SIMALUNGUN, KabarMedan.com | Kekeringan dan serangan hama tikus menjadi tantangan bagi petani padi di Kecamatan Panei dan Kecamatan Panombeian Panei, Kabupaten Simalungun. Di dua kecamatan tersebut sudah cukup banyak petani yang beralih menanam jagung daripada padi.
Di Desa Panei Tongah, Kecamatan Panei, seorang perempuan bernama Imelda Damanik (58) mengaku sudah dua tahun ini menanam jagung di lahan yang sebelumnya ditanami padi. Saat ditemui di lahannya pekan lalu, dia mengaku telat menanam jagung dibandingkan petani lainnya.
Jagung menjadi pilihan karena perawatannya lebih mudah, lebih tahan hama wereng dan tidak membutuhkan banyak air. Hal yang mana berbeda dengan tanaman padi. Lahan padinya kini lebih sering kering suplai air sangat.
“Tengok lah, gimana mau tanam padi. Lahan kering kayak gini. Lagipula tikus banyak. Udah 2 – 3 tahun ini selalu gagal panen. Tak sebutirpun padi bisa dipanen, kalah cepat sama tikus,” katanya, Jumat (27/9/2024).
Dia mengaku tak tahu bagaimana lagi cara mengendalikan hama tikus. Padahal dia bersama petani lain sudah melaksanakan rekomendasi pengendalian dari dinas terkait dan juga melibatkan aparat saat berburu tikus.
Saat berburu tikus, ada ribuan ekor yang ditangkap. Keesokan harinya, tikus dalam jumlah yang sama akan muncul. Fenomena itu terjadi berkali-kali. “Entah apa yang bisa dibuat lagi. Sudah kita bakar itu belerang, kita tembakkan di lubang tikus. Kayak sia-sia yang dibuat,” katanya.
Dikatakannya, beralih ke jagung bukan tanpa masalah. Dia mengaku sudah masuk dalam kelompok tani dan mendapat jatah pupuk subsidi. Hanya saja jumlahnya tidak cukup. Dia pun terpaksa membeli pupuk komersil yang harganya mahal.
Di Dusun Parlanggean, Desa Pematang Panei, Kecamatan Panombeian Panei, Bahrum Simanjuntak mengatakan, serangan hama tikus semakin tidak terkendali. Dia juga berkali-kali gagal panen total tahun lalu.
“Kami tanam bulan April. Harapannya bisa panen di bulan 7 atau 8, tapi tikus menghancurkan semuanya. Tahun ini kami mencoba lagi, namun tanaman padi yang baru berumur dua bulan sudah diserang lagi. Kalau gini terus, entah gimana kami bisa melanjutkan hidup,” ujarnya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh petani bersama pemerintah desa dan kecamatan untuk mengatasi hama ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah berburu tikus secara massal, melibatkan seluruh warga desa, laki dan perempuan, dari anak-anak hingga orang dewasa.
“Dalam sehari kami bisa nangkap 800 sampe 1000 ekor tikus. Tapi besoknya, datang lagi tikus, sama banyaknya,” katanya.
Bahrum menduga penyebab semakin banyaknya hama tikus karena tiadanya ular, predator alami tikus. Hal itu akibat penggunaan racun rumput yang masif. Maka tak heran banyak petani kini beralih menanam tanaman palawija seperti jagung.
“Ada lah 30% yang udah jadi ladang jagung. Kami pun kayak trauma nanam padi lagi, jadi sebagian kami tanami jagung untuk menyambung hidup,” ujarnya.
Bahrum berharap ada solusi dari pemerintah untuk menanggulangi hama tikus. Mereka juga berharap lahan pertanian mereka yang sebagian dijadikan tempat Sekolah Lapang Iklim (SLI) bisa memberikan harapan dan masa depan yang lebih baik bagi petani di desa tersebut.
