Masjid Raya Al-Osmani, Masjid Tertua di Medan

[kabarmedan.com] Di Medan ada tiga masjid yang cukup terkenal karena bangunannya yang sudah cukup tua. Masjid Raya Al-Mashun atau Masjid Raya di Jl. Sisingamangaraja, Masjid Lama Gang Bengkok di Jl. Mesjid, dan Masjid Raya Al-Osmani di Jl. Yos Sudarso Kilometer 17,5. Namun dari ketiga mesjid tersebut, Al-Osmani merupakan masjid tertua.

Masjid Raya Al-Osmani tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Deli yang masih eksis sampai sekarang di Medan. Masjid Al Osmani yang biasa disebut Masjid Raya Labuhan dibangun pada tahun 1854. Penggagasnya Sultan Deli VII Osman Perkasa Alam, seorang sultan yang sangat dihormati rakyatnya.

“Semasa berkuasa, Sultan memberi rasa keamanan dan kenyamanan peribadatan bagi masyarakat,” kata Ahmad Fahruni, Ketua Badan Kenaziran Masjid Raya Al-Osmani.

Bangunan mesjid ini awalnya terbuat dari kayu. Karena sultan yang membangun, tentu saja kayunya juga bukan kayu sembarangan. Menurut prasasti berwarna hitam yang melekat di dinding masjid, pada waktu pembangunannya menggunakan kayu-kayu pilihan yang terbaik. Hanya itu saja, tidak terulis jenis kayu apa.

Di depan masjid inilah dahulu istana Kesultanan Deli pertama dibangun, sehingga sultan cukup berjalan kaki jika ingin ke masjid. Sekarang istana itu sudah rata dengan tanah, berganti bangunan sekolah dasar. Sementara di halaman belakang mesjid tersebut, menjadi tempat pemakaman Sultan Osman Perkasa Alam yang wafat pada tahun 1858.

Baca Juga:  Kuasa Hukum Ungkap Kejanggalan di Rekonstruksi Kasus Penembakan Anak 13 Tahun: "Ada Peristiwa yang Tertinggal"

Ketika pertama kali dibangun pada tahun, ukuran Masjid Al Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu. Fungsi utamanya sebagai masjid tempat sultan melaksanakan salat serta kegiatan keagamaan. Masjid ini menjadi tempat melakukan syiar Islam.

Seiring dengan perkembangan, bangunan masjid kemudian mengalami perubahan. Pada tahun 1870, Sultan Deli VIII Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872.

Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton Sementara kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah tidak kalah indah dengan Masjid Raya Al Mashun.

Baca Juga:  33 Warga NTT Diduga Korban TPPO di Sergai Akan Dipulangkan ke Daerah Asal

Pemugaran berikutnya pada 1927 yang digagas Deli Maatschappij, perusahaan kongsi Kesultanan Deli dan Belanda. Lantas dilakukan lagi pada tahun 1964 oleh T Burhanuddin, Direktur Utama PT Tembakau Deli II. Perehaban berikutnya dilakukan Walikota Medan HM Saleh Arifin pada tahun 1977. Terakhir, pemugaran dilakukan Walikota Medan Bachtiar Djafar pada tahun 1992.

Hingga kini masjid tersebut masih dipergunakan. Kondisinya saat ini, masih menunjukkan kemegahan pada zamannya. Sebuah mimbar dari kayu berukir, jam dinding antik dan lampu gantung dari kristal menjadi ornamen yang memperindah bagian dalam masjid.

Dominasi warna kuning dan hijau pada dinding bangunan menjelaskan entitas Melayu yang melekat pada masjid tersebut. Ruangan untuk mengambil wudhuk yang terpisah dari bangunan utama masjid, juga dicat dengan warna yang sama. Di sini juga terdapat peninggalan berupa sebuah bedug yang sudah mencapai 38 tahun. Bedug ini selalu digunakan, pada saat umat Islam mau berbuka puasa di bulan suci Ramadhan.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.