SIBOLANGIT, KabarMedan.com | PT Agincourt Resources selaku pengelola Tambang Emas Martabe, pada tahun 2022 menargetkan 30 persen pekerjanya adalah perempuan. Daya serap tenaga kerja pada tahun 2016 yaitu 2.376 pekerja PT Agincourt Resources dan kontraktor dan 761 pekerja langsung. Komposisinya 54 persen pekerja dari Batangtoru dan muara Batangtoru, 16.3 persen Tapanuli, 27.40 persen nasional dan 2.23 persen asing.
“Jadi, 70 persen tenaga kerja lokal karena salah satunya mencarikan kegiatan ekonomi bagi masyarakat, juga pendidikannya mendukung dengan pelatihan khusus,” kata Direktur PT Agincourt Reseurces, Washington Tambunan, pada acara orientasi bagi media, industri tambang dalam perspektif jurnalistik, di The Hill Sibolangit 2 – 4 Maret 2017.
Dalam hal keragaman gender, dari 761 karyawan terdapat 18 persen karyawan perempuan. 18 persen karyawan perempuan dari total 2.376 semua karyawan.
“Tahun 2022 ditargetkan 30 persen pekerja perempuan akan tercapai,” ujarnya.
Untuk kontribusi pembangunan, lanjut Washington, manfaat langsung bagi Indonesia dari pajak, royalti, deviden, bea dan pembayaran lainnya sejak 2012 sampai 2015 sebesar USD170,9 juta.
Sementara, untuk pembayaran gaji karyawan, pembelian barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah dan investasi dalam negeri tahun 2012 sampai 2015 sebesar USD820 juta.
“Hal yang paling penting adalah kita sudah mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ahli geoteknik pertambangan, Ganda M Simangunsong mengatakan, pertambangan sangat mungkin merupakan ‘pekerjaan’ paling awal manusia yang kedua setelah pertanian.
“Jika kita menganggap perikanan dan kehutanan sebagai bagian dari pertanian serta produksi minyak dan gas sebagai bagian dari pertambangan, maka pertanian dan pertambangan terus menjadi pemasok semua sumber daya dasar untuk peradaban modern,” tambahnya.
Sementara itu, guru besar ITB, Ridho Kresna Wattimena mengungkapkan, banyak pekerjaan yang harus dilalui sebelum akhirnya suatu perusahaan mengambil keputusan untuk menjalankan industri pertambangan.
“Dua hal yang penting di industri pertambangan yaitu padat modal dan padat resiko, seperti untuk eksplorasi bisa sampai 10 tahun, environmental assessment dan aproval butuh waktu 4 bulan dengan modal bisa Rp1 milyar. Untuk konstruksi bisa 1 – 3 tahun. Semuanya membutuhkan pengeluaran investasi yang besar,” jelasnya.
Dalam industri tambang sebelum pengambilan keputusan penambangan, juga dilaksanakan perencanaan eksplorasi, pernyataan sumber daya dan cadangan, studi kelayakan. Namun, beberapa tantangan dalam investasi adalah belum sinkronnya beberapa legislasi lintas sektor (pertambangan, kehutanan, lingkungan dan tata ruang). Pelaksanaan kegiatan pertambangan yang baik dan benar, belum optimal.
“Saat ini masih terbatasnya kapasitas pengolahan (nilai tambah=red). Belum optimalnya kandungan lokal dari kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Harga komoditas mineral dan batubara yang berluktuasi. Kasus tumpang tindih lintas sektor dalam praktek pertambangan,” pungkasnya. [KM-03]