JAKARTA, KabarMedan.com | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mempertanyakan prosedur pemblokiran situs, yang diajukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan alasan menyebarkan paham “radikalisme”. AJI menilai, pemblokiran tanpa dasar hukum dan proses hukum yang jelas, transparan dan bertanggung jawab akan berdampak buruk bagi kebebasan berpendapat.
“Prosedur pemblokiran tersebut berpotensi memberangus kebebasan berpendapat warga negara yang merupakan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. AJI berpendapat, konten yang disampaikan dalam beberapa situs tersebut menentang pluralisme, menyerang keyakinan tertentu, atau menyebarluaskan kebencian, namun mekanisme untuk memberangus mereka harus melalui prosedur hukum yang sah dan konstitusional,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono, di Jakarta, Selasa (31/3/2015).
Menurut Jono, panggilan akrabnya, pemberangusan hak warga negara dalam sebuah negara hukum hanya bisa ditentukan oleh undang-undang atau melalui putusan pengadilan. Dalam hal pemblokiran 22 situs ini, salah satu dari dua prosedur ini tidak terpenuhi.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak ada menyebut secara eksplisit mengenai pemblokiran sebuah situs. Pun UU ITE tidak mengatur ada kewenangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir sebuah situs.
“Meskipun ada peraturan menteri yang mengatur soal pemblokiran, AJI menilai itu sebuah abuse of power. AJI mendukung langkah beberapa organisasi sipil yang sudah mengajukan judicial review peraturan tersebut ke Mahkamah Agung karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujar Jono.
Sementara itu menurut Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Arfi Bambani Arfi, sejauh ini juga tidak ada putusan pengadilan yang memutuskan untuk menutup akses situs tersebut. Oleh karena itu, jelas, tindakan pemerintah menutup akses situs-situs tersebut melawan hukum dan memberangus hak warga negara untuk berpendapat.
Untuk menghindari mudarat lebih jauh dari situs-situs itu, menurutnya, pemerintah bisa meminta penetapan pengadilan untuk menutup akses situs tersebut dalam rangka penyelidikan atau penyidikan peristiwa pidana termasuk terorisme. Namun pemblokiran berdasarkan penetapan pengadilan ini bersifat sementara, sampai ada putusan pengadilan untuk memblokir secara permanen.
“AJI mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk memasukkan klausul pemblokiran dalam revisi UU ITE yang masuk Program Legislasi Nasional 2015 ini yang mana pemblokiran dilakukan sebuah badan atau komisi independen. Komisi Independen Internet ini bisa dipilih oleh parlemen seperti dalam hal pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia atau dipilih oleh stakeholder Internet seperti dalam hal pemilihan Dewan Pers oleh para stakeholder pers. Tugas komisi ini nanti juga mengurusi perihal penapisan, pencabutan konten tertentu, atau mengadili sengketa Internet,” tutur Arfi. [KM-01]