MEDAN, KabarMedan.com | Isu lingkungan dinilai belum menjadi prioritas di tanah air. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah lebih cenderung untuk menggenjot investasi dan mengabaikan daya dukung serta daya tampung lingkungan.
Isu lingkungan juga justru dianggap sebagai penghambat investasi. Politik hijau, sebagai kekuatan politik alternatif harus terus disuarakan dibarengi dengan penguatan di tingkat masyarakat.
Direktur Walhi Sumut, Dana Tarigan mengatakan, guna menjadikan agenda lingkungan sebagai prioritas di pemerintahan, harus dibangu blok politik hijau agar masyarkat memiliki bargaining position.
“Tidak bisa hanya menitipkan pada legislator maupun pemerintah yang ada. Jadi saat berhadapan dengan pemerintah maupun legislator sudah seperti berunding, tidak hanya menyampaikan data dan agenda,” kata Dana dalam diskusi memperkuat agenda politik dan gerakan politik lingkungan hidup di Sumatera Utara yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Kamis sore (6/2/2020).
Ia menjelaskan, blok politik hijau dimulai dengan pengorganisasian. Walaupun Dana mengakui bahwa selama ini pengorganisasian selama ini bersifat programatik.
“Harus ada pendidikan politik lingkungan agar masyarakat melek politik hijau,” ujarnya.
Kepala Desk Politik Walhi, Khalisa KHalid mengatakan, hingga kini persoalan lingkungan hidup masih jauh dari harapan.
“Kita tahu bagaimana pemerintah terus menggenjot investasi dan mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Tantangannya sangat berat karena instrumen-instrumen lingkungan kemudian dianggap penghambat dari investasi,” ungkapnya.
Ia menilai, pemerintah di tingkat pusat maupun daerah melihat investasi sebagai penyokong utama ekonomi. Turunannya adalah omnibus law yang sangat sarat kepentingan investasi dan memangkas instrumen-instrumen lingkungan. Ke depan ini menjadi tantangan besar dalam konteks krisis iklim.
“Indonesia rentan dengan krisis iklim. Di sisi lain ada tantangan politik, baik di tingkat elit politik maupun di tingkat publik belum mengganggap isu lingkungan sebagai isu prioritas dan penting, karena ada dikotomi antar isu lingkungan dan ekonomi dan dianggap terpisah, padahal isu lingkungan hidup ini tidak bisa dilepaskan dari lainnya,” jelasnya.
Dirinya mengaku, tidak sampai 2 persen masyarakat yang menjadikan lingkungan hidup sebagai preferensi atau pertimbangan dalam menentukan hak politiknya baik dalam momentum pemilu.
Di tahun 2014, kata Khalisa, pihaknya melakukan kajian terhadap caleg dan menemukan angkanya juga sampai 2 persen.
“Artinya isu lingkungan masih menjadi isu pinggiran dan yang menjadi tantangan besar karena justru yang mengemuka adalah politik identitas,” akunya.
Khalisa menambahkan, tantangan berat bagi gerakan lingkungan hidup adalah bagaimana menjawab kebutuhan memperkuat agenda politik lingkungan.
Apalagi, ujar Khalisa, setiap hari selalu dihadapkan pada penghancuran lingkungan hidup yang semakin masif dan dampaknya dirasakan secara langsung.
“Di awal tahun kita sudah dihadapkan pada bencana banjir dan longsor. Kita menyebutnya bencana ekologis karena diakibatkan salah urus pengelolaan sumber daya alam dan kegagalan dari pembangunan,” jelasnya.
Sudah menjadi keharusan membawa isu lingkungan ke tengah, tidak lagi isu pinggiran, bahkan dalam konteks momentum politik elektoral. Hal tersebut tidaklah mudah karena berhadapan dengan politik identitas yang selalu digunakan dan dikapitalisasi oleh elit politik.
“Memontum politik pilkada 2020, isu lingkungan harus bisa menjadi isu sentral, arus utama dan pada akhirnya bisa menjadi preferensi pemilih dalam menentukan hak politik,” katanya.
