DELI SERDANG, KabarMedan.com | Hamparan sawah dan cabai merah menyapa dengan hembusan angin semilir di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Pagar Merbau, Deli Serdang. Di sebuah gubuk sederhana, seorang petani cabai merah menyapa dengan ramah. Mulai tingginya curah hujan membuatnya harus lebih waspada menjaga lahannya.
Petani itu bernama Sido Mulyo Harjo. Di lahan seluas 6 rante dia menanam cabai merah. Panen terakhir dia bisa memanen sebanyak 250 kg/rante. Walaupun cabai bisa terus berproduksi hingga berumur 9 bulan, biasanya dia hanya akan mengambil panennya sampai pada umur 7 bulanan.
Alasannya, pola panen cabai dimulai pada umur 3 bulan dan akan sampai puncak panennya pada pertengahan musim. Artinya, panen puncak terjadi apa umur 6 bulanan. Pada saat belajar berbuah, jumlahnya kecil begitu pula menjelang umur tuanya.
“Dia kan kayak gunung panennya, kalau sudah mau habis ya saya duluan kan saja panennya, tak sampai 9 bulan,” katanya, Jumat (5/4/2019).
Di musim yang semakin tidak menentu dengan tingginya curah hujan dan panas yang menyengat menjadi tantangan berat bagi petani, khususnya yang membudidayakan cabai merah.
Dia adalah orang pertama yang menanam cabai merah di desanya di tahun 2015, kemudian diikuti petani lainnya mengadu keberuntungan.
Seiring waktu berjalan, semakin banyak petani cabai merah. Saat ini diperkirakan mencapai 10 hektare. Sebagai petani cabai merah yang pertama-tama membudidayakannya di lahan yang menurutnya tidak begitu luas, dia merasakan kejayaan saat pasokan di pasaran sedikit dan harganya tinggi.
Saat itu, harga cabai merah sebesar Rp 15.000/kg sudah sangat menguntungkan. Berbeda dengan saat ini. Harga jual Rp 15.000/kg petani akan mendapatkan keuntungan tipis. Petani baru akan mendapatkan untung ketika harga jualnya menyentuh angka Rp 20.000/kg.
Dikatakannya, menanam cabai merah seperti merawat bayi. Dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran serta penuh doa untuk membudidayakannya. Namun demikian, dia mengaku senang dan tidak pernah putus asa ketika harga jatuh.
Sejak 2015 hingga sekarang menurutnya adalah bukti bahwa cabai merah sangat potensial. Dia yakin, walaupun kadang harga jatuh namun di suatu saat harga kembali membaik.
Dia salah satu petani yang tetap bertahan dengan keyakinan itu. Dia memiliki kiat agar berhasil bertanam cabai merah. Kiat tersebut dilakukannya sejak persiapan lahan sebelum pertanaman. Lahan yang akan ditanaminya harus digemburkan terlebih dahulu.
Menanam cabai merah lebih baik jika curah hujan rendah. Panas terik bagi petani lebih baik daripada harus memompa air dari lahan pertanaman. “Kalau saya, lebih baik menimba air untuk menyirami tanaman daripada hujan terus-menerus,” katanya.
Musababnya, di saat curah hujan tinggi hama dan penyakit mudah datang menyerang. Begitu juga dengan jamur. Kalau sudah jamur yang menyerang, kata dia, petani kerap tertipu. Pasalnya di bagian batang maupun daun tidak bermasalah, ternyata di akarnya sudah membusuk dan tanaman bisa tiba-tiba mati.
Belum lagi serangan fusarium atau mati gadis. Banyak petani yang tidak mengerti bagaimana menangani serangannya. Menurutnya, dia dan banyak petani lainnya tidak pernah mendapatkan penyuluhan dari pemerintah tentang bertani cabai.
Petani melakukannya sendiri. Bertanam dengan modalnya sendiri. Menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan kadang juga sering membiarkan masalah berlalu tanpa selesai. Artinya, serangan hama dan penyakit datang berulang.
Apalagi, dia dan banyak petani lainnya tidak masuk dalam kelompok tani. Menurutnya, seharusnya penyuluh tidak hanya mendatangi petani dalam kelompok tani tetapi juga kepada petani yang tidak berkelompok. Petani tidak masuk dalam kelompok tani punya alasannya sendiri.
Mulai dari karena kesibukan maupun karena tidak mengerti. Beberapa waktu lalu sebenarnya pernah ada keinginan membentuk atau masuk ke kelompok tani namun tertunda.
Pendampingan, kata dia, dibutuhkan oleh petani apalagi di saat ini dihadapkan pada cuaca yang tidak menentu. Kerap kali petani harus panen ‘ijon’. Karena dipanen sebelum waktunya, harga pun jatuh. Dengan panen ijon, petani harus merelakan panennya dibeli dengan harga Rp 13.000/kg.
Sedangkan jika panen pada waktunya, petani bisa menjual paling rendah Rp 15.000/kg. Menurutnya, dalam situasi sekarang ini lah dibutuhkab peran dari pemerintah.
Direktur Planet Biru Indonesia, Danny Lee mengatakan, Fusarium atau mati gadis memang sudah menjadi permasalahan bagi petani cabai merah. Menurutnya, penanganan yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki tanahnya. Quantum berfungsi sebagai pembenah tanah dengan mengembalikan hayati tanah.
Menurutnya, selama ini petani sudah menggunakan pupuk kompos. Namun hal tersebut sebenarnya juga bukan solusi karena harga, transportasi dari tempat penyimpanan ke lahan. Petani biasanya hanya berbicara nutrisi dan tak melihat segi hayatinya.
Dijelaskannya, kandungan unsur N pada kompos hanya 4%. Maka lebih baik menggunakan urea yang kandungan unsut N sebanyak 46%. Dengan demikian, untuk memberi asupan N sebanyak 46% dengan kompos harus menambah sebanyak 10 kali lipat.
Danny menjelaskan, yang tidak dimengerti oleh kebanyakan petani adalah hayatinya. Kalau hayatinya bagus, hormon pertumbuhan batang dan buah juga bagus. Bakteri akan menjaga akar terlindungi dan menetralisir racun. Asupan nutrisinya juga dibawa bakteri ke akar.
“Jadi kalau bagi kami misalnya kenapa dikasih Quantum terus bagus, gampang saja. Itu karena kita memperbaiki tanahnya, sehingga hayatinya muncul dengan baik,” katanya. [KM-05]