Bagi Anda yang sudah tahu apa itu mata uang virtual (MUV) bitcoin, mungkin teknologi blockchain yang menjadi tulang punggung bitcoin, dirasa kurang akrab di telinga. Padahal dengan memahami konsep dasar blockchain, tidak hanya MUV saja dapat dapat berjalan di atasnya, tetapi bentuk-bentuk aplikasi digital lainnya, seperti mekanisme e-voting. Dengan teknologi blockchain, e-voting diklaim lebih aman, cepat, hemat biaya, dan transparan berbanding dengan sistem e-voting tradisional, terlebih-lebih dengan sistem coblos kertas dalam pemilu, yang berpotensi terjadi beragam kecurangan. Negara lain dan beragam perusahaan multinasional sejak empat tahun belakangan mengeksplorasi lebih dalam teknologi blockchain ini.
Demikian disampaikan pakar teknologi informasi STMIK Logika, Fauzan Nur Ahmadi, di Medan (11/7), saat menyinggung betapa tertinggalnya sistem pemilu di Indonesia. “Indonesia sudah saatnya beralih ke sistem pemilihan elektronik (e-voting), sebagaimana yang diterapkan di Estonia sejak tahun 2005. Di negara itu para pemilih tidak perlu datang ke TPS. Warga Estonia cukup memilih dengan ponsel ataupun komputer dan hasilnya secara realtime dapat dilihat oleh publik. Walaupun sistem elektronik seperti itu dirasa terbaik, tetapi karena sifatnya sentralistik, peretasan dapat saja terjadi. Oleh sebab itu e-voting seperti itu akan lebih baik lagi jikalau dipadu dengan teknologi blockchain,” ujar Fauzan.
Kata Fauzan, sistem pemilu tradisional saat ini bersifat sentralistik, yang dalam konteks Indonesia ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hasil suara disimpan di beberapa server, di mana kendali terhadapnya hanya dilakukan oleh pihak tertentu saja, bukan publik. Sistem seperti ini sangat mudah dimanipulasi, terlebih-lebih dengan metode coblos kertas, di mana kertas dapat dirusak, sehingga dianggap tidak sah, atau dengan menambahkan atau mengurangi jumlah suara pihak tertentu.
“Sistem pemilu kita ini, kan rantainya sangat panjang. Prosesnya lama dan sangat mahal. Karena menerapkan teknologi peer-to-peer, dengan blockchain, suara dari pemilih tidak disimpan di server secara terpusat, tetapi di dalam jaringan blockchain di Internet. Setiap pihak yang terlibat, masing-masing memiliki salinan keseluruhan hasil pemilu. Dengan kata lain, informasi “siapa memilih apa” dapat diakses oleh publik melalui website. Jadi, sistem seperti ini lebih transparan, sebab semua pihak bisa mengawasinya. Data pun lebih aman, karena setiap pihak memiliki salinan hasil suara. Dengan sistem blockchain, tidak memungkinkan seseorang memanipulasi data itu. Jikalau pun berhasil, maka protokol dalam sistem secara otomatis menganggapnya tidak valid, karena data yang diubah itu tidak sesuai dengan salinan data yang sudah ada sebelumnya,” jelasnya.
Rahasia itu tak lagi relevan
Ketika KabarMedan menyinggung, apakah sistem seperti ini menyalahi prinsip kerahasiaan dalam sistem langsung umum bebas rahasia (LUBER), Fauzan justru mengatakan, bahwa prinsip rahasia dalam demokrasi modern sesungguhnya tak lagi relevan.
“Bagi saya terlalu absurd jikalau kita khawatir bahwa tanpa kerahasiaan akan memunculkan konflik pasca pemilu. Sebab secara mendasar selama ini kita sebenarnya terbuka terhadap keberpihakan dalam pemilu, apakah itu di perbincangan di warung kopi atau pernyataan terbuka di media sosial. Saya mengusulkan bahwa prinsip rahasia dalam pemilu dapat dihapuskan. Dengan teknologi informasi seperti blockchain ini, trust publik dialihkan kepada teknologi, bukan sepenuhnya kepada lembaga tertentu. KPU ataupun Bawaslu misalnya kelak hanya berperan dalam memverifikasi dan mengawasi sistem yang sudah ada,” kata Fauzan lagi.
