PARMAKSIAN, KabarMedan.com | Belasan kader GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Sumut mengunjungi industri pulp PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL} di Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Rabu (9/9/2915). Selama sehari penuh, mereka datang untuk menyaksikan secara langsung apakah fakta-fakta di lapangan sesuai dengan sejumlah isu negatif yang pernah dilontarkan para pengkritik melalui media massa, media sosial, dan aksi unjuk rasa. Hasilnya, fakta dengan isu yang dilontarkan jauh berbeda.
Kunjungan itu dipimpin Koordinator Daerah GMNI Sumut, Turedo Sitindaon, SH. Selain untuk mengkonfirmasi kebenaran isu-isu negatif yang beredar, kedatangan mereka sekaligus untuk mengetahui seberapa besar dampak kehadiran perusahaan PMA ini terhadap ekonomi negara dan masyarakat lokal.
“GMNI Sumut berada pada posisi “kritis independen” terhadap TPL –dan juga institusi bisnis lainnya. Kritis berarti tidak lekas percaya pada informasi apapun kecuali memenuhi prinsip-prinsip akademik atau obyektivitas, dan karena itu mereka melakukan observasi langsung ke lapangan. Independen berarti bebas dalam berpikir, bersikap dan bertindak,” tegas Turedo.
Dalam kunjungan kader GMNI Sumut tersebut, Manager CSR (Corporate Social Responsibility) TPL Jasmin Parhusip dan beberapa staf, diantaranya Jerry Tobing dan Sukardi, mengajak rombongan menyaksikan pusat pembibitan, lingkungan pabrik serta instalasi pengolahan limbah.
Di central nursery rombongan menyaksikan tangan-tangan terampil perempuan desa menghasilkan 2,1 juta bibit ekaliptus (Eucalyptus sp) unggul perbulan untuk ditanam di HTI. Juga ada pembibitan sekitar 1.000 bibit kemenyan (haminjon) untuk ditanam bersama masyarakat petani serta dibagi-bagikan secara gratis untuk ditanam di lahan milik termasuk pekarangan rumah. Pembibitan mengadopsi teknologi kloning (clone).
Ekaliptus dapat dipanen pada usia antara 5 – 6 tahun. HTI itu dibangun di konsesi berstatus kawasan hutan register berfungsi HP (hutan produksi tetap) berdasarkan izin Pemerintah (Kementerian Kehutanan). Logikanya, kawasan hutan register dikuasai Negara dan karena itu bebas dari pembebanan hak. Tetapi sebagian hutan register inilah yang diklaim oleh segelintir pihak sebagai hutan atau tanah adat.
Di lingkungan pabrik, rombongan diberitahu proses pemasakan (perebusan) bahan baku kayu menjadi bubur kertas (lazim juga dinamai : bubur kayu). Setelah diputihkan, bubur itu kemudian dikeringkan hingga mirip karton. Lalu dipotong-potong dan dikemas untuk memudahkan pengangkutan dari pabrik ke Pelabuhan Belawan. Sebagian besar produksi diekspor untuk menghasilkan devisa.
Para aktivis kemudian diberitahu proses pengolahan limbah. Mereka menyaksikan scrubber dan incinerator dua alat penangkap partikel debu dari udara (limbah gas) untuk kemudian dibakar. Adapun limbah cair diolah dalam suatu instalasi deeptank cukup modern untuk memisahkan padatan dari cairan, injeksi oksigen serta kontrol pH (keasaman).
Sedangkan limbah padat disimpan di tempat aman, yang konstruksinya berdasarkan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup. Pengolahan semua limbah itu dilakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku-mutu. Secara alami juga ada indikator yang memastikan pengolahan limbah itu oke. Berbagai makhluk hidup seperti unggas (merpati, balam), tanaman (cabe, semangka) dan ikan dapat hidup normal dengan memanfaatkan air limbah yang sudah diolah sebagai ransum atau media hidup.
Bagi para mahasiswa terdidik itu, semua fakta yang mereka saksikan sudah cukup untuk membuktikan semua limbah pabrik sudah diolah hingga memenuhi standar dan karena itu tidak mencemari lingkungan. Adapun HTI dibangun diatas konsesi berdasarkan izin.
Proses pengerjaannya pun memenuhi seluruh persyaratan dan peraturan, dimana perusahaan menerima sejumlah pengakuan dan penghargaan, diantaranya ISO 9000 (Mutu Produksi), ISO 14000, dan Proper Hijau (Manajemen Lingkungan), PHPL (Manajeman Kehutanan), serta SMK-3 Emas (Manajemen Ketenagakerjaan). Ringkasnya, semua fakta membuktikan isu negatif terhadap perusahaan tidak berdasar dan karena itu tidak benar.
Seluruh proses (produksi pulp dan pembangunan HTI) melibatkan sekitar 6.000 tenaga kerja. Hanya seribu orang diantaranya karyawan perusahaan dan selebihnya bekerja pada sekitar 400-an perusahaan rekanan lokal sebagai mitra-usaha. Nilai transaksi kemitraan sejak 2003 melampaui Rp3 triliun.
Disamping itu perusahaan juga mengalokasikan 1% dari hasil penjualan-bersih untuk membiayai program pemberdayaan masyarakat (CD – Community Development) mencakup bidang-bidang : ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-lingkungan. Nilainya hingga 2014 melampaui Rp100 miliar. [rel]