Hentikan Rasisme dan Diskriminasi di Aceh

TAKENGON, KabarMedan.com | Provinsi Aceh dengan penduduk 5 juta jiwa (data tahun 2016=red) terdiri dari 12 etnis dan suku yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota. Masing-masing suku bangsa ini memiliki kekhasan budaya dan bahasanya masing-masing. Suku-suku yang ada di Provinsi Aceh adalah Aceh, Gayo, Jamu, Singkil, Alas, Tamiang, Keluwat, Devayan, Sigulai, Pak Pak, Haloban, dan Lekon.

Namun sayangnya, definisi tentang Provinsi Aceh justru tidak menggambarkan sebagai daerah yang multi etnis, multi ras, dan agama. Terlihat dari Undang-undang, qanun (perda), dan kebijakan-kebijakan lainnya. Kealpaan ini menjadi sumber persoalan, sehingga turunan dari kondisi tersebut melahirkan produk-produk hukum yang diskriminatif.

Provinsi Aceh sudah terlanjur dibangun dalam nalar monokultur tanpa memberi ruang pada suku dan etnis lain. Provinsi Aceh menjadi rumah yang tidak ramah dan bahkan mengerikan bagi keberagaman itu sendiri.

Di sisi lain, Provinsi Aceh adalah wilayah Indonesia dengan sejarah konflik yang panjang. Konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka berlangsung hampir 30 tahun. Paska penandatanganan MoU perdamaian pada 15 Agustus 2005 antara RI dan GAM, melahirkan solusi damai dalam bentuk otonomi khusus di bawah Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam Undang-undang ini diamanahkan bahwa Provinsi Aceh dengan kekhususannya berhak membentuk lembaga Wali Nanggroe (adat), bendera, lambang daerah, dan hymne. Padahal peraturan daerah (qanun) turunan dari UUPA ini termaktub klausul-klausul diskriminatif dan meniadakan suku-suku lain yang ada di Provinsi Aceh.

Baca Juga:  Menkomdigi Meutya Hafid Ajak Warga Sergai Jadi Pahlawan Digital Lindungi Anak Diera Media Sosial

“Berangkat dari keprihatinan kami sebagai orang yang berasal dari Provinsi Aceh karena semakin homogennya budaya dan struktur sosial di Aceh, keberagaman di Aceh seakan dikebiri dengan penyeragaman budaya yang tidak mengakomodir suku dan bangsa Aceh lainnya yang tidak bisa dibilang besar, namun sangat banyak dan bervariasi,” kata aktivis Forum Komunikasi Tolak Hymne Aceh, Yusradi Usman, Minggu (31/12/2017).

Menurut dia, dalam qanun no. 8 tahun 2012 tentang Wali Nanggroe dinyatakan syarat menjadi Wali Nanggroe harus fasih berbahasa Aceh. Maknanya jelas bahwa suku-suku lain di Provinsi Aceh yang tidak berbahasa Aceh akan tereleminir dengan sendirinya sejak awal.

“Kedua, soal Bendera. Dalam qanun bendera ditetapkan bahwa bendera Aceh adalah bendera yang identik dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka, yang dalam pandangan banyak pihak, keinginan ini adalah bentuk ketidakrelaan GAM dalam menjaga perdamaian dan berujung pada pemaksaan digunakannya bendera GAM yang menjadi bendera Aceh. Sementara di masa lalu Aceh memiliki bendera sendiri yang diterima oleh seluruh lapisan rakyat, yaitu bendera Alam Pedang,” beber Yusradi.

Berikutnya soal hymne. Lagi-lagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh melakukan tidakan diskriminatif dengan mengadakan sayembara hymne Provinsi Aceh dan menetapkan keharusan menggunakan Bahasa Aceh. Hal ini menimbulkan kritik dan penolakan berbagai kalangan, terutama dari orang-orang yang bukan suku Aceh.

Baca Juga:  Menkomdigi Meutya Hafid Ajak Warga Sergai Jadi Pahlawan Digital Lindungi Anak Diera Media Sosial

“Sikap-sikap diskriminatif dan penuh pemaksaan ini adalah bukti bahwa Provinsi Aceh pasca damai gagal mengakomodir keberagaman, dan akan terus membuka konflik baru lagi, demikian ditambahkan aktivis perempuan Sri Wahyuni, yang juga menjadi anggota Forum Komunikasi Tolak Hymne Aceh.

Dia mengatakan, hak-hak sebagai kaum minoritas di Aceh tidak terakomodir dengan baik dan justru semakin mendesak kaum minoritas ke dalam situasi marginal.

“Suara kami tidak terdengar karena jumlah kami sangat sedikit, hanya berkisar di bawah 500 ribu jiwa dibandingkan dengan mayoritas suku Aceh yang berjumlah lebih dari 3 juta jiwa. Akibat sistem demokrasi liberal one man one vote menyebabkan banyak aspirasi kami di legislatif tak dapat diperjuangkan,” ujarnya.

Senada, beberapa aktivis Forum Komunikasi Tolak Hymne Aceh lainnya, seperti Reilawati, Win Wan Nur, dan Iwan Bahagia berharap kepada negara-negara yang pernah terlibat dalam perdamaian Aceh dan organisasi-organisasi internasional yang sedang dan pernah terlibat, untuk melakukan pemantauan terhadap proses pembangunan perdamaian yang mengakomodir keberagaman di Provinsi Aceh, agar tidak terjadi konflik terbuka dan horizontal. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.