SERGAI, KabarMedan.com | Siapa yang tak kenal dengan lipan atau kelabang. Hewan berkaki 24 itu memiliki bisa yang membikin bengkak yang disengatnya. Serasah daun kering dan pelepah kelapa sawit adalah habitatnya. Di tangan seorang Ricky Santri Kurniawan (22) lipan tak ubahnya komoditas seksi bernilai tinggi.
Ya, awal Agustus kemarin, Ricky mengekspor 100.000 ekor lipan ke Vietnam. Dengan jumlah tersebut, beratnya tak kurang dari 460 kg. Ricky menjadi orang pertama yang mengekspor lipan dari Sumatera Utara. Kini, dia sudah mempersiapkan sejumlah yang banyak untuk diekspor lagi ke Vietnam. “Berapapun ada, mereka akan menampungnya,” katanya ketika disambangi di rumahnya, Senin (12/8/2019).
Di Dusun Belimbing, Desa Melati II, Kecamatan Perbaungan, menurut Ricky ada 10-20 orang pengumpul lipan seperti dirinya. Dia sendiri mengaku melanjutkan pekerjaan yang sudah dirintis ayahnya sejak tahun 1986. “Saya sejak 2015 sudah fokus di sini. Ayah saya sudah tidak ada sangkut pautnya lagi di sini,” katanya.
Ricky memiliki cara untuk memasarkannya secara lebih luas dengan mengiklankan di media sosial, terima jual beli lipan. Dari situ dia mendapatkan pembeli, baik dari lokal (Medan dan sekitarnya) atau ke Jakarta dan Surabaya. Lipan itu, kata dia, jika yang masih hidup dijadikan pakan ikan arwana. Sedangkan yang mati dan dikeringkan, dia tak begitu mengetahuinya.
“Ada yang bilang untuk obat kuat. Tapi tak tahu lah,” katanya.
Di belakang rumahnya, hampir setiap hari ada pengolahan lipan oleh pekerjanya. Namun saat ini, jumlah lipan sedang sedikit lantaran petani yang mencari lipan masih sibuk untuk menanam dan panen padi. Namun demikian, saat ini beberapa orang masih bekerja ‘menyate’ lipan.
Disebut ‘menyate’ lantaran lipan yang sudah mati lemas itu dicucuk dengan sebilah potongan pelepah sawit di bagian kepala dan ekornya sehingga lurus. ‘Sate’ lipan itu kemudian disusun di atas papan dengan kawat berrongga untuk dikeringkan di atas tunggu yang di bawahnya terdapat pembakaran serabut kelapa.
“Pengeringannya dengan tungku. Kadang juga dengan jemur matahari,” katanya.
Dua orang perempuan paruh baya duduk ‘selonjoran’ di atas bale-bale tampak sibuk ‘menyate’. Aktifitas yang sama dilakukan dua orang perempuan yang duduk di kursi rendah. Di atas meja yang ditengah-tengah mereka, terdapat setumpuk lipan yang siap untuk ‘disate’.
Sebelum dicucuk, lipan diukur panjangnya. Lipan yang badannya cacat, disisihkan. Kelak lipan itu akan dijual dengan harga setengah dari harga normal. Hanya lipan berbadan utuh yang di’sate’nya. Lipan-lipan itu badannya dingin setelah satu malam disimpan di freezer. Lina, seorang pekerja mengatakan dia sudah lebih dari 5 tahun lalu ‘memegang’ lipan.
Titin, pekerja lainnya mengatakan, di waktu-waktu tertentu, jumlah lipan yang di’sate’ bisa mencapai ribuan. “Bisa aja itu kalau lagi banyak. Sehari kerja dari jam 9 sampai sore kita mengerjakan 2.000-3.000 ekor/hari,” ujarnya.
Ricky berbagi cerita bagaimana akhirnya bisa mengekspor lipan ke Vietnam. Lipan atau kelabang sangat mudah ditangkap di daerahnya yang berdekatan dengan kebun sawit. “Di kebun sawit itu banyak. Atau di daun-daun kering kakao, banyak itu. Tapi jumlah tangkapan itu kan soal rezeki juga,” katanya.
Mencari lipan, dilakukan oleh 80% petani/butuh tani kemudian menjualnya kepadanya. Dia membeli dari petani seharga Rp1500/ekor. Setiap hari dia bisa mendapatkan banyak lipan dari petani. Lipan yang terkumpul sudah tidak memiliki bisa lagi.
Sebab, petani yang menangkapnya langsung mematahkan dua capit di bagian kepalanya. Bisa lipan, menurutnya bisa menyebabkan pembengkakan hingga demam. Namun jika bisa dikeluarkan, tidak akan berefek banyak.
“Lipan itu kita kumpulkan lalu dimasukkan di freezer. Itu masih hidup, tapi sudah lemas. Besoknya kan sudah mati, lalu diurai dengan air setelah itu disate lah seperti itu dengan potongan pelepah sawit,” katanya.
Setelah itu, lipan disusun di atas papan kawat untuk selanjutnya dikeringkan di atas perapian atau bara selama beberapa jam. Lipan yang sudah kering itu kemudian disusun di dalam boks styrofoam. Artinya, lipan siap untuk dikirim ke alamat pembeli (buyer).
Pengiriman ke Surabaya, dilakukan seminggu sekali dengan jumlah 5.000 ekor. Namun lipan yang diinginkan bukan lipan hidup melainkan lipan kering. Ekspor ke Vietnam ini sendiri terjadi setelah buyer dari Vietnam datang sendiri ke rumahnya dan melihat langsung.
“Ekspor kemarin buyer itu sendiri datang ke sini. Dia lihat barang kita, dibilang dia, ini produk terbaik yang saya lihat. Setelah itu lah lalu ngajak kerjasama. Jumlahnya, berapapun bisa masuk ke sana,” katanya.
Menurutnya, dia bukan satu-satunya orang yang tekun di bidang ‘sate’ lipan. “Tak cuma di Desa Melati ini. Di Desa Bingkat, Lestari Dadi, Sukasari, Jatimulya di Kecamatan Pegajahan juga ada. Di Kecamatan Dolok Masihul pun juga ada,” katanya.
Rusmin (50) mengatakan, dia sudah memulai usaha dari lipan sejak 1986. Saat itu, lipan dengan mudah didapatkan di kebun kakao. Seiring semakin berkurangnya tanaman kakao, pencarian lipan bergeser ke kebun sawit.
“Lipan itu untuk pakan ikan arwana. Banyakan dibawa ke Medan lah di Jalan Thamrin, misalnya. Kalau di luar Sumut ya ke Jakarta dan Surabaya,” katanya.
Dedi Susanto, seorang pencari lipan mengatakan, mencari lipan sebenarnya adalah pekerjaan yang berbahaya mengingat lipan merupakan hewan yang memiliki bisa. Dia pernah tersengat bisa di tangannya. Akibatnya bengkak selama 3 hari. Dia mengaku mencari di kebun sawit dan kakao.
“Memang berbahaya. Tapi cemana lagi mata pencaharian kita dari lipan. Ini kita nangkapnya pakai parang babat. Kita ambil kepalanya, bisanya kita buang dengan kuku. Sehari kadang bisa 20 ekor,” katanya. [KM-05]