LAPK Minta Pemda & DPRD Tidak Seenaknya Menaikkan HET Elpiji 3 Kg

KABAR MEDAN | Terkait rencana penetapan harga eceran tertinggi Elpiji 3 Kg, Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) dan DPRD tidak boleh seenaknya saja. Pasalnya, harga Elpiji 3 Kg merupakan harga yang ditentukan pemerintah.

Alasannya, kenaikan harga dinilai akan meresahkan masyarakat serta membebani masyarakat miskin. Untuk itu Pemda dan DPRD didesak untuk tidak menaikkan HET Elpiji bersubsidi tersebut.

“Sudah cukuplah Elpiji 12 Kg naik. Sekarang ini dampak dari kenaikan BBM sudah membuat semua barang naik. Jadi, kalau elpiji 3 kg akan dinaikan lagi sama saja akan menyusahkan masyarakat,” kata Direktur LAPK, Farid Wajdi, Kamis (15/1/2015).

Memang Pemerintah Daerah memiliki kewenangan menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Penetapan harga eceran tertinggi (HET) Elpiji 3 Kg dilakukan oleh Pemda Provinsi dengan Kabupaten dengan mempertimbangkan keadaan setiap daerah, margin, daya beli. Setiap kenaikan harga ini jelas akan menambah beban pengeluaran

“HET yang begitu besar itu jelas sangat membebani masyarakat. Karena itu, perlu dikaji kembali. Pemerintah provinsi bersama Pemerintah Kabupaten dan pihak legislatif harus segera berkoordinasi untuk melihat secara riil daya beli masyarakat,” ujar Farid.

Menurutnya, mestinya penyebab kenaikan HET itu misalnya biaya angkut yang salah satunya menjadi alasan penetapan HET itu dibebankan kepada Pemerintah pusat, apakah bersumber dari APBN ataupun dari APBD. Sehingga kebijakan konversi dari minyak tanah ke Elpiji 3 Kg itu benar-benar dirasakan mengurangi beban masyarakat kurang mampu.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu merevisi atau menerbitkan kembali Peraturan Menteri ESDM terkait distribusi dan penggunaan Elpiji bersubsidi tabung 3 kilogram (Kg). Termasuk mengenai besaran harga eceran tertinggi yang harusnya berlaku sama di seluruh pelosok Indonesia.

“Pelaksanaan distribusi tertutup terhadap Elpiji 3 Kg sebagaimana diatur dengan Peraturan Bersama Mendagri No. 17 Tahun  2011 dan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2011, ternyata tidak efektif untuk dilaksanakan. Distribusi tertutup hanya bisa dilaksanakan apabila penyalur Elpiji 3 Kg terbilang sedikit jumlahnya, seperti pada penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh SPBU yang jumlahnya hanya sekitar 5.300. Itu pun, ternyata pemerintah tidak pernah berhasil menghapus penyelewengan BBM bersubsidi,” cetus Farid.

Untuk melaksanakan amanat peraturan bersama menteri dalam negeri dan menteri ESDM tersebut, ternyata pemerintah daerah sebagai pihak yang ditugaskan melakukan pengawasan penyaluran Elpiji dan pembinaan terhadap agen serta pangkalan Elpiji nyaris terbukti tidak mampu melaksanakan hal tersebut.

“Pemerintah dan DPR, harus memahami bahwa logikanya yang namanya subsidi merupakan bantuan dan seharusnya bantuan tidak lebih besar dari nilai yang dibantu atau yang disubsidi. Karenanya, Pemerintah dan DPR RI harus berkomitmen dan sepakat bahwa harusnya subsidi tidak lebih besar dari harga beli masyarakat atas produk Elpiji yang disubsidi,” tutup Farid. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.