Nadiem: Cara Mengajar Pancasila Harus Disempurnakan

MEDAN, KabarMedan.com | Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim mengatakan, selama ini cara yang dilakukan dalam mengajarkan Pancasila ke anak-anak kurang sempurna. Pasalnya, pengajaran Pancasila selama ini hanya berkutat pada hafalan.

“Banyak sekali cara atau proses pengajaran Pancasila yang lebih mengarah pada hafalan, mengenal informasi tanpa dibarengi dengan contoh dan teladan yang nyata,”paparnya dalam acara diskusi yang dihelat Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI), Jumat (7/5/2021).

Menurutnya, menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari harus menjadi fokus pengajaran ke anak. Cara pengajaran yang kurang sempurna membuat bangsa Indonesia justru berjarak dengan ideologinya sendiri. Untuk itu, Nadiem sebagai Mendikbud Ristek berkomitmen akan mengubah cara pengajaran yang kurang efektif tersebut.

“Pancasila malah menjadi konsep besar yang sulit dimanfaatkan, sulit dicerna relevansinya dalam kehidupan sehari-hari generasi penerus kita. Dengan mentransformasi cara system pendidikan Pancasila yang lebih holistik termasuk penguatan karakter pelajar,”terangnya.

Nadiem menjelaskan, untuk pertama kali anak-anak di Indonesia mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) akan mempelajari Pancasila dengan beragam cara yang kreatif. Pembelajaran ini akan berbasis proyek. Dimana anak-anak akan dituntut melalui kegiatan yang dilakukan dengan makna gotong royong.

“Mengedepankan nilai gotong royong, bahu membahu mengerjakan proyek-proyek sosial agar Pancasila mendarah daging di dalam karakter anak-anak kita,”tegasnya. Proyek yang bersifat sosial seperti inilah yang menurut Nadiem akan dapat mengaktifkan Pancasila di jiwa dan raga anak-anak.

Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI (PA GMNI), Ahmad Basarah mengatakan Webinar tersebut bertujuan mewujudkan keadilan sosial dan peradaban bangsa. Dia pun menilai pengembangan riset dan teknologi nasional harus berbasis pada keanekaragaman hayati, geografi dan seni budaya lokal yang bersumber nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Sementara itu, Kepala Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN) Laksana Tri Handoko menjelaskan bahwa Indonesia telah menjadi negara kedua terbesar yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati. Kendati demikian, semuanya perlu ditopang oleh riset dan teknologi. “Fokus riset Indonesia ke depan pada digital, green dan blue economy. Basisnya sumber daya lokal dan keanekaragaman hayati, geografis serta seni budaya. Riset berperan penting dan menyokong keanekaragaman di Indonesia, sehingga mempunyai nilai ekonomi,”ujarnya.

 Ia memberikan contoh terhadap para pengrajin rotan yang sulit bersaing di pasar global, karena hanya menjual bahan mentah. Di satu sisi, produk kerajinan rotan bisa ditolak di pasar Eropa jika tidak memiliki sertifikasi keamanan produk. Bagi Laksana, tantangan global dapat diatasi jika Indonesia memiliki data riset berbasis ilmiah, memperkuat SDM riset yang menarik anak muda Indonesia baik dalam maupun luar negeri, serta regulasi yang memberikan perlindungan kepada pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM, Paripurna Purwoko Sugarda mengatakan bahwa kebutuhan energy di Indonesia yang sangat besar dapat menjadi peluang untuk mengembangkan energy terbarukan (renewable energy). Indonesia punya potensi besar atas energy terbarukan seperti tenaga angin, air, ombak, tenaga surya, panas bumi, biomass, dan lain sebagainya.

“Agar menjadi pemenang bidang energi di tingkat ASEAN, Indonesia perlu mengembangkan biofuel dan biomass, mengembangkan strategi teknologi energi, mendorong energi terbarukan berbasis maritim, serta mendukung memperbarui limbah air sehingga dapat digunakan kembali,”ujarnya.

Menyikapi hal ini, Ketua Bidang Riset, Teknologi, dan Informasi DPP PA GMNI, Eva Kusuma Sundari menganggap bahwa perempuan masih terpinggirkan dalam masalah penguasaan teknologi dan akses pendidikan. Ia merujuk pada survei pengembang perangkat lunak global (2020). Dimana sebagian besar pengembang adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 91,5%. Sedangkan perempuan hanya 8,5%. Realitas pekerjaan pengembangan perangkat lunak didominasi oleh pria.

“Adanya problem kultur tentang rendahnya perempuan yang berkiprah di bidang teknologi karena mereka sejak kecil tidak dididik sebagai risk taker yang boleh salah mengambil keputusan. Sementara laki-laki waktu kecil dididik sebagai risk taker,” paparnya.

Solusi mengatasi kesenjangan tersebut, menurut Eva adalah dengan adanya dorongan agar pendidikan teknologi bisa diakses bagi perempuan dan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Eva menambahkan, karena biaya pendidikan teknologi mahal, terdapat masalah stigmatisasi terhadap perempuan dan anak miskin yang takut menjangkaunya. Hal ini harus diperangi supaya mereka mendapatkan akses pendidikan dan teknologi yang inklusif. [KM-06]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.