JAKARTA, KabarMedan.com | Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) dan Perwakilan Serikat Pekerja atau Buruh guna membahas pengawasan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terhadap pekerja atau buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di masa pandemi Covid-19.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri menyatakan bahwa peningkatan angka klaim JHT salah satunya disebabkan karena banyaknya pekerja yang mengalami PHK.
Selain itu, pihaknya juga menemukan adanya pergeseran filosofi dari program JHT yang seharusnya dinikmati ketika memasuki hari tua atau masa pensiun, namun banyak pekerja yang justru mencairkan saldo JHT setelah PHK.
Hal ini juga didasari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 yang memungkinkan bagi para pekerja untuk melakukan klaim JHT satu bulan setelah mengalami PHK.
Namun saat ini Kemnaker sedang melakukan revisi terhadap Permenaker tersebut untuk mengembalikan kepada filosofi program JHT yang seharusnya.
“Kami merevisi Permenaker Nomor 19 tersebut, kita kembalikan kepada filosofi JHT yaitu benar-benar sebagai tabungan di masa tua sebagai amanat yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 40 tahhun 2004 dan juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2015,” papar Indah, Kamis (7/10/2021).
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Pelayanan BPJAMSOSTEK, Roswita Nilakurnia juga memaparkan data klaimm JHT dalam kurun waktu Desember 2020 hingga Agustus 2021. Ia membenarkan bahwa selama masa pandemi terjadi kenaikan jumlah klaim jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hingga Agustus 2021, tercatat 1,49 juta kasus JHT dengan penyebab klaim didominasi oleh pengunduran diri dan PHK.
Selain itu mayoritas nominal saldo JHT yang diklaim adalah di bawah 10 juta rupiah dan range umur peserta paling banyak di bawah 30 tahun dimana merupakan usia yang produktif bekerja.
Sementara itu, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI), Hermato Achmad juga menyoroti isu yang sama, dimana saat ini pencairan JHT sangat mudah dan banyak diantara pekerja yang menggunakan modus seolah-olah PHK untuk dapat melakukan klaim.
Sehingga hal ini cenderung tidak sesuai dengan filosofi jaminan sosial yang sejak awal menjadi harapan bagi seluruh pekerja