Tak Ada Air Tak Ada Ikan
Di Desa Jangger Letto, Kecamatan Panei, Simalungun, Charles Samosir menjelaskan, petani di desanya mengalami kekurangan air. Dulu, sawah mereka bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan hingga memasuki musim panen untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
“Dulu kita bisa masukkan ikan di sawah, sekarang tidak bisa lagi karena airnya kurang,”ujarnya.
Air yang dulunya cukup melimpah untuk pertanian kini berkurang drastis setelah dialihkan untuk keperluan perusahaan air minum. Padahal, sawah sangat bergantung pada ketersediaan air, kini sulit dipertahankan.
“Masalahnya jelas, air terbatas. Tikus banyak. Banyak petani yang akhirnya beralih ke jagung,” katanya.
Pencemaran oleh Limbah
Selain kekeringan, petani juga mengeluhkan pencemaran sungai yang alirannya masuk ke areal persawahan warga. Sumber pencemarnya berasal dari industri di dekat persawahan. Air sungai yang dulunya digunakan untuk keperluan sehari-hari kini tidak layak pakai.
Limbah ini tidak hanya mempengaruhi hasil pertanian, tetapi juga menyebabkan peningkatan penyakit di kalangan petani dan warga setempat. Meski keluhan sudah disampaikan kepada pihak terkait, respon yang diterima dinilai kurang memuaskan.
“Kami sudah pernah mengadukan ke pihak pemerintah, tapi tanggapan mereka biasa saja, kurang responsif,” ungkapnya.
Mereka berharap pemerintah memperhatikan kondisi para petani, mengingat pentingnya peran petani sebagai penghasil pangan utama bagi negara. “Harapan kami, pemerintah turun langsung mendengarkan keluhan petani, jangan hanya dari pihak lain,” ujarnya.
Melihat SLI sebagai Adaptasi Perubahan Iklim
Permasalahan di dua kecamatan itu adalah salah satu dampak perubahan iklim. Manajer Divisi Pengembangan Masyarakat dan Lingkungan Yayasan Bitra Indonesia, Berliana Siregar menjelaskan Dusun Parlanggean telah menjadi wilayah dampingannya selama 3 tahun terakhir.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Yayasan Bitra Indonesia meluncurkan program Sekolah Lapang Iklim yang berfokus pada pengelolaan air dan pertanian organik. Pihaknya membuat lahan percontohan untuk membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim.
“Terutama terkait dengan pengelolaan air. Di beberapa kelompok, ada yang mengalami kekeringan, sementara kelompok lain kebanjiran. Jadi, kita belajar bersama bagaimana mengelola air ini secara efektif,” ujarnya.
Setiap Senin pagi, para petani berkumpul untuk mengamati kondisi lahan, cuaca, pertumbuhan tanaman, serta serangan hama dan penyakit. Mereka berdiskusi dan saling bertukar pengalaman mengatasi masalah dihadapi di sawah masing-masing.
Petani secara langsung terlibat dalam proses pengamatan dan penerapan solusi di lapangan. Dalam program ini, semua proses pertanian yang diterapkan berbasis organik, mulai dari pemilihan bibit hingga pupuk.
“Budidaya yang kita lakukan 100% organik, mulai dari bibit hingga pupuk yang digunakan. Pupuk organik cair dan zat pengatur tumbuh juga dibuat sendiri oleh kelompok petani,” ujarnya.
Pihaknya juga aktif bekerjasama dengan pemerintah dan instansi terkait. Pemerintah desa, kecamatan, serta dinas-dinas terkait, termasuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), diundang untuk bersinergi mendukung program ini.
Salah satu sinergi dengan BMKG adalah penyediaan alat pengukur curah hujan yang membantu petani dalam mengatur pola tanam dan mengantisipasi perubahan cuaca.
“Kami juga mengundang akademisi dari Politeknik Pengembangan Pertanian Medan untuk memberikan materi tentang hama dan penyakit tanaman, serta kaitannya dengan perubahan iklim,” katanya.
