TAPSEL, KabarMedan.com | Massa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Selamatkan Hutan Batang Toru berunjuk rasa di Jembatan Sisoma Godang, Desa Panobasan, Kecamatan Angkola Barat, Tapanuli Selatan, Kamis (21/2/2019). Massa menuntut proses pembangunan PLTA Batang Toru segera dihentikan karena berpotensi merusak hutan dan habitat asli Orangutan Tapanuli yang kini diambang kepunahan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima, massa gabungan dari komunitas pecinta alam, masyarakat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menilai pembangunan PLTA oleh PT NSHE tersebut akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan lingkungan dan kehidupan masyarakat.
“Pemerintah harus berani mengambil sikap tegas agar proses pembangunan segera dihentikan karena akan sangat merugikan lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar,” kata Koordinator Aksi, Andika Daulay.
Adapun ekosistem Hutan Batang Toru merupakan hamparan hutan primer dengan luas sekitar 1.400 km persegi dan lebih dari 100.000 jiwa menggantungkan hidup dari hutan ini. Pada hulu sungai Batang Toru, terdapat sekitar 1.200 hektar lahan pertanian produktif milik masyarakat dan masyarakat adat.
Hutan ini menjadi habitat asli orangutan Tapanuli, ranggong, enggang badak dan hewan lain yang dilindungi, karena jumlahnya sudah sangat langka. Kehadiran PLTA Batang Toru juga dipastikan bakal merusak habitat dan ekosistem Batang Toru yang berimplikasi pada kepunahan hewan atau tumbuhan yang menjadi identitas Tapanuli Selatan (Tapsel).
Massa menilai, pemerintah daerah Tapsel tak peduli terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati Hutan Batang Toru yang merupakan rimba terakhir di Sumatera. Hutan ini sendiri sejak dulu masih murni atau belum tersentuh perambahan oleh manusia.
Mereka juga meminta pemerintah segera meninjau kembali izin-izin yang diberikan kepada pihak perusahaan karena masih terdapat kejanggalan administrasi, terutama masalah AMDAL. Ekosistem Sungai Batang Toru dan beberapa anak sungainya akan terputus total sehingga berpontesi merusak habitat dan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar sungai.
Walhi sendiri tahun lalu menggugat Gubernur Sumut terkait izin lingkungan yang diberikan kepada NSHE. Menurut Walhi, Pemprov Sumut menyalahi prosedur sebelum memberikan izin lingkungan kepada NSHE.
Direktur Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan mengatakan, beberapa waktu lalu dalam pelantikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Jakarta, Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa pembangunan tidak boleh dilakukan di zona merah gempa. Begitu juga dengan pemukiman masyarakat, apalagi bendungan besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air.
“Terlebih tidak pernah ada jenis bendungan apa yang akan dibangun. Dan masyarakat mana yang akan terdampak jika itu bendungan itu jebol. Itu tak pernah ada dijelaskan ke publik,” katanya.
Dia menambahkan, masyarakat di Sipirok, Marancar dan Batang Toru belum pernah diberitahu secara terang benderang mengenai dampak dan ancaman dari gempa jika PLTA dibangun karena yang disosialisasikan hanya yang baik-baik saja.
Manajer Kampanye Walhi Sumut, Roito Lumbangaol mengatakan, hingga kini gugatan Walhi terhadap pemberian izin tersebut terus bergulir di PTUN dan pada 4 Maret mendatang akan dilangsungkan sidang putusan.
“Kami berharap hakim bisa mempertimbangkan kelangsungan lingkungan dan masyarakat sebelum memutuskan,” katanya.
Dia menegaskan, sejak awal Walhi tak membenci pembangunan. Namun, setiap pembangunan setidaknya harus memperhatikan tiga aspek, yakni lingkungan, sosial dan ekonomi. “Jika salah satu aspek itu saja terancam rusak, maka kami dengan tegas akan menolak pembangunan,” katanya. [KM-05]