MEDAN, KabarMedan.com | Salah satu kunci untuk mendatangkan investor adalah dengan memberikan kemudahan birokrasi dan regulasi. Selama ini, ribetnya birokrasi dan regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, menjadi hambatan bagi investor untuk masuk.
Hal tersebut diungkapkan pengamat ekonomi Albara dalam Diskusi Lintas Media dengan tema ‘’Potret Pengangguran Dan Lapangan Kerja Di Medan, Tantangan Ke Depan’’ yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Semesta Rakyat Indonesia (DPP-GSRI), di Le Polonia Hotel Medan, Jum’at (6/3/2020).
Albara yang merupakan ekonom dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengatakan, Omnibus Law menjadi ruang penting untuk memudahkan investasi ke Indonesia. Ia menjelaskan, salah satu kunci untuk mendatangkan investor adalah dengan memberikan kemudahan dari sisi birokrasi dan regulasi.
“Selama ini ribetnya birokrasi dan regulasi yang juga tumpang tindih antara pusat dan daerah itulah yang menjadi hambatan bagi investor untuk masuk,” katanya
Omnibus Law yang kini menjadi salah satu isu yang banyak diperdebatkan, menurut Albara justru hadir menjadi jawaban atas ribetnya regulasi yang bertingkat-tingkat antara pusat dan daerah. Karena itu dia yakin, Undang-undang Cipta Lapangan Kerja ini akan menjadi pemicu bagi masuknya investor sekaligus meningkatkan ekonomi.
“Saya menyarankan, Sumatera Utara mengambil kesempatan dengan muncul RUU Omnibus Law ini untuk menjaring investor di Sumatera Utara,” tukasnya.
Albara juga mengungkapkan, angka pengangguran di Sumut pada 2019 naik 11 ribu dari tahun sebelumnya. Pengangguran paling banyak merupakan lulusan sarjana. Hal tersebut, menurutnya disebabkan minimnya lapangan kerja untuk sarjana. Selain itu, para sarjana dinilai terlalu gengsi dalam memilih pekerjaan.
Berbeda dengan dengan lulusan SMA/sederajat yang masih terbuka lebar. Pertama, mereka bisa menjadi buruh pabrik, ojek online, dan sebagainya. “Di 2019 angka pengangguran tercatat 414.000 dari 403.000,” ungkapnya.
Albara mencontohkan, pelaku industri kreatif kini semakin dibutuhkan guna membantu para pelaku UMKM itu sendiri dalam hal membuat packaging. Mereka beralasan dengan melihat peluang UMKM akan semakin tumbuh dan perizinan semakin mudah.
Hanya saja berdasarkan pengalaman dirinya untuk membuat usaha yang bergerak di bidang packaging, Albara harus melewati 15 perizinan. Sedangkan untuk pembuatan pabrik harus melewati 30 perizinan.
“Saat saya mengajak investor dari Jepang membuat usaha packaging minyak goreng. Modal yang sudah dikucurkan dan tanah untuk pabrik dibeli tidak jadi beroperasi karena ribetnya urusan. Terlalu ribet. Banyak yang dilewati. Sudah mengantongi peraturan pusat, harus juga melewati peraturan daerah. Belum lagi hukum adat di satu daerah itu. Sehingga para investor menarik diri dari sini dan pabrik tidak jadi dibuka,” ungkapnya.
Menurut Albara, pengurusan perizinan harusnya dipersingkat karena akan mendorong investasi di Sumut. Apabila sudah mengantongi izin pusat atau sebaliknya tidak ada lagi berhadapan dengan peraturan lain.
“Angka investasi di Sumut sekarang ini 6 persen. Sementara di 2018, di Sumut tumbuh mencapai 9 persen. Angka pertumbuhan investasi bisa meningkat dengan menarik investor. Imbasnya juga perekonomian di Sumut semakin baik,” jelas Albara.
Albara menambahkan, hal tersebut harus juga dilakukan tindakan lainnya seperti, menekan angka impor, merubah gaya hidup, dan lainnya. Hal ini sebenarnya yang sulit dilakukan, namun harus dilakukan, sebab tingginya pengangguran dapat memicu tingginya angka kriminalitas.
Untuk itulah dirinya berharap, di Sumut segala aturan yang dinilai tidak terlalu penting harus dihapuskan. “Sumut harus menjadi contoh bagi provinsi lain dalam melakukan itu. Harus berani melakukan itu,’’ tandasnya. [KM-01]