Program SLI ini tidak hanya dilakukan di Simalungun tetapi juga akan dibuka di Desa Damai, Kecamatan Dolok Masihul, Serdang Bedagai, dan di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, yang berfokus pada tanaman palawija dan sayuran.
Berliana berharap program ini dapat terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi petani di berbagai daerah. Melalui program ini, petani didorong untuk menerapkan prinsip gotong royong dalam menghadapi tantangan pertanian di era perubahan iklim.
“Dengan belajar bersama, kita berharap petani dapat meningkatkan produktivitas lahan mereka dan menghadapi tantangan perubahan iklim dengan lebih baik,” ujarnya.
Bencana yang Tak Disadari
Direktur Yayasan Bitra Indonesia, Rusdiana mengatakan, perubahan iklim menjadi isu global yang tidak dapat dihindari, dan dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat, khususnya para petani.
Dikatakannya, akhir-akhir ini, dampak perubahan iklim ini sangat mengganggu kehidupan manusia.
“Terutama bagi petani. Banyak yang gagal panen karena tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim,” ujarnya.
Pihaknya telah mendampingi berbagai kelompok petani di Kabupaten Simalungun, Langkat, dan Serdang Bedagai untuk membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim melalui berbagai program, salah satunya adalah SLI.
Program ini memberikan edukasi dan pelatihan kepada petani mengantisipasi dan mengelola dampak perubahan iklim di lahan mereka.
“Petani seringkali tidak menyadari bahwa bencana di sekeliling mereka seperti kekeringan, banjir, dan serangan hama, semuanya dipicu oleh perubahan iklim,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong petani untuk sadar akan pentingnya pengetahuan mengenai iklim dan bencana di sekitarnya. Petani diajak berdiskusi tentang kebencanaan dan pengelolaan lahan secara bijak dengan mempertimbangkan perubahan cuaca yang semakin sulit diprediksi.
Tujuan utama dari SLI adalah memastikan petani memiliki pengetahuan yang cukup tentang bertani secara berkelanjutan dan selaras dengan kondisi iklim yang terus berubah. Kegiatan ini dilakukan di beberapa desa dampingan.
Setiap kelompok petani didorong untuk aktif berpartisipasi dalam pelatihan. Pihaknya juga memberikan berbagai pelatihan teknis terkait metode bertani yang ramah lingkungan serta adaptif terhadap perubahan iklim.
Petani diharapkan dapat meminimalisir risiko kegagalan panen akibat perubahan cuaca yang ekstrem. “Ketika petani mampu memahami perubahan iklim dan mengantisipasinya, mereka bisa merencanakan pola tanam yang tepat, sehingga hasil panen lebih terjamin,”
Selain SLI, pihaknya juga melaksanakan pelatihan tentang teknik pengelolaan air dan penggunaan pupuk organik yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Dia berharap program ini bisa terus berkembang dan diterapkan di lebih banyak desa di wilayah lainnya.
“Ya ini agar para petani semakin siap menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kunci untuk memastikan petani tetap bisa memanen hasil dengan baik, meskipun iklim semakin sulit diprediksi,” ujarnya.
Kepala Stasiun Klimatologi Sumatera Utara, Wahyu, mengatakan, pengamatan iklim sangat penting sebagai langkah awal sebelum menentukan jenis tanaman yang cocok ditanam di suatu lokasi. Pengamatan curah hujan adalah kunci untuk memahami iklim di suatu daerah.
Pengamatannya harus dilakukan sejak awal dengan mengumpulkan data harian selama minimal lima tahun untuk mendapatkan gambaran yang akurat mengenai pola hujan untuk menyusun kalender cuaca. Dari sana dibisa membuat rata-rata bulanan dan menentukan pola curah hujan.
