
MEDAN, KabarMedan.com | Siapa yang tidak kenal dan suka mie instan. Makanan yang satu ini sudah sangat populer, bahkan sering dijadikan andalan bagi anak kos.
Adalah Momofuku Ando, pria yang tercatat dalam sejarah sebagai perintis mie instan. Melihat banyak sekali orang Jepang yang mengkonsumsi mie, muncul di pikiran Ando untuk membuat mie dari terigu dengan pertimbangan orang Jepang sangat menyukai mie.
Mie instan sangat sulit dipisahkan dengan kehidupan masyarakat. Namun, apakah kita mengetahui dampak dari terlalu seringnya memakan mie instan tersebut.
Seperti halnya dengan rokok yang sangat sulit dan mungkin mustahil dipisahkan dari masyarakat. Meskipun dokter dan ahli kesehatan yang menyatakan rokok membahayakan. Berawal dari banyaknya perokok, Pemerintah Kota Medan lalu melakukan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 tahun 2014.
Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk memberikan pelindungan yang efektif kepada para perokok pasif (yang terpaksa menghirup asap rokok dari perokok) dari bahaya asap rokok dan memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat, serta melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung.
Semua orang sudah tahu bahayanya merokok atau bahaya menghirup asap rokok (bagi perokok pasif), di balik kotak rokok juga tertera bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan janin. Namun ada saja celotehan untuk mematahkan peringatan tesebut seperti “Itukan kalau rokok yang ‘dapat’, kalau ‘beli’ tidak apa-apa” acapkali kita dengar.
Faktanya di Indonesia, kematian akibat rokok angkanya mencapai 239 ribu pertahun. Ini lebih besar dibandingkan kematian ibu akibat persalinan dan nifas, yang sekarang menjadi perhatian pemerintah dan dunia. Setara dengan kematian yang disebabkan oleh tsunami.
Namun hal itu tidak membuat para perokok jera dan berniat untuk berhenti atau mengurangi konsumsi rokok. Rokok memang sudah sangat dekat dengan masyarakat, tidak hanya bapak-bapak, tapi juga kaum ibu, remaja hingga anak-anak pun sudah banyak yang mengkonsumsi barang tersebut. Untuk itu pemerintah memandang perlu adanya peraturan untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya rokok yaitu salah satunya dengan menerapkan undang-undang tersebut.
Sosiolog Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar, mengaku tidak mudah menerapkan KTR di Kota Medan ini.
Rokok ibarat dua sisi mata uang atau dua belah pisau yang sama tajam. Di satu sisi, rokok dapat menjadi barang berbahaya bagi kesehatan. Namun disatu sisi, rokok merupakan industri besar di Indonesia yang memberikan banyak pemasukan.
“Rokok merupakan trend dan masih menjadi kultur masyarakat Indonesia. Faktanya masyarakat di Indonesia masih banyak yang tergantung pada petani tembakau,” jelasnya, Senin (27/4/2015).
Sohibul mengaku, Undang-undang dan Perda Pajak rokok masih dianggap penting di Indonesia. Ini dilakukan untuk upaya meningkatkan taraf kesehatan rakyat.
“Undang-undang dan Perda rokok diciptakan bukan untuk menghabiskan komoditi rokok di Indonesia, namun untuk dibatasi,” kata Sohibul.
Sohibul mengaku, penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang dilakukan Pemerintah Kota Medan dinilai belum konsisten. Pasalnya, sejak diberlakukannya pada tahun 2014 lalu, sosialisasinya masih minim dan sanksi yang diberikan kurang tegas.
“Ditengah masyarakat yang standar moralnya sedang anomali, cukup sulit untuk memasyarakatkan sesuatu seperti kawasan bebas asap rokok. Otoritas yang tidak memiliki kewibawaan lazim mengalami kegagalan serupa. Protes tentang itu cukup besar seperti di beberapa daerah Jawa Tengah yang telah lama menjadi petani tembakau. Tidak mudah untuk beralih profesai jika misalnya rokok dianggap sangat berbahaya,” ungkapnya.
Sohibul mengaku, jika sosialisi Kawasan tanpa Rokok benar-benar diterapkan oleh Pemko Medan, maka setidaknya pedagang asongan yang biasa berjualan di tempat umum seperti di jalan raya dengan pangsa pasar sopir dan penumpang bus dan angkot akan lumpuh. Sebab tidak diperbolehkan ada orang yang merokok di angkutan umum.
Selain itu penerapan sanksi hukum bagi masyarakat yang melanggar Perda juga belum bisa dilaksanakan dengan mudah. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan agar ketegasan dari Perda tersebut tak pelak dipertanyakan, sehingga Perda bukan hanya jadi perjanjian di atas kertas. Jauh hari sebelum Perda dari Provinsi manapun itu disahkan, tentu akan terjadi banyak penolakan. Untuk itu perlu pula sosialisasi berupa pembinaan kepada pemangku kepentingan, perokok dan masyarakat tentang rencana ini.
“Intinya adalah komitmen dan sikap saling menghargai satu sama lain. Jika perokok merasa haknya di ambil dengan adanya Peraturan Kawasan Tanpa Rokok, maka perokok juga harus menghargai para non perokok untuk merasa terbebas dari asap rokok yang mengepul kemana-mana. Jadi sebagai warga negara yang baik kita patut untuk menjaga kenyamanan orang lain, karena asap rokok itu bagi sebagian orang sangat mengganggu,” pungkasnya. [KM -03]