KABAR MEDAN | Dalam paparan Catatan Akhir Tahun-nya, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers bukan hanya dengan cara kekerasan. Tahun 2014 ini juga jadi saksi ancaman terhadap kebebasan pers muncul dari penanggung jawab media itu sendiri. Tahun Pemilu membuat pemilik atau penanggung jawab media terlibat dalam pertarungan dalam pemilihan presiden.
“Tahun 2014 ini, AJI memutuskan Musuh Kebebasan Pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, TV One dan Metro TV. Para penanggung jawab redaksi itu telah menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI menemukan, praktik oligopoli media massa membuat opini masyarakat juga dikontrol oleh sekelompok kecil pemilik atau penanggung jawab media,” kata Ketua Umum AJI, Suwarjono, di Jakarta, Selasa (23/12/2014).
Menurutnya, kondisi buruk atas profesi jurnalis juga termasuk soal kesejahteraan jurnalis. Ribuan jurnalis saat ini berstatus kontributor atau koresponden, tanpa hubungan kontraktual dengan media yang mempublikasikan karyanya. Mereka tak memiliki jaminan sosial, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Sebagian besar dari mereka juga tak diikutkan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS yang merupakan kewajiban setiap perusahaan yang mempekerjakan mereka.
“AJI juga menyoroti kebebasan pers yang buruk di Papua. Sejak 1969 hingga kini, jurnalis asing tidak bisa bebas meliput di Papua. Terakhir, dua jurnalis Prancis, Dandois dan Bourrat, ditahan karena melakukan aktivitas jurnalisme di Papua. Tekanan yang berat juga dialami jurnalis lokal, sepanjang tahun 2014, ada dua peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Jayapura,” kata Jono, panggilan akrabnya.
Saat kebebasan pers dalam tekanan, kebebasan berekspresi dan berpendapat juga mengalami tekanan serius. Selain Peraturan Menteri Kominfo tentang konten negative, belakangan, marak pemidanaan terhadap kasus-kasus pencemaran nama yang terjadi di ranah Internet atau digital.
Sejak Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik berlaku di tahun 2008, sampai tahun 2014, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, terdapat 74 kasus kriminalisasi kebebasan berpendapat berdasarkan UU ini. Pasal 27 dan 28 UU ITE menjadi pasal karet yang bisa menjerat siapapun atas laporan warga.
Ia menambahkan, selain persoalan-persoalan di atas, AJI juga mencatat sejumlah problem etika jurnalistik. Masih banyak media yang mengumbar berita kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai komoditas, mengabaikan etika jurnalistik atau pedoman-pedoman pemberitaan.
Harus diakui, sejumlah kekerasan terjadi karena produk jurnalistiknya tidak memenuhi standar. Oleh karena itu AJI mendorong media untuk menerapkan pemberitaan yang berimbang, independen dan memenuhi kode etik. Otokritik ini harus diakui, agar pemberitaan ke depan makin maju.
“AJI juga mencatat, diskriminasi atas pekerja perempuan juga terjadi di kantor-kantor media, dengan tidak dipenuhinya sejumlah hak pekerja perempuan. Seperti hak cuti haid, hak cuti melahirkan dan hak melakukan laktasi dengan memfasilitasi ruangan yang layak untuk itu,” tutup Jono. [KM-01]