Semangat Bitcoin Si Gaek Rebecca

MEDAN, KabarMedan.com | Siapapun tidak menyangka harga bitcoin mampu menembus Rp110 juta/BTC. Padahal pada bulan Ramadhan lalu bitcoin masih diperdagangkan pada Rp38 juta/BTC, lalu naik dua kali lipat pada Hari Raya Idul Fitri, dan seterusnya meroket hingga hari ini. Pasalnya permintaan akan mata uang kripto meningkat, kendati sangat volatil. Kini beragam perusahaan mulai menjual bitcoin dalam bentuk instrumen investasi berjangka (futures contract), seperti yang akan dilakukan oleh CEM Group pada awal Desember mendatang.

Demam bitcoin sejatinya kian menular, kendati ada beragam kontroversi. Ada yang suka, ada yang tidak. Ada pula yang pura-pura tidak suka, tetapi diam-diam telah menumpuk laba dari hasil berdagang bitcoin. Di sisi lain ada orang yang agak terbuka tentang koleksi bitcoinnya, dalam upaya memberikan semangat berinvestasi kepada orang lain, atau setidaknya hendak membuktikan bahwa kemauan belajar adalah segalanya, walaupun usia sudah gaek alias tua.

Kami beruntung bersua dengan Rebecca Dauncey (60), pelancong asal Inggris yang membeli sejumlah bitcoin pada 2014. Ia kebetulan berada di Medan pada September 2017 lalu. Kami memang sengaja tidak langsung menurunkan berita tentangnya setelah pertemuan itu, karena kami merasa perlu mendapatkan informasi lain yang menarik, tentang keputusannya membeli bitcoin. Ya, setidaknya kisah ini semakin menarik jika dipadukan dengan harga bitcoin yang sekarang sedang gurih-gurihnya.

Ragu dan cari tahu

Never to old to learn. Pepatah Inggris itu mengembara dalam diri Rebecca. Ia mengaku, sejak pensiun dini pada tahun 1998 ia banyak mengoleksi beragam instrumen investasi, seperti obligasi, deposito, reksadana, dan sejumlah kecil valuta asing. Hingga pada tahun 2011 ia mengenal bitcoin ketika menonton siaran “The Keiser Report” yang dipandu Max Keiser di stasiun televisi Rusia, RT News.

“Max Kaiser adalah mantan pialang saham Wall Street yang dikenal getol mengkritik praktik kotor di industri keuangan dan pemerintah Amerika Serikat. Menurut saya Kaiser berkarakter kental, karena beberapa pandangannya cukup ekstrem. Saya juga tahu bahwa Kaiser terlibat dalam blockchain (teknologi asas bitcoin) sejak tahun 1990-an. Dia juga sangat konsisten. Hingga detik ini dia masih mewacanakan tentang relasi blockchain dengan pemerataan kekayaan dan pencegahan korupsi. Itulah yang membuat saya yakin dengan bitcoin,” kata Rebecca.

Tak lama berselang Rebecca menghubungi beberapa teman di Inggris dan Australia untuk mencari tahu bagaimana cara membeli bitcoin. Namun, semua temannya meyakini bitcoin itu adalah scam. Ia sebenarnya mencoba menjelaskan tentang bitcoin kepada temannya, sejauh yang ia pahami.

“Ya, beberapa teman saya justru masih bingung dan tak yakin terhadap bitcoin. Saya pun dilanda keraguan. Bagaimana mungkin bitcoin bisa diterima masyarakat awam, kalau mereka sendiri tidak memahami cara kerjanya,” kata Rebecca, yang kebetulan berada di Aceh ketika Tsunami melanda Serambi Mekah itu pada Desember 2004 silam.

Tiga tahun berselang, Rebecca semakin tahu tentang bitcoin dari seorang teman yang datang ke Pulau Weh pada tahun 2014. Sang teman memberitahu, bahwa saya dapat membeli bitcoin dengan rupiah melalui exchanger daring Artabit.

