SEMINYAK, KabarMedan.com | Sejak awal tahun 2016 hingga kini, IFJ mencatat sebanyak 107 orang jurnalis telah dibunuh di berbagai belahan dunia, dan lebih dari 90% dari jurnalis yang dibunuh adalah lokal jurnalis. Hal ini mengindikasikan adanya krisis terhadap keamanan jurnalis itu sendiri.
Perlindungan bagi jurnalis masih lemah, begitu juga dengan penindakan untuk keadilan terhadap pelaku kekerasan. Berdasarkan data dari UNESCO, kurang dari 1 dalam setiap 10 kasus pembunuhan jurnalis yang sampai ke pengadilan, dan 92% insiden yang menggunakan kekerasan untuk menekan kebebasan pers dan berekspresi tidak ditindaklanjuti.
Kondisi-kondisi tersebut mengingatkan kepada berbagai kalangan mengenai pentingnya mekanisme yang menjamin keamanan jurnalis dalam bekerja. Sejak Juni 2016 hingga Desember 2017, IMS dan IFJ (the International Federation of Journalists), sedang mengumpulkan berbagai model yang menjadi best practicedalam safety of journalist (keamanan bagi jurnalis) di berbagai wilayah seperti Colombia, Philippines, Pakistan, Indonesia, Irak, Afganistan, dan Nepal.
Berkenaan dengan upaya tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan International Federation Journalist (IFJ), dan International Media Support (IMS) mengadakan “Safety of Journalist Training pada 21-22 Desember 2016, di Hotel Jambu Luwuk, Seminyak, Bali, agar jurnalis memiliki bekal pengetahuan keselamatan.
Pelatihan diikuti jurnalis dari Denpasar, Makassar, Palu, Kupang dan Papua. Materi pelatihan terkait bagaimana mempersiapkan diri meliput di daerah konflik, perlindungan diri, serta menghindari resiko seperti penculikan, kekerasan serta melindungi data digital.
Ketum AJI Indonesia, Suwarjono menegaskan, pelatihan ini sangat penting, karena kasus kekerasan sebagaian besar disebabkan jurnalis yang tidak bisa menempatkan diri ketika terjadi konflik, isu sensitive seperti sara, suku, pilkada, soal ideologi.
“Apalagi saat ini adalah momen menjelang pilkada serentak, itu sebabnya para jurnalis juga harus mempesiapkan diri. Hampir menjelang pilkada semua daerah memanas, awal tahun 2017 akan ada pilkada serentak biasanya berpotensi terjadi gesekan. Kalau tidak professional melakukan liputan bisa digerudug oleh massa,” tuturnya, Rabu (21/12/2016).
Menurutnya, jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia juga cukup banyak dan terjadi dengan berbagai bentuk. Bentuknya mulai dari kekerasan fisik, psikis sampai perusakan dan perampasan alat kerja. Masing-masing kota memiliki persoalan berbeda-beda.
Konsultan keamanan Nick Isack selaku pemateri pelatihan menyebutkan, tahun ini sudah 68 orang jurnalis di seluruh dunia meninggal dan sekitar 179 jurnalis dipenjara. Adapun jumlah jurnalis di seluruh dunia yang meninggal sejak 2006 tercatat mencapai 700 orang karena berbagai sebab seperti perang, pembunuhan dan kekerasan.
Dari jumlah tersebut, 35% diantaranya merupakan korban saat meliput kasus kejahatan, korupsi, dan 95% merupakan jurnalis. Sayangnya, dari seluruh kejadian yang menyebabkan jurnalis meninggal tersebut, hanya sekitar 6,6% yang pelakunya diproses hukum. Karena itu, lanjutnya, penting bagi jurnalis untuk memiliki bekal kemampuan menghadapi situasi khususnya di daerah yang rawan konflik.
“Jadi pekerjaan apapun punya resiko tetapi khusus jurnalis di tempat tertentu high risk. Jadi statistic data sebenarnya belum mencerminkan secara keseluruhan termasuk kekerasan lain di tempat lain. Meskipun jurnalis, tetapi juga harus dipersiapkan mental untuk mengurangi dampak di masa depan,” papar ahli bidang keamanan ini.
Sementara, menurut M Iqbal perwakilan dari AJI Palu, kegiatan ini sangat bermanfaat khususnya yang bertugas di wilayah rawan konflik. Dia mengatakan jurnalis tidak hanya sekedar memiliki kemampuan menulis saja dan melalui kegiataan ini mereka bisa mendapatkan bekal keahlian pendukung kerja-kerja jurnalis.
“Hendaknya kegiatan ini dilakukan secara rutin dan berkala, agar pengetahuan jurnalis di Indonesia khususnya soal keselamatan diri merata,” pungkasnya. [KM-01]