MEDAN, KabarMedan.com | Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan Hutan Rakyat Institute (HaRI) menyatakan, perlu adanya desakan terhadap PT. Toba Pulp Lestari (TPL) untuk melepaskan hutan adat yang telah diakuisisinya.
Dimana, PT. TPL yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak dibidang produksi pulp, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 memiliki konsesi seluas 188.000 Ha. Sementara, lahan yang dinilai sebagai wilayah adat yang saat ini sedang diusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk dilepaskan seluas 25.000 Ha.
Adapun total wilayah adat yang diusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 25.000 Ha yang keseluruhannya masuk kedalam konsesi PT. TPL.Berdasarkan pernyataan dari
“Wilayah adat yang diusulkan oleh AMAN Tano Batak berjumlah 11 yang terdiri dari 10 komunitas adat. Wilayah adat tersebut meliputi Tombak Haminjon, Pandumaan – Sipituhuta, Sitakkubak, Huta Aek Nafa, Nagahulambu, Matio, Nagasaribu Siharbangan, Pargamanan – Parlilitan, Sionom Hudon Timur, Sionom Hudon Utara, Tungkot Ni Solu dan Parlombuan,” kata Ketua AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak, dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Walhi Sumut, Jalan Dr. Mansyur, Rabu (6/12/2017).
Ia mengatakan, ke- 11 wilayah adat ini merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat, karena merupakan sumber mata pencaharian yang didukung dengan melimpahnya sumber daya alam berupa hutan kemenyan dan sumber air yang melimpah bagi perkampungan masyarakat adat.
“Adapun dari total wilayah adat seluas 25.000 Ha, hanya 5.000 Ha yang telah dikeluarkan dan masih ada 20.000 Ha yang harus dikeluarkan, karena merupakan hak masyarakat adat yang harus diperjuangkan,” ujarnya.
Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif WALHI Sumut menambahkan, perampasan dan tumpang tindihnya konsesi PT. TPL dengan wilayah adat masyarakat menimbulkan konflik tenurial berkepanjangan, dan menyebabkan banyaknya masyarakat adat yang dikriminalisasi PT. TPL.
“Tindakan ini tidak bisa kita biarkan melihat wilayah adat merupakan hak bagi masyarakat adat yang harus diperjuangkan keberadaannya,” ungkapnya.
Disisi lain, upaya mediasi yang dilakukan PT. TPL melalui pihak ketiga sebagai konsultan bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini memberi kesan bahwa pemerintah dan PT. TPL menjadikan tanah ulayat yang telah dikelola masyarakat secara turun–temurun akan terus dikuasai oleh negara untuk kepentingan korporasi.
“Atas dasar itu WALHI Sumut secara tegas menolak kehadiran PT. TPL di wilayah adat. Kita mendesak pemerintah untuk meninjau kembali izin keberadaan konsesi PT. TPL sebagai solusi untuk menyelamatkan hutan yang tersisa dan wilayah kelola masyarakat adat yang telah menjadi korban,” ucapnya.
Wina Khairani, Direktur HaRI menegaskan, jangan ada upaya dari PT. TPL untuk menghalangi masyarakat dalam mendorong usulan Hutan Adat untuk di enclave dari konsesi PT. TPL. Berdasarkan informasi yang diterima adanya ground check ke lapangan sekitar 8.000 Ha yang mana sampai saat ini belum keluar SK terkait hal tersebut karena PT. TPL terus mendorong kemitraan dengan masyarakat sebagai siasat.
“PT. TPL diharapkan dapat memberikan ruang dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia bagi masyarakat adat dan benar – benar mengimplementasikannya kedalam suatu bentuk upaya yang nyata,” pungkasnya. [KM-03]