“Teman saya itu bersikukuh, bahwa cara paling aman untuk menyimpan bitcoin adalah menggunakan Bitcoin Core bukan di exchanger, dan wajib hukumnya untuk terus memutakhirkan data blockchain di komputer sendiri, termasuk melakukan wallet backup secara rutin. Ironisnya, teman saya itu justru kehilangan semua bitcoin miliknya di Mount Gox. Bursa mata uang kripto di Jepang itu diretas pada Februari 2014. Perusahaan itu melaporkan ada sekitar 850 ribu bitcoin atau setara US$450 juta raib. Belakangan kita tahu, peretasan itu hanya ilusi yang diciptakan pendirinya, yakni Mark Karpeles. Pada saat itu harga bitcoin masih sangat murah, setara Rp5 juta,” katanya.

Banyak belajar dari pengalaman tak mengenakkan itu, pada tahun 2014 Rebecca mulai membeli bitcoin dari Artabit sebanyak yang ia sanggup, sembari memberi keyakinan kepada dirinya sendiri bahwa bitcoin memiliki masa depan yang cerah. Itulah sebabnya, hingga detik ini Rebecca tidak menjual semua bitcoin yang miliki.

“Saya hanya menjual sedikit bitcoin milik saya. Saya ini orangnya konservatif. Oleh sebab itu, saya praktis dalam posisi hold, karena saya yakin tak akan lama lagi nilai bitcoin saya justru terus berlipat dari harga beli pada pada Maret 2014 silam. Pada September 2017 ini saja harga bitcoin mencapai Rp60 juta/BTC. Aset saya tumbuh cepat dalam tiga tahun saja. Hal sama saya lakukan terhadap uang kripto lainnya selain bitcoin,” kata perempuan lajang itu sembari menunjukkan bitcoinnya kepada kami, yang ia simpan di Bitcoin Core versi 0. 8.1. Tetapi ia menolak jumlah total bitcoinnya untuk dipublikasikan.

Berpotensi besar

Semangat belajar memang tercermin dari cara berbicara wanita tua itu. Kabar terhangat seputar bitcoin dan mata uang kripto terus meluncur dari mulutnya, mulai dari kejeniusan Vitalik Buterin yang menciptakan Ethereum, hingga permainan “drama kripto” ala Jamie Dimon, petinggi JP Morgan. Tak jarang juga dia menyinggung soal masa depan Bitcoin Cash (BCH) dan Bitcoin Gold (BTG), dan beberapa isu menarik tentang privasi dalam transaksi keuangan yang berasaskan teknologi blockchain. Isu-isu politik, perang dan kejatuhan negara-negara barat pun tak luput dari pembahasan.

“Tidak banyak teman-teman setua saya yang berinvestasi bitcoin. Kebanyakan dari mereka memang tidak memahami dan memang tak ingin belajar. Mereka merasa bitcoin itu terlalu rumit dipahami dan tidak percaya kepada aset yang berwujud digital. Maka, jikalau kelak saya tiba-tiba meninggal dunia, saya tak ingin koleksi mata uang kripto saya disimpan oleh teman-teman terdekat saya yang tak paham menggunakannya. Lebih baik saya percayakan aset saya itu kepada warga lokal di sini,” ujar Rebecca yang mengaku tidak memiliki latar belakang pendidikan keuangan dan komputer itu.

Saat ini Rebecca fokus mempelajari aneka uang kripto lainnya dan berniat membeli lebih banyak lagi. Ia mengungkapkan, ada banyak pilihan dan terkadang membuat saya bingung. Tetapi yang pasti, saya mencoba membeli uang kripto dengan privasi transaksi yang lebih tinggi daripada bitcoin, seperti Monero (XMR) atau Zcoin (XZC).

“Namun tidak tertutup kemungkinan saya akan mengoleksi token-token berbasis smart contract Ethereum yang adopsi dan market cap-nya cukup besar. Kita lihat saja nanti,” ujarnya.

Rebecca percaya uang kripto lebih nyata dan bernilai daripada uang fiat, seperti dolar dan jenis mata uang lainnya yang kita kenal selama ini.

“Biaya kirim uang kripto jelas lebih murah, cepat, dan lebih aman daripada menggunakan jasa perbankan sebagai middleman yang serakah,” katanya.

Rebecca memiliki harapan yang sangat besar terhadap uang kripto, karena teknologi baru ini berasaskan paradigma desentralistik.

“Ini adalah kekuatan baru yang baik dan berpotensi besar mengubah masa depan planet kita,” ujarnya. [Vinsensius Sitepu/KM-02]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.