Berbeda Itu Hak

Jurnalis:
Redaksi

Oleh: Vinsensius Sitepu
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Ironis. Ketika Jokowi berkeliling dunia mempromosikan kedemokrasian Indonesia kian baik dan terbuka dengan perbedaan dan keragaman, tepat 3 Mei lalu, polisi justru membubarkan acara penayangan film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Polisi beralasan pembubaran itu atas desakan kelompok masyarakat tertentu. Hal yang sama juga terjadi sebelumnya di Jakarta. Film itu, yang sedianya ditayangkan di Goethe Institute, Jalan Diponegoro pada 16 Maret 2016, akhirnya dipindahkan di Kantor Komnas HAM. Film Pulau Buru Tanah Air Beta bercerita tentang mantan tahanan politik kasus pemberontakan 1965 yang kembali lagi ke Pulau Buru, sebuah pulau di Maluku yang menjadi pulau tempat pembuangan orang-orang yang diduga terlibat pemberontakan 1965.

Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom) 3 Mei 2016 sejatinya mengingatkan kita kembali kepada satu entitas penting, bahwa pers yang bebas bukanlah semata-mata hak jurnalis sebagai profesi, ataupun media sebagai perusahaan penyampai informasi. Pers yang bebas adalah hak asasi sebagai manusia yang bermartabat: baik sebagai individu, kelompok, dan organisasi. Dalam kaitan media digital dewasa ini, masyarakat berada pada konsep prosumer (producer-consumer/produsen sekaligus konsumen) informasi. Ia berhak mendapatkan informasi dari media massa, sekaligus mensyiarkan informasi yang dimilikinya kepada publik atas dasar kebebasan berekspresi yang diatur secara konstitusional.

Kebebasan berekspresi dalam konteks berbangsa dan bernegara, didasarkan pula pada realitas sosial bangsa Indonesia yang beragam. Di dalamnya ada perbedaan. Sebagai sebuah hak, masing-masing individu wajib menghormatinya, ada empati yang didadarkan. Maka, berbeda-berbeda, bukan berarti kita berhak membeda-bedakan yang berujung pada kekerasan dan penyingkiran.

Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini boleh dikatakan istimewa, karena merangkum beberapa pencapaian-pencapaian khusus tentang pers di berbagai negara di dunia, sebagaimana yang disampaikan UNESCO. Setiap tahun dalam perayaannya, momentum ini merupakan kesempatan demi mempromosikan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers dan untuk memberikan penghormatan kepada para wartawan yang gugur dalam tugas. Dengan tema: “Akses atas Informasi dan Kebebasan Fundamental—Ini Hak Anda”, Hari Kebebasan Pers Sedunia 2016, oleh UNESCO menyebutkan bertepatan dengan tiga tonggak capaian penting, yaitu peringatan 250 tahun keberadaan undang-undang pertama kebebasan informasi di dunia, yang meliputi wilayah Swedia dan Finlandia sekarang; peringatan 25 tahun disahkannya Deklarasi Windhoek tentang prinsip-prinsip kebebasan pers; dan tahun 2016 juga merupakan tahun pertama dari siklus 15 tahun Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang baru.

Baca Halaman Selanjutnya

Atas dasar itu pula Hari Kebebasan Pers Sedunia 2016 menekankan pada kaitan antara kebebasan pers, budaya keterbukaan dan hak atas kebebasan informasi, dan pembangunan berkelanjutan di era digital. Benang merah dari semua itu adalah peran jurnalisme, dan pentingnya melindungi mereka yang bertugas menyampaikan berita kepada masyarakat. Tahun ini Hari Kebebasan Pers Sedunia akan menelaah pertanyaan-pertanyaan dari tiga sudut pandang: kebebasan informasi sebagai suatu kebebasan fundamental dan hak asasi manusia, melindungi kebebasan pers melalui pemberlakuan sensor dan pengawasan yang berlebihan, dan memastikan keamanan dan keselamatan bagi jurnalisme daring (online) dan luring (offline).

Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) setiap tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya terus terjadi di Indonesia. Dalam pantauan AJI sejak tahun 1997 menemukan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan itu tidak pernah kurang dari 30 kasus per tahun.

Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia juga semakin mengkhawatirkan dalam 10 tahun terakhir. Setidaknya itulah catatan World Press Freedom Index 2015 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis). Indonesia berada di posisi merah, peringkat ke-138 dari 180 negara. Posisi ini bahkan berada di bawah Thailand (yang kini dipimpin junta militer), Taiwan, dan India. Sedangkan Freedom House yang berbasis di Amerika Serikat, dalam lima tahun terakhir menempatkan Indonesia dalam posisi partly free, ini bermakna kebebasan pers dan berekpresi belum terejawantahkan sepenuhnya.

Analisis kedua-dua lembaga itu mengasaskan kepada dua hal. Pertama, kebebasan warga negara dan pers terampas karena kehadiran undang-undang yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan pers, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Intelijen dan RUU Kerahasiaan Negara yang bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, media dan jurnalis rentan akan kekerasan dan kriminalisasi.

AJI juga mencatat, sepanjang tahun 2015, angka kekerasan terhadap jurnalis meningkat. Ada 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2015, meningkat dibanding tahun 2014 yang mencapai 40 kejadian. Namun satu yang perlu dicatat, angka polisi sebagai pelaku kekerasan berlipat dua, dari sebelumnya hanya enam kasus, kini tercatat ada 14 kejadian di mana pelaku kekerasan adalah polisi.

Baca Halaman Selanjutnya

Terkait pelanggaran terhadap profesi jurnalis, kita berhadapan dengan sekian banyak kasus, yang hingga kini belum terselesaikan. Khusus pembunuhan terhadap jurnalis ada delapan kasus yang mencolok, yaitu: Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Demikian pula kalau kita menilik secara khas pengalaman para jurnalis yang mengalami kesulitan tatkala membuat permohonan informasi publik kepada berbagai badan publik. Badan publik masih memegang pakem bahwa informasi adalah tergolong rahasia. Padahal hak jurnalis, sebagai penyambung aspirasi publik, menyandarkan usaha-usaha itu pada UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. Badan publik itu masih merasa ragu, apakah informasi itu layak dikonsumsi publik, dengan menayangkanya di website. Masih ada ketakutan, bahwa membuka informasi tertentu, dapat memunculkan konsekuensi hukum tertentu. Hingga kini UU KIP itu seperti ada dan tiada, ia tampak berlaku, namun terus diabaikan oleh badan publik.

Menyoal kebebasan pers dan kebebasan berekspresi kian tidak mudah dan cenderung kompleks, terlebih-lebih di era media digital sekarang ini, lalu lintas informasi kian cepat, padat, sekaligus bias. Di masa depan kita menghadapi tantangan kebebasan pers yang lebih beragam, khususnya soal hak cipta informasi, teknologi distribusi informasi, ekonomi politik media. Semua itu terangkum pada satu parameter: seberapa bermutukah pendidikan literasi media kita kepada warga? Oleh sebab itu pula, di masa depan, media wajib, secara berkelanjutan mengedukasi pasar konsumen soal hak-hak mereka sebagai pembaca, pemirsa, dan pendengar, bukan sekadar “jualan”.

Maka, kita mengingatkan diri kita kembali, kemerdekaan pers pada hakikatnya bukanlah hak eksklusif komunitas pers. Kemerdekaan pers adalah hak konstitusional yang berakar kepada jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi. Setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis pada prinsipnya bukan menghalangi kerja jurnalis untuk memperoleh berita, tetapi itu pada pokoknya melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi dari media. Anak negeri ini di masa depan perlu mewarisi kearifan tinggi dalam memandang perbedaan, menerima kenyataan sosial, sebagai sebuah peluang, bukan entitas belang yang patut dipermasalahkan.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.
Jurnalis:
Redaksi