Untuk itu, kata Khalisa, yang paling penting adalah mendorong kesadaran politik di masyarakat untuk mengenali figur-figur yang maju dakam pilkada 2020.
Masyarakat juga perlu mengetahui sejauh mana figur tersebut memiliki relasi dengan oligarki yang dapat mengancam keselamatan ruang hidup rakyat.
“Mengenali figur dan program sangat penting. Selama ini parpol yang seharusnya berperan melakukan pendidikan politik, justru tidak memantik perdebatan programatis. Kita mendorong lahirnya ruang partisipasi politik masyarakat yang lebih bermakna. Bagaimana program yang ditawarkan kandidat itu benar-benar didiskusikan, didialogkan dengan masyarakat dan partisipasi politik warga ini agar menggerus money politic,” katanya.
Dalam konteks demokrasi, ungkapnya, partai politik adalah salah satu pilarnya. Partai hijau sebenarnya adalah salah satu kekuatan politik altrernatif yang didorong masyarakat sipil untuk mengusung agenda politiknya.
“Paket UU politik atau sistem politik kita memang mengunci ruang lahirnya kekuatan politik alternatif itu. Dengan sistem politik yang ada saat ini hampir dipastikan tidak akan muncul kekuatan politik alternatif, kecuali memiliki modal yang sangat kuat, melakukan praktik yang sama dijalankan partai politik lainnya,” jelasnya.
Ia mengatakan, partai politik alternatif tidak boleh mendapat sokongan dana dari industri ektraktif dan memiliki praktik politik yang berbeda dengan parpol pada umumnya.
“Harapannya lahir dari rakyat di mana bangunan itu bisa disokong rakyat termasuk konteks pendanaan. ini sulit,” tambahnya.
Bakal Calon Wali Kota Medan, Edy Ikhsan mengatakan, masyarakat sebenarnya akan terus mencari dan belajar dari pengalaman masa lalu.
Masyarakat, kata Edy, juga terus mencoba dan menemukan pilihan yang lebih bisa dipercaya di tengah distrust (ketidakpercayaan) masyarakat saat ini, maka secara alamiah akan mencari pemimpinnya.
“Semua partai yang lahir setelah reformasi tidak menunjukkan konsistensinya kepada rakyat,” katanya.
Dengan kondisi itu, peluanganya ada pada kekuatan alternatif. Tidak bisa dengan partai yang ada sekarang ini.
“Tidak ada partai politik yang  menunjukkan ghirah bahwa mereka akan berjuang total untuk masyarakat. Opsinya adalah alternatif. tapi ini jangka panjang, panjang,” katanya.
Edy yang muncul sebagai sosok alternatif dalam kontestasi pilkada Walikota Medan mengatakan, ikhtiar untuk ikut terlibat memperbaiki Kota Medan ini belum mendapatkan dukungan konkret yang dibutuhkan dalam mekanisme ataupun regulasi KPU. Ada beberapa hal yang menurutnya menjadi sebab.
Pertama, potensi basis yangs selama ini diasumsikan memberikan dukungan ternyata tidak cukup mampu untuk bahu-membahu melakukan perubahan secara bersama.
Kedua, regulasi untuk calon independen terlalu berat. Kemudian prosedur yang harus diikutsertakan seperti tanda tangan basah dan ancaman-ancaman terkait jika ada dukungan yang ternyata dimanipulasi, bisa membawa si calon berhadapan secara pidana di depan hukum.
“Saya percaya bahwa civil society organization (CSO) ini masih memiliki ideologi dan berkonsolidasi. Tapi mereka harus memperlebar, konsolidasi tidak hyanya dalam konteks LSM, tapi sampai pada kelas menengah, simpul jurnalis kemudian rekan perguruan tinggi,” katanya.
Begitupun dengan ormas yang memiliki basis masyarakat, kata dia, harus diajak untuk mendialogkkan pemimpinnya yang layak untuk diusung.[KM-05]
