JAKARTA, KabarMedan.com | Kementerian Kehutanan melalui Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pengelolaan Kawasan Konservasi, Dian Risdianto menegaskan pentingnya pengelolaan kawasan konservasi dengan menggunakan tiga prinsip yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan konservasi.
Hal itu diutarakan Dian saat menjadi pembicara pada sesi diskusi bertajuk Menakar Potensi Ekonomi Kawasan Konservasi dalam acara Greenpress Community 2024 yang diadakan di Mblok, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024). Dasar pengelolaan kawasan konservasi tersebut, kata Dian, merujuk pada mandat penunjukkan kawasan konservasi yang ditandai dengan keluarnya SK Menteri.
“Seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi untuk melindungi badak Jawa atau TN Bukit Dua Belas untuk melindungi Suku Anak Dalam,” ujarnya.
Sejauh ini, jenis kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia, pengelolaannya terbagi dua. Ada yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan sisanya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
KLHK, kata Dian, pengelolaannya meliputi kawasan suaka alam (cagar alam, suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam), taman hutan raya (Tahura) dan taman buru. “Semua dikelola pusat kecuali Tahura,” ujarnya.
Saat ini terdapat 564-unit kawasan konservasi dengan luas mencapai 27,14 juta hektare. “Paling banyak cagar alam,” tegasnya. Selanjutnya, taman nasional ada sebanyak 55 Unit. Prinsip pengelolaannya merupakan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan.
Peraturan Pemerintah (PP) 28 tahun 2011 telah mengatur tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi, dilakukan dengan rencana pengelolaan, zonasi/bloking, dan prakondisi pemanfaatan jasa di kontrak kerja.
Analis Pengusahaan Jasa Kelautan Direktorat Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Herri Binarasa Putra menuturkan potensi sumber daya maritim Indonesia sangat melimpah, dengan lokasi yang strategis, dan menjadi populasi terbesar keempat di dunia.
KKP, telah menggunakan pendekatan komprehensif dalam menjalankan upaya konservasi sumber daya kelautan dan perikanan. Termasuk penggunaan Ocean Accounts yang memungkinkan pemerintah mengukur laut berdasarkan nilai moneternya yang dilihat dari ekosistem laut, jasa, dan tren degradasi.
“Ocean Accounts adalah informasi terstruktur dalam bentuk peta, data statistik dan indikator terkait kelautan, perikanan, lingkungan pesisir, termasuk kondisi sosial,” katanya.
Dia menyebut, hal itu berperan penting untuk pengelolaan kelautan yang terdiri dari pemetaan, penilaian, pemantauan hingga pengenalan potensi. “Datanya bisa kita lihat per tahun, dan melihat penilaian kawasan. Ini bisa menjadi penyesuaian regulasi sesuai pemanfaatannya,” ujarnya.
Khusus pengelolaan wilayah laut terdiri dari dua ruang lingkup, yakni pengelolaan oleh pemerintah pusat melalui KKP dan pemerintah daerah (provinsi). “Saat ini ada 117 kawasan konservasi dan 11 dikelola langsung nasional, lalu 106 itu dikelola provinsi. Dan di antaranya sekitar enam pilot project terkait ocean accounts sedang dilakukan,” terang Herri.
Herri menuturkan, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan laut sangat diperlukan khususnya dengan pertimbangan terkait sosial ekonomi. “Kami memenej kawasan dan mencoba menyadarkan kawasan itu,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Vice President Program Konservasi Indonesia, Fitri Hasibuan menjelaskan lembaganya telah sejak lama mendampingi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan kerja-kerja konservasi. Salah satunya di Kabupaten Raja Ampat.
“Capaian dari Raja Ampat menginspirasi pemerintah Papua Barat sehingga mendeklarasikan sebagai provinsi berkelanjutan yang ditandai dengan hadirnya Perda khusus,” kata Fitri.
Pendekatan provinsi berkelanjutan yang melibatkan masyarakat, imbuh Fitri, jelas berdampak besar terhadap perekonomian daerah. “Analisanya terlihat bahwa dengan mengurangi aktivitas yang merusak lingkungan khususnya di lahan gambut dan mangrove di wilayah tersebut bisa menghasilkan keuntungan hingga USD155 juta untuk Indonesia,” paparnya.
Apalagi, sebut Fitri, hal itu didukung dengan kegiatan wisata disertai agroforestri. Pembangunan berkelanjutan, kata Fitri, bukan berarti tidak ada pembangunan, melainkan didesain dengan prinsip kehati-hatian.
Adapun, untuk mencapai target pembangunan keberlanjutan, ungkap Fitri, dibutuhkan estimiasi biaya sebesar USD72 juta. Biaya tersebut digunakan untuk kegiatan transisi agroforestri, perhutanan sosial, pariwisata, dan kebutuhan lainnya
“Kami melihat 72 juta USD ini tidak harus bergantung pada pemerintah. Kolaborasi dengan berbagai pihak juga bisa mendukung tercapainya target pembangunan tersebut,” terangnya.
Dia mencontohkan program konservasi yang membawa dampak ekonomi untuk masyarakat salah satunya terlihat pada pertumbuhan homestay di kawasan Raja Ampat yang cukup pesat. Dari 50 kepala keluarga (KK) sedikitnya terdapat 15 KK yang telah memiliki homestay, dengan 3 hingga 7 kamar.
Masing-masing kamar dihargai Rp550 ribu rupiah per malam. “Artinya, kita mendapati bagaimana pelestarian alam tidak mengurangi dampak ekonomi, melainkan memunculkan ekonomi baru yang menguntungkan masyarakat,” jelasnya.
Model lain dari upaya konservasi yang memberi keuntungan untuk masyarakat adalah program kelapa sawit berkelanjutan di Tapanuli Selatan. Dampak ekonomi yang dirasakan oleh petani sawit berkelanjutan dirasakan lewat peningkatan produktivitas dan juga kredit RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
“Melalui pendampingan sawit berkelanjutan yang kami lakukan kepada beberapa kelompok petani di sana, saat ini mereka telah merasakan peningkatan produksi hingga 10-20%, dan memegang kredit RSPO mencapai lebih dari Rp3 miliar,” tutur Fitri. [KM-05]