Oleh: Bergman Siahaan
Jawa Timur Park adalah sebuah kawasan wisata yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. Mereka menyebutnya taman rekreasi dan belajar. Terbagi dalam dua area yang terpisah (Jatim Park 1 dan Jatim Park 2), kawasan ini berdiri diatas puluhan hektar lahan yang memuat puluhan wahana.
Mulai dari permainan anak-anak, kolam renang raksasa, berbagai tema museum, hingga taman satwa berkonsep modern. Saya bisa bilang kalau kebun binatang semacam Ragunan, Dufan, Trans Studio, bahkan Universal Studio sudah numplek di sini. Anda akan butuh tiga hari untuk bisa melihat dan menjalani semuanya.
Yang menjadi perhatian utama saya ialah bahwa Batu kini menjadi satu destinasi wisata yang banyak disasar orang, hampir setara dengan keinginan untuk mengunjungi Bali, Jakarta, apalagi Danau Toba. Jumat-Sabtu-Minggu Kota Batu dan jalan menuju sana pasti crowded alias padat. Hotel-hotel dan resort bertumbuhan bahkan sampai di Kota Malang, menangkap peluang bisnis.
Penyerapan tenaga kerja sangat besar, mencapai angka ribu, untuk memenuhi kebutuhan administrasi, penjaga wahana, kebersihan, kemanan, penginapan, penjual kuliner, pengelola parkir, hingga model-model untuk diajak berfoto, belum dihitung yang berada diluar kawasan seperti pegawai hotel, rumah makan, penjual apel dan oleh-oleh khas Malang lainnya.
Selama tiga hari berada di tempat itu, berapa rupiah yang dikeluarkan pengunjung yang ujung-ujungnya bermuara ke pendapatan asli daerah? Dari keterangan Kepala Humas dan Marketing Pengelola, yang dimuat di media massa, pengunjung di masa liburan bisa mencapai 20.000 orang per hari.
Baca Halaman Selanjutnya
Jika dihitung separuhnya saja kemudian dikalikan dengan rata-rata harga tiket terusan maka bisa diperoleh angka 3 miliar rupiah yang diperoleh hanya dari tiket masuk. Sebuah industri pariwisata yang luar biasa, bukan? Menariknya, destinasi wisata itu adalah sesuatu yang diciptakan! Bukan dengan pemanfaatan warisan keindahan alam, budaya atau sejarah seperti yang dimiliki Bali, Yogyakarta dan Danau Toba.
Tanpa peninggalan candi, mereka buat candi sendiri. Tanpa ada danau, mereka buat danau sendiri beserta dengan pasar terapungnya yang unik. Tanpa ada pantai, mereka kompensasi dengan aquarium dan wisata hutan dan ribuan koleksi satwa dari seluruh dunia. Tanpa ada pertunjukan tarian budaya, mereka substitusi dengan museum mobil dan motor antik, pesawat terbang dan tak lupa museum budaya nusantara.
Tanpa harus ke Universal Studio, Anda bisa keliling dunia dengan desain dan replika suasana kota-kota terkenal lengkap dengan gaya bangunan dan kendaraaan khasnya. Semuanya dibuat sendiri dan menjadi komoditi jualan yang laris manis.
Logika sederhananya, kawasan yang sudah tercipta indah seperti Danau Toba harusnya sudah bagaimana lagi? Jika menikmati Danau Toba dan menjelajahi alam sekitarnya butuh empat hari, maka perlu ditambah tiga hari lagi untuk menjalani wahana-wahana seperti Jatim Park, seandainya ada. Genap seminggu bisa menahan para turis.
Itu belum lagi kalau traveling ke Tanah Karo dan Bahorok. Medan? Pastilah kecipratan, karena perannya sebagai kota transit dan penghubung daerah-daerah di Sumatera Utara. Atau kawasan seperti Jatim Park itu dibuat di Medan aja?.
(Penulis merupakan Pemerhati Industri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, berdomisili di Medan)