lain. Masyarakat belum terbiasa dengan pola tanam jajar legowo yang terbukti menghemat bibit.

Di pondoknya, Imawaty bersama dengan suaminya sibuk menyusun karung beras. Dua orang remaja membantu mereka untuk ‘mengipas’ gabah kering yang baru saja dipanennya. Mengipas adalah istilah yang digunakan masyarakat untuk memisahkan padi berisi beras dari yang kopong menggunakan mesin berbahanj bakar minyak.

“Cara kerjanya memang seperti kipas. Di dalam ada beberapa lembar seng yang berputar, jadi yang kopong akan terbang, dan yang berisi jatuh di bawah,” katanya, pekan lalu.

Dua orang petani menunggu mesin pengipas padi.

Imawaty mengatakan, dalam setahun petani dua kali menanam baik padi darat maupun padi sawah. Dia sendiri memiliki lahan yang tak begitu luas. Dia mengaku tidak mengukur berapa luasnya, namun mengetahui bibit yang dibutuhkan setiap kali memasuki musim tanam.

Pada musim tanam lalu, bibit yang ditanamnya sebanyak 28 liter. Dari jumlah itu dia bisa mendapatkan hasil sebanyak 29 karung. Dalam satu karung, setara dengan 50 kg. Jika dikalikan, maka setiap kali panen dia mendapatkan 1.450 kg gabak kering panen (GKP) atau 1,45 ton.

“Gabah ini kan 50 kg, kalau dijadikan beras hanya 30 kg. Hasil panen tidak ada yang kami jual. Ini untuk persediaan makan kami lah,” katanya.

Dijelaskannya, ada beberapa varietas yang ditanamannya, seperti simoyok untuk padi sawah dan sipohul serta sidimpuan untuk padi darat. Hasilnya, menurutnya tidak jauh berbeda. Namun diakuinya bahwa dis sendiri tidak begitu teliti dalam menghitung hasilnya.

Menurutnya, sebenarnya beberapa waktu yang lalu, pihak Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan (Yay. Caritas PSE KAM) sudah memberitahu kepada petani yang menanam padi untuk menerapkan pola jajar legowo namun karena tidak terbiasa, maka petani banyak yang tetap menggunakan pola lama.

“Tak sabar. Katanya satu atau dua bibit saja dalam satu lubang cukup. Tapi rasanya sedikit sekali dan masih longgar. Makanya kami kasih banyak saja,” katanya.

Ketua Gapoktan Napasingkam Sejahtera, Salmon Gultom mengatakan, pertanaman padi lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan daripada pria. Karenanya, perempuan lah lebih banyak mengenal nama varietas padi. Begitu juga dalam menanam padi. “Benar bahwa jajar legowo itu bagus karena menghemat bibit padinya. Tapi kan tak sabar. Dulu saya pernah menerapkannya dan berhasil. Jika biasanya bibit 13 liter, ini hanya pakai setengahnya saja, tapi hasilnya 14 karung,” katanya.

Koordinator Lapangan Yay. Caritas PSE KAM, Leo Karmelo Tarigan mengatakan, sulit untuk mengubah pola tanam yang selama ini dilakukan oleh petani. Walaupun sudah terbukti benar bahwa pola jajar legowo lebih hemat namun dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengajak petani mengikuti cara tersebut.

“Memang dengan jajar legowo itu bibitnya sedikit. Sebenarnya ini keuntungan bagi petani. Tapi di lapangan, kan banyak yang istilahnya kosong, rasanya kurang puas jadi ditambah lagi bibitnya yang penting penuh. Kan jajar legowo itu, dari satu butir bisa jadi banyak. Sedangkan yang biasa dilakukan petani, bibit banyak, hasilnya sedikit karena sesak di sawahnya,” katanya.

Menurutnya, dibutuhkan waktu lebih lama lagi untuk mendampingi masyarakat sehingga dapat mengubah pola lama kepada pola lain yang lebih baik. Program Yay. Caritas PSE KAM di Dusun Napasingkam saat ini sudah usai namun dilihat dari pastoral keuskupan, Napasingkam menjadi bagian dari Paroki Parlilitan.

Sehingga dengan demikian pihaknya tetap hadir jika dibutuhkan namun tidak sesering sebelumnya. Menurutnya, pihaknya akan mencoba untuk menghubungkan rencana kerja usaha dari dana desa. Kegiatan HKm, kata dia, bisa dilakukan dengan dana desa.

Seorang warga lainnya, Bistok Hasugian mengharapkan agar pendampingan dari Yay. Caritas PSE KAM dan TFCA tetap berlanjut. Pasalnya, lima tahun pendampingan adalah waktu yang tidak panjang. Menurutnya, saat ini masyarakat sedang semangat-semangatnya ber-HKm. “Maka itu, jangan di saat masyarakat sedang semangat justru pendampingnya tidak ada lagi,” katanya. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.