SERDANG BEDAGAI, KabarMedan.com | Terlepas dari pro kontra terhadap kelapa sawit, tidak bisa dimungkiri bahwa masih banyak produk turunannya yang belum dimanfaatkan. Bahkan sudah tumbang pun kelapa sawit masih bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan petani di Serdang Bedagai, sejak lima tahun yang lalu.
Di Desa Pegajahan, Sukasari dan Melati Ke untuk, Kecamatan Pegajahan terdapat sekitar 200 orang pengrajin gula merah yang ‘membeli’ batang sawit milik masyarakat yang sedang diremajakan untuk dideres airnya kemudian dimasak selama enam jam untuk dijadikan gula merah.
Wakil Sekjend Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Sumatera Utara, M. Sofyan Daulay cara pemanfaatannya dengan cara membersihkan batangnya yang jika dikupas warnanya putih cerah dan entuknya menyerupai rebung bambu. Di bagian tersebut memiliki kandungan air cukup banyak.
Dari satu batangnya, bisa menghasilkan 15 liter/hari dengan penderesan pada pagi dan sore hari. Namun dikurangi rendemennya, ketika diolah bisa menghasilkan 1-2 kg gula merah. Di Sumatera Utara, pengolahan air kelapa sawit untuk dijadikan gula merah pertama kali dilakukan di Serdang Bedagai.
Kemudian diikuti Asahan dan Rantau Parapat. Di dua kabupaten terakhir dilakukan oleh pengrajin dari Serdang Bedagai. Daerah lain menurutnya sangat potensial mengingat perkebunan kelapa sawit sangat luas di provinsi ini.
Data statistik perkebunan tahun 2017 menunjukkan, detail lahan perkebunan kelapa sawit seluas 1.256.807,99 hektare dengan produksi tandan buah segar (tbs) 19.513.889,84 ton. Terdiri dari perkebunan rakyat 429.261 hektare PTPN seluas 321.663,85 hektare, perusahaan swasta nasional seluas 349.258,61 hektare, perusahaan swasta asing seluas 156.624,23 hektare.
Tahun ini menurutnya ada sekitar 14.000 hektare yang akan diremajakan. Dalam satu hektare, terdapat 130 batang. Jika dikalikan, maka jumlahnya akan sangat fantastis jika dilakukan pengolahan. Tidak itu saja, pembuatan gula merah dari pengolahan batang sawit di lahan yang sedang diremajakan membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Di Serdang Bedagai, saat ini baru ada 200 pengrajin gula merah.
Namun demikian, menurutnya pengolahan air kelapa sawit untuk menjadi gula merah masih dilakukan dengan cara manual. Untuk skala yang besar maka dibutuhkan teknologi tepat agar efisien dan maksimal. Sebelumnya, pihaknya sudah pernah merencanakan pengolahan dengan teknologi bersama Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan Dirjenbun.
“Teknologinya nanti seperti kilang yang bisa mobile ke sana kemari di mana ada replanting, tapi karena pak Dirjen-nya sudah ganti, dulu pak Bambang dan sekarang pak Kasdi, jadi kayak mengulang dari awal,” katanya, Senin (25/3/2019).
Selain itu, pihaknya juga sedang menunggu proses untuk Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai prasyarat jika produk gula merah dapat dipasarkan ke luar negeri. Pengurusan SNI kata dia, disarankan oleh Disperindag Sumut karena belum pernah mengetahui gula merah dari kelapa sawit.
“Jadi proyeksi kita memang menjadikannya brown sugar untuk pasar ekspor karena kita mampu untuk itu,” katanya.
Dia menambahkan, membuat gula merah dari kelapa sawit ini akan menjadi nilai tambah bagi pendapatan petani kelapa sawit maupun pengrajin dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. Kolaborasi antara APKASINDO, petani dan pengrajin sangat dibutuhkan.
Seandainya petani kelapa sawit atau masyarakat lainnya juga berkeinginan me.buat gula merah, maka harus ada workshop atau pelatihan.
“Karena itu perlu kita menggandeng pihak lainnya. Misalnya untuk teknologi dan peralatan. Itu kan butuh dana dan lainnya. Tidak bisa sendiri,” katanya.
Menurut Suhardiman, dari PPKS, Serdang Bedagai merupakan pilot projects dalam pengolahan air nira kelapa sawit untuk dijadikan gula merah. Tidak hanya untuk menambah pendapatan masyarakat tetapi untuk membantu petani kelapa sawit dalam menangani serangan hama dan jamur.
Jika air pada batang sudah habis mengering, maka hama maupun jamur tidak akan mau datang lagi karena tidak ada yang bisa dimakannya. Dengan demikian, setidaknya ada dua keuntungan yang bisa didapatkan yakni gula merah dan tidak adanya lagi hama dan jamur yang datang.
Dijelaskannya, pada saat replanting hama yang muncul yakni kumbang Oryctes rhinoceros. Ciri fisiknya berwarna cokelat gelap sampai hitam mengkilap dan dicirikan dengan adanya tanduk pada bagian kepala, panjang badan mencapai 35-50 mm dan lebar 20-23 mm.
Perbedaan antara kumbang jantan dan betina tidak bisa dilihat dari ukuran panjang tanduk, namun dicirikan dengan ada rambut-rambut halus pada bagian ujung abdomen (perut) yang hanya dimiliki oleh kumbang betina, sedangkan jantan tidak ada. Selain itu umur kumbang betina lebih panjang dari kumbang jantan. Kumbang memiliki masa hidup sekitar 6-9 bulan.
Kumbang berkembang-biak pada saat kumbang matang secara seksual. Kumbang betina meletakkan telur pada bahan-bahan organik seperti tumpukan tandan kosong, batang kelapa sawit yang telah melapuk pada rumpukan, sisa chipping, dan batang tanaman yang telah diracun atau terserang Ganoderma.
Selain itu, penanaman mucuna juga dapat mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik yang mendukung proses perkembangan larva Oryctes. “Kalau batangnya sudah kering karena habis dideres kan tentunya hama dan jamur tak akan datang lagi,” katanya. [KM-05]