LANGKAT, KabarMedan.com | Bermodalkan Rp 6 juta, Udin membelanjakannya untuk membeli 100 batang bibit jambu air dari seorang penangkar di Binjai. Kini, dia bisa ‘memggaji’ dirinya sendiri Rp 10 juta/bulan.
Udin adalah sosok petani ulet yang mau belajar bagaimana mengelola lahan dan menjadikannya bernilai ekonomis. Di rumahnya di Desa Teluk, Kecamatan Secanggang, Langkat, dia mengolah 4 rante (1 rante = 400 meter). Dia mengikuti jejak rekan-rekan se-kampungnya yang sudah lebih dahulu menanamnya.
Tanaman jambu air yang ditanamnya di pekarangan rumahnya itu kini berumur empat tahun. Dia menceritakan, yang berat adalah delapan bulan, dia berjuang merawatnya dengan pengalaman dan pengetahuannya tentang perawatan yang baik hingga menghasilkan.
Ketekunannya tak sia-sia. Jambu air madu deli tersebut tumbuh dengan maksimal, memiliki bentuk dan ukuran yang menarik serta rasa yang manis.
Diambangi di rumahnya yang bersebelahan langsung dengan pekarangannya, Udin sibuk mengusap bekas lem di jari-jari tangannya, beberapa waktu lalu.
“Baru siap beresin pompa air. Kalau rusak, gimana mau nyiram tanaman. Hujan masih jarang turun jadi harus siram,” katanya ramah.
Udin menjelaskan, menanam jambu air sudah mengubah perekonomian masyarakat di Desa Teluk. Dia tidak mengetahui persis berapa luas lahan jambu air karena umumnya ditanam di pekarangan rumah.
Dijelaskannya, sebanyak 100 batang jambu air yang ditanamnya setiap dua bulan sekali bisa menghasilkan 1,2 ton buah. Udin tidak mau sembarangan dalam merawat.
Ia pun tak sembarangan dalam penjualan. Dia sangat memerhatikan tanamannya, pemupukannya, sehingga buahnya berkualitas. Dengan begitu harga jualnya pun tinggi.
Di saat petani lain menjual dengan harga cong atau harga borongan tanpa melihat ukuran dan kualitas sebesar Rp 12.000 per kilogram.
“Kalau kita tak pernah seperti itu. Kita jual dengan kualitas, jadi kita tolak ke agen, Rp 21.000 per kilogram,” katanya.
Dengan harga tersebut, maka tidak heran dia bisa menghasilkan Rp 20 juta per bulan. Dengan kata lain, Udin ‘menggaji’ dirinya sendiri Rp 10 juta per bulan.
Dalam setahun, dia bisa panen raya 8-10 kali. Kenapa bisa begitu? Menurutnya, setiap kali panen raya 2 bulan sekali, selalu ada buah susulan yang dipanen di antara panen raya.
“Menanam jambu air ini untung banyak. Karena yang sudah ada rusaknya sedikit pun, tetap bisa dijual, istilahnya di-coes. Dipotong bagian yang rusak itu, jual ke penjual rujak, Rp 3000 per kilogram, lumayan,” katanya.
Udin menambahkan, meskipun dirinya memiliki agen yang siap membeli jambu airnya dengan harga tinggi dan memasarkannya ke berbagai daerah baikMedan, Langkat, Binjai dan sekitarnya, namun harga jual bisa saja turun jika panen raya bersamaan dengan petani lain.
Pasalnya, di desa ini jambu air sudah menjadi primadona dan terkenal sebagai salah satu penghasil jambu air di Langkat.
“Tak tahu berapa luasnya ya. Ini 4 rante ada 100 batang. Kalau keseluruhan, di desa ini adalah 10.000 batang, lebih pun mungkin. Kalau panen bareng, itu pusing kita. Untungnya tidak setiap kali panen,” katanya.
Udin menambahkan, sebenarnya jambu air Desa Teluk sudah pernah menembus pasar ekspor sekitar setahun yang lalu. Tentu saja harga beli dari petani melambung. Dia merasakan di mana jambu air dari pekarangan rumahnya dihargai dua kali lipat dari harga sekarang.
“Tapi sudah tak lagi karena kata agennya, kargo makin mahal, tak tahan mereka ekspor. Kita pun bisa apa,” katanya.
Indra Saputra, salah seorang pedagang pengumpul di desa tersebut mengatakan, saat ini buah sedang sepi. Dia hanya dapat 1 ton per dua hari.
Di saat normal, dia bisa mendapatkan lebih dari 1 ton per hari. Jambu air tersebut dipasarkan ke penjual di daerah sekitar Langkat, Medan, Binjai dan lainnya. Di luar Sumatera Utara, jambu ini juga dikirim ke Aceh, Pekanbaru, Padang, Jakarta, Depok, Bogor dan lain sebagainya.
Selama empat tahun menjadi pedagang pengepul, dia juga sudah mengenyam rasa pahit berbisnis jambu air.
“Pernah beberapa kali ditipu, barang sudah dikirim, tapi uang tak dibayarkan ke kami. Menghilang begitu saja. Kita pun tak kenal dengan pembelinya, kota kan jual juga lewat Facebook, mereka kontak, kita kirim lah. Tapi tak dibayar, ya saya anggap itu bukan rezeki saja,” katanya.
Wakil Direktur Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, Iswan Kaputra mengatakan, masyarakat akan lebih berdaya jika perangkat-perangkat di desa berperan aktif.
Mulai dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), pemerintahan desa, kelompok tani, bersama-sama dengan agen dan eksportir membangun pemasaran atau rantai perdagangan yang disepakati dan saling menguatkan. [KM-05]