Fauzan menambahkan, transparansi hasil suara dengan teknologi blockchain, pun tidak transparan sepenuhnya alias parsial atau pseudonym, karena nama pemilih tidak dicantumkan. Informasi yang diakses oleh publik melalui website hanya dapat berupa nomor urut pemilih, lokasi, tanggal dan jam pemilihan, serta informasi pilihannya. Dalam konteks MUV bitcoin, publik dapat mengakses informasi transaksinya melalui blockchain.info. Pengguna cukup memasukkan alamat bitcoin (bitcoin address) tertentu, seketika diketahui riwayat transaksi atas alamat tersebut, tanpa mengetahui nama pihak yang melakukannya.
“Jadi, dalam konteks pemilu elektronik berbasis blockchain, orang lain dapat mengetahui nama pemilih, hanya ketika sang pemilih memang memberitahukannya,” kata Fauzan.
Fauzan sangat berharap teknologi blockchain akan diterapkan dalam sistem pemilu di Indonesia, sebab prinsip transparansi adalah cara utama untuk menaiktarafkan mutu demokrasi kita.
Namun demikian menurut Dimaz Ankaa Wijaya, peneliti bitcoin dan blockchain yang saat ini menempuh studi doktor di Monash University Australia, mengungkapkan secara umum sistem-sistem yang berbasis blockchain sedang dalam tahap pengembangan (development stage).
“Kesuksesan blockchain dalam bitcoin bukan berarti blockchain dapat diterapkan di bidang lain secara instan. E-voting sendiri memiliki kebutuhan yang berbeda jika dibandingkan dengan bitcoin,” kata Dimaz yang juga penulis buku Mengenal Bitcoin & Crytocurrency itu.
Dimaz merujuk kepada makalah “Coercion-Resistance and Receipt-Freeness in Electronic Voting” karya Stephanie Delaune dan kawan-kawan. Kata Dimaz ada tiga karakteristik e-voting yang harus dipenuhi oleh blockchain, yaitu, privacy, coercion–resistance, receipt–freeness.
“Bisa saja kita membuat solusi privacy di blockchain bitcoin, namun coercion–resistance dan receipt-freeness itu sangat kompleks,” tambah Dimaz
Revolusioner
Blockchain adalah teknologi perintis dalam sistem keuangan sepanjang peradaban manusia modern, dengan bitcoin sebagai mata uang digital pertama di dunia, yang murni dihasilkan oleh peranti lunak, bukan berbentuk kertas ataupun logam, dan tidak dijamin oleh cadangan emas atau bentuk fisik apapun.
Asal tahu saja hingga detik ini belum terungkap kepada publik dunia siapa sosok asli pencipta blockchain. Kita hanya tahu nama perancangnya menggunakan nama Satoshi Nakamoto dalam sebuah makalah ilmiah tentang teknologi transfer uang, yang diterbitkan di di forum Internet pada 2008 silam, berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”. Walaupun menggunakan nama personal, nama itu bisa jadi tidak mewakili nama satu orang, bisa jadi sekelompok orang yang penciptanya sendiri atau perusahaan ataupun negara tertentu. Namun demikian, tanpa peduli kompetensi dan kapabilitas penciptanya, kemudian sifat peranti lunaknya terbuka, paparan dalam makalah itu menunjukkan keluarbiasaan teknologinya yang menjadi pilihan besar bagi masa depan keuangan dunia, karena untuk pertama kalinya, manusia dapat mengirimkan uang melalui Internet secara global, cepat, dan murah, tanpa melalui perantaraan bank.
Secara prinsipil teknologi blockchain pun bukan hanya diperuntukkan untuk transaksi keuangan, tetapi pula untuk kebutuhan lain, seperti kontrak digital yang membutuhkan tandatangan digital, hakcipta lagu, hingga e-voting. Sehingga di masa depan Anda tidak memerlukan notaris ataupun pengacara untuk mensahkan sebuah perjanjian. Semua akan terkesan sangat valid di dalam blockchain , karena dapat dengan mudah dilacak dan tidak dapat dihapus sampai kapanpun.
World Economic Forum (WEF) menegaskan bahwa blockchain merupakan salah satu dari 10 teknologi paling inovatif di tahun 2016. Sifat blockchain yang terbuka dan transparan mampu menyederhanakan cara individu serta organisasi dalam bertransaksi menjadi tanpa sekat dan batas, sehingga mendukung mobilitas pengguna. [KM-02]