“Hal tersebut penting untuk mengetahui jenis tanaman yang cocok ditanam pada bulan-bulan tertentu,” ujarnya.
Selanjutnya, BMKG mengevaluasi apakah tanaman yang sudah biasa ditanam di suatu daerah, seperti nanas atau padi, masih sesuai dengan kondisi iklim saat ini. Diketahui, perubahan iklim juga menjadi tantangan tersendiri.
Menurutnya, pengamatan bukanlah tugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) semata. Dinas Pertanian dan lembaga terkait juga berperan penting dalam menentukan tanaman yang tepat berdasarkan pola iklim yang telah diamati.
“Dengan adanya perubahan iklim, pola curah hujan juga berubah, dan itu tentu memengaruhi perencanaan pertanian,” kata Wahyu.
Data iklim dari daerah tersebut menunjukkan perubahan signifikan dalam pola curah hujan dan suhu selama 60 hingga 70 tahun terakhir, bahkan ada data lebih dari 100 tahun dari perkebunan di wilayah itu.
“Kami telah melihat peningkatan curah hujan di beberapa lokasi, sementara di lokasi lain justru mengalami penurunan,” ujarnya.
Perubahan ini, juga berkontribusi pada perubahan jenis tanaman di beberapa daerah. Sebagai contoh, di wilayah Marjanji, yang dulu terkenal sebagai sentra teh, kini banyak lahan berubah menjadi perkebunan sawit.
Meskipun ada faktor iklim yang mempengaruhi, Wahyu juga mengakui bahwa ada faktor lain yang mungkin turut berperan dalam peralihan jenis tanaman ini. Menurutnya, sangat penting bagi petani beradaptasi dengan kondisi iklim yang berubah-ubah.
“Petani harus menyesuaikan dengan kondisi alam di sekitarnya, baik itu terkait curah hujan maupun iklim secara keseluruhan. Tidak bisa kita memaksakan suatu tanaman di lahan yang tidak sesuai,” ujarnya.
Menurut Wahyu, sangat diperlukan adanya strategi adaptasi yang lebih baik di sektor pertanian. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyesuaikan kondisi lahan, seperti memperbaiki tanah gersang dan mengelola daerah tandus menjadi lebih subur.
Wahyu menyebutkan, meskipun BMKG belum mendalami kaitan antara perubahan iklim dan serangan hama, ada indikasi perubahan ini mempengaruhi habitat beberapa spesies, termasuk munculnya hama baru atau peningkatan aktivitas hama tertentu.
“Dari sisi kami, kami memang belum mengkaji lebih dalam. Baru data-data terjadi perubahan dan Ketika dinput itu karena factor perubahan iklim,” katanya.
Kepala Badan Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Utara, Marino mengatakan, yang bisa dilakukan untuk mencegah serangan hama tikus yakni tanam serentak minimal di wilayah kelompok tani, menjaga sanitasi lingkungan di sekitar sawah, perburuan massal.
Kemudian, pengendalian dengan pagar plastik yang dikombinasi dengan bubu (alat tangkap). Selain itu memanfaatkan musuh alami tikus, yakni burung hantu dengan membuat dan memasang rumah burung hantu (rubuha) di areal sawah. Satu rubuha untuk luasan 5 ha.
“Urin sapi atau kambing juga bisa diaplikasikan dan disemprotkan seminggu sekali ke areal sawah sebagai repelens penolak tikus. Juga pengumpanan massal saat pengolahan tanah secara serentak, ujarnya.
Apabila melihat dari tofograpi wilayah dua kecamatan tersebut merupakan wilayah endemis tikus. Begitupun dalam pengendalian hama tikus belum terorganisir atau masih dilakukan secara individu.
“(mengenai) penanganan kekeringan, menyesuaikan jadwal tanam dengan informasi ramalan BMKG. Dan melakukan adaptasi varietas dan waktu tanam memajukan atau memundurkan tanam,” katanya. [KM-05]