Menjadi Orang Tua Abad XXI

Jurnalis:
Redaksi

Oleh: Jani Natasari
Praktisi Pendidikan Sekolah Dasar dan pengajar di FIP USM-Indonesia  

Tulisan ini bukan untuk mengkritik siapapun, namun sebagai sebuah perenungan. Mari kita bergerak dari potongan gambaran hidup yang sudah kita anggap lumrah terjadi saat ini. Gambaran pertama, sebuah keluarga kecil, sedang makan malam bersama dan katanya sedang spending quality time together, tapi ternyata masing-masing anggota keluarga sibuk dengan gadget-nya sendiri. Lebih asyik menjalin hubungan dengan entah siapa di dunia maya daripada berinteraksi dengan suami, istri, dan anak-anaknya. Dengan realita ini, haruskah kita menyalahkan perkembangan teknologi?

Gambaran kedua, orangtua yang menebus rasa bersalahnya—karena terlalu sering meninggalkan anaknya karena kesibukan di luar rumah—dengan membiarkan anaknya menghabiskan waktu berjam-jam bermain game, dan mengakibatkan anaknya perlahan-lahan  melupakan caranya bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya mulai enggan bercengkerama dengan orangtuanya sendiri. Melihat fakta ini haruskah kita menyalahkan majunya teknologi yang menyediakan berbagai jenis fasilitas game?

Gambaran berikutnya lagi adalah tersiar kabar di kota saya tentang seorang gadis muda yang diperkosa oleh seorang laki-laki yang mengaku sebagai seorang direktur. Perkenalan mereka dimulai dari layanan chatting. Setelah perkenalan, si gadis belia tanpa curiga mau saja diajak bertemu. Pada saat itulah direktur gadungan membiusnya dengan air mineral yang telah dicampur obat bius. Merenungkan tindakan kurang bijaksana gadis muda ini, saya jadi mengulang lagi pertanyaan yang muncul sebelumnya. Haruskah lagi-lagi kita menjadikan teknologi sebagai kambing hitam?

Seperti dua sisi mata uang, teknologi jelas-jelas memiliki dampak baik dan buruk, positif dan negatif. Banyak pihak yang telah merasakan kemudahan yang ditawarkan teknologi, banyak pihak juga yang bablas memanfaatkan teknologi. Satu kenyataan yang tidak mungkin dikompromikan lagi adalah teknologi akan terus berinovasi, kita tidak akan pernah bergerak mundur lagi ke masa di saat penuh penantian menunggu tukang pos datang membawa surat cinta yang sudah berhari-hari tidak sampai.

Jika teknologi akan terus bergerak maju, maka menurut saya manusialah yang harus semakin bijaksana menyikapi teknologi. Mempertimbangkan gambaran-gambaran yang sebelumnya telah dijelaskan, maka saya berani mengatakan bahwa tanggung jawab tidak bisa dilepaskan kepada pihak-pihak tertentu saja untuk membuat kebijakan dan peraturan tentang teknologi. Bagi saya kebijaksanaan ini harus dimiliki oleh lingkup yang paling kecil yaitu keluarga. Orangtua menjadi kunci utamanya, belajar menjadi orangtua abad XXI.

Orangtua abad XXI adalah orangtua yang memahami sepenuhnya  bahwa putra-putri yang mereka lahirkan adalah  anak-anak abad XXI. Anak-anak abad XXI adalah anak-anak yang cepat menanggapi lajunya perkembangan teknologi. Mereka tidak membutuhkan buku manual untuk mengoperasikan gadget terbaru, hanya dengan beberapa kali tekan dan pencet, maka orangtua akan terpukau dengan kemahiran mereka mengoperasikannya.

Untuk itu, meminjam istilah teman baik saya, orangtua abad XXI sebaiknya harus mampu mengimunisasi anaknya terhadap dampak negatif teknologi, bukan mensterilkannya dari segala perkembangan teknologi. Mari kita meniru prinsip mendiang Steve Jobs,,salah satu pendiri Applem yang meminimalkan penggunaan teknologi di rumahnya. Saya yakin Steve Jobs yang cerdas telah lebih dahulu mengetahui dampak negatif penggunaan teknologi, yaitu menciptakan jurang yang disebut individualisme.

Orangtua abad  XXI adalah orangtua yang mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan dalam keluarga. Kebutuhan berasal dari akar kata “butuh” yang artinya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sangat perlu menggunakan”. Sedangkan keinginan berasal dari akar kata “ingin” yang berarti “berhasrat”. Sangat perlu menggunakan bermakna akan timbul akibat jika kebutuhan tidak terpenuhi, sedangkan berhasrat tidak akan menimbulkan akibat atau efek samping jika tidak terpenuhi. Jika Anda yang sedang membaca artikel ini adalah seorang calon ataupun telah menjadi orangtua abad ’, maka saya harap Anda paham membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Karena inovasi teknologi yang sedang terjadi saat ini sedang menggiring kita pada roh konsumtif. Tanpa kemampuan membedakan kebutuhan dan keinginan, maka bisa jadi Anda sedang menjerumuskan putra-putri Anda pada lembah konsumerisme.

Orangtua abad ’ adalah orangtua yang meninggalkan pola pengasuhan anak yang main hakim dan hukum sendiri. Tren pola asuh di abad ’ ini adalah pola asuh konsultan (consultant parenting). Tipe pola asuh ini mengharapkan orangtua menjadi kooperatif, setiap saat memberikan saran dan masukan kepada anaknya, dan orangtua yang mengijinkan anaknya untuk mengalami kegagalan, membuat kesalahan, dan memahami arti hukum sebab-akibat, dan konsekuensi perbuatan mulai dari masa kecilnya. Sudah tidak zamannya lagi menghukum anak dengan hukuman fisik dan verbal yang melukai tubuh dan mengecilkan hati mereka, melainkan lebih baik mengajak anak berkomunikasi dua arah, dan bekerja sama dalam sebuah tim yang kita sebut keluarga.

Anakmu bukanlah milikmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau.
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu.
Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan kehendakmu.
Sebab mereka punya alam pikiran sendiri.
Berikan tempat pada raganya, tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan tidak di dalam mimpimu.

Puisi di atas adalah karya seorang penyair terkenal, Kahlil Gibran, tentang peran orangtua yang sesungguhnya dalam mengasuh anak-anaknya. Pesan yang tersirat dari puisi ini adalah sebagai orangtua, mari selalu mengingatkan diri kita bahwa putra-putri kita memiliki tuntutan masa depan yang jauh berbeda dengan tuntutan yang ada saat ini. Untuk itu, kewajiban kitalah memperlengkapi mereka dengan berbagai kemampuan abad XXI dan karakter yang tangguh sehingga mereka siap menjadi generasi muda abad XXI. Namun sebelumnya, jadilah orangtua abad XXI terlebih dahulu.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.
Jurnalis:
Redaksi