HUMBANG HASUNDUTAN, KabarMedan.com | Salah satu komoditas perkebunan, gambir memang kurang dilirik. Hal tersebut bisa dilihat dari tidak adanya program khusus untuk pengembangannya, sebagaimana komoditas perkebunan lain seperti kelapa sawit, kopi, kakao, karet dan lainnya. Di sisi masyarakat, gambir dinilai sangat potensial namun membutuhkan upaya lain agar jaringan pemasarannya terbangun.
Beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara, Hewawaty mengatakan, dari 126 jenis komoditas tanaman binaan perkebunan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 511/Kpts/PD.310/ 9/2006, hanya ada limayang menjadi komoditas unggulan strategis Sumatera Utara, kelapa sawit, kopi, karet, kelapa dan kakao yang mana juga sesuai dengan UU 39/2014 tentang perkebunan.
Di luar dari lima komoditas unggulan, diakuinya masih kurang perhatian. Menurunya, di sisi ini lah pemerintah kabupaten untuk lebih mengenal potensi daerahnya untuk kemudian dikembangkan. “Pengembangan daerah sesuai potensi yang ada itu kan sangat penting. Pemerintah kabupaten harus lebih serius dan perhatian terhadap komoditas di daerahnya, karena itu kan dampak positifnya akan dirasakan masyarakatnya,” katanya.
Sumatera Utara, dari data BPS Sumut, luas tanaman gambir seluas 2.073 hektare dengan produksi total hingga 1.938 ton. Pertanaman paling luas berada di Pakpak Bharat yang mencapai 1.223 hektare dengan produksi 1.598 ton. Dairi, pertanaman seluas 758 hektare namun produksi hanya 312 ton.
Dikatakannya, sebagian besar masyarakat di Pakpak Bharat bermata pencaharian dari gambir yang selama ini masih diolah secara sederhana. Warga mengolah gambir di depan rumahnya dengan menggunakan susunan kayu atau balok untuk memeras daun gambir yang sudah dimasak kemudian menjadikan air perasan tersebut sebagai bahan ekstrak gambir.
Selanjutnya, air yang keluar dari daun tersebut ditempatkan di dalam wadah tersendiri. Gambir, yang biasanya digunakan untuk menyirih, adalah getah yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama latin (Uncaria gambir Roxb) yang kemudian dikeringkan.
Gambir, juga mengandung katekin (catechin), yakni suatu bahan alami yang bersifat antioksidan, sehingga dapat bermanfaat pula bagi tubuh dan benar-benar alami. Namun demikian, katanya, dilihat dari perbandingan antara luas lahan dan produksi yang dihasilkan, menunjukkan bahwa potensinya belum dimaksimalkan.
Karena tingkat produktivitasnya beragam. “Kita masih perlu memaksimalkannya, misalnya di Pakpak Bharat, ada dukungan dari pemerintah kabupaten untuk mengembangkannya, masih harus ditambah lagi sehingga petani bisa merasakan manfaat ekonomisnya, begitu halnya kabupaten lain,” katanya.
Di Dusun Napasingkam, Desa Tarabintang, Kecamatan Tarabintang, Humbang Hasundutan mengatakan produksi gambir sudah mulai dilakukan setelah beberapa petani mulai menanamnya. Apalagi dengan adanya Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) turut membuat masyarakat bersemangat untuk mengolah lahannya dengan tanaman yang menghasilkan.
Baihaqi Pasaribu (55) dulunya menanam karet. Kini dia menanam tanaman gambir karena karet tak lagi menguntungkan dan sudah puluhan batang ditumbangkannya. Di ladangnya, dia membuat gubuk untuk beristirahat setiap hari saat berladang. Membuat gambir adalah aktifitasnya yang baru dalam setahun ini. Dia juga menanam cabai, jagung, kacang tanah dan lain sebagainya di sela-sela tanaman gambir.
Sore itu, dia sedang memasak satu karung besar daun gambir di dalam drum dengan api pembakaran dari kayu. Dua ember plastik dipersiapkannya di bawah gubuk untuk menampung air perasan daun gambir yang dimasaknya. Setiap hari dia merebus 3 karung goni daun gambir selama dua jam di dalam drum berisi air.
“Daun ini direbus, setelah dua jam diangkat lalu diperas dengan kayu. Airnya nanti ditampung di ember. Air sisa rebusan di dalam drum dengan perasan nantinya digabungkan. Tak lama dia nanti mengental dan keringnya seperti kapur,” jelasnya.
Dikatakannya, sudah banyak gambir yang dibuatnya. Saat ini, ada 30 kg yang disimpannya di rumah. Beberapa waktu lalu, dia bisa menjual gambirnya Rp30 ribu/kg. Menurutnya, yang paling diharapkannya adalah perhatian dari pemerintah terhadap komoditas yang dikembangkan oleh masyarakat.
Dusun Napasingkam, kata dia, selama ini terkendala untuk menjual hasil hutannya karena akses menuju dusun ini yang sulit. Jarak yang jauh, kondisi medan yang rusak parah menjadi persoalan utama bagi pembeli untuk mengambil hasil produksi masyarakat. Karena itu, dia mengharapkan agar dibantu dalam pemasarannya.
“Saya tak tahu bagaimana. Tapi kalau ada yang datang membantu kami caranya menjual dan meyampaikannya ke orang banyak di luar sana bahwa di sini ada gambir yang kami buat, mudah-mudahan bisa membantu kami,” katanya.
Sabam Hasugian (71) dulunya juga petani karet. Beberapa batang karetnya juga sudah ditebanginya. Dia pun meniru yang dilakukan Baihaqi dengan menanam gambir, jagung dan lainnya. “Sama lah yang kami tanam. Saya tak tertarik dengan sawit. Biaya besar, tenaga saya tak ada lagi, harga sawit pun kecil. Lebih bagus gambir, murah, tak capek dibuatnya. Kalau cara buatnya nanti minta tolong lah sama pak Baihaqi,” katanya.
Koordinator Lapangan Yayasan Caritas PSE Keuskupan Agung Medan, Leo Karmeli Tarigan mengatakan, salah satu yang menjadi kendala masyarakat Napasingkam untuk meningkatkan perekonomiannya adalah akses transportasi. Menurutnya, jika ada perhatian yang serius dari pemerintah, akan sangat dirasakan dampak poisitifnya oleh masyarakat.
“Hal penting lainnya adalah membangun jaringan pemasaran, bagaimana produk masyarakat sini bisa dipasarkan. Jadi usaha mereka tidak sia-sia. Sebenarnya pembeli pun tak akan merugi dari sini karena ada komoditas lainnya yang bisa diambil, misalnya rotan, petai dan lainnya,” katanya. [KM-05]