MEDAN, KabarMedan.com | Petani sawit di Sumatera Utara saat ini mengeluh lantaran sudah dua Minggu terakhir tandan buah segar (TBS) sawitnya anjlok. Anjloknya harga TBS saat menjelang lebaran disebut sudah menjadi ke keadaan tiap tahun. Namun, rantai pemasaran yang panjang oleh hadirnya agen pengumpul dituding menjadi penyebab permasalahan.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Sumatera Utara (APKASINDO Sumut), Sofyan Daulay mengatakan, kembali jatuhnya harga TBS sudah seperti ‘langganan’ ketika mendekati lebaran. Di Mandailing Natal, Padang Lawas, Langkat, Labuhan Batu, Deli Serdang, menurutnya sudah jatuh di bawah Rp1.000/kg.
Hal ini sangat disayangkan karena di saat yang sama pengeluaran masyarakat terus bertambah seiring naiknya harga bahan pokok. “Namanya mau lebaran, banyak yang mau dibeli dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya,” katanya, Rabu (5/6/2019).
Menurutnya, yang menjadi penyebab adalah harga CPO dan sebagian pabrik kelapa sawit (PKS) sudah tutup dan mengurangi kapasitas kerjanya. Sehingga, banyak truk-truk pengangkut TBS petani yang mengantri berhari-hari. Dengan demikian, kualitas TBS petani turun dan menjadi kesempatan bagi pabrik menentukan harga dibawah harga penetapan pemerintah.
“Berhari-hari antri di pabrik, jadi harganya anjlok. Rusak buahnya. Ini kesempatan pabrik mengambil untung lebih banyak. Gila kali lah untungnya,” katanya.
Menurutnya, hal ini tidak lepas dari rantai pemasaran yang tidak menguntungkan petani. Agen pengumpul sudah menanam modal kepada petani, memberikan bantuan dan segala macam sehingga petani tidak memiliki posisi tawar yang layak di hadapan agen pengumpul. Berapapun yang ditetapkan agen, kata dia, petani akan terima saja.
Apalagi saat ini kebutuhan petani banyak dan tidak mungkin mau merugi dengan membiarkan TBS-nya rusak atau membusuk. Menjual dengan harga rendah menjadi pilihan petani daripada tidak sama sekali. Agen pengumpul ini pula yang melemahkan posisi petani.
Menurutnya, yang lebih menyulitkan posisi petani adalah, tidak semua PKS memiliki kemitraan dengan petani atau kelompok petani. Padahal, dengan pola kemitraan tersebut harga TBS bisa disesuaikan dengan harga penetapan pemerintah. Saat ini, lanjut Sofyan, harga penetapan pemerintah di angka Rp1.300-an/kg.
“Dari sekian banyak PKS, paling hanya 10 persen saja yang membangun pola kemitraan. Selebihnya agen. Nah, mata rantai dengan agen yang harusnya diputus. Jadi petani bisa dengan wadahnya bisa membangun kemitraan dengan pabrik, sehingga harganya sesuai dengan harga penetapan,” katanya.
Sulaiman Ginting, petani di Desa Talun Kenas, Kecamatan STM Hilir, Deli Serdang mengatakan sudah hampir dua Minggu yang lalu harga TBS kembali jatuh. Beberapa hari sebelum memasuki bulan puasa, dia menjual TBS sebesar Rp1.050/kg. “Sekarang ini sudah jadi Rp800/kg. Kalau kek gini, tak lebaran lah kita. Rendah ‘kali pula nyah,” katanya.
Dia berharap agar petani bisa membantu petani untuk kuat berhadapan dengan agen pengumpul. Menurutnya, dekatnya agen dengan petani sendiri karena kemudahan petani meminjam uang kepada agen dengan agunan hasil panen, agen lah yang mengambilnya. “Kalau sudah begitu, berapa kata agen, iya saja lah petani. Tak tahu pula yang sebenarnya,” katanya. [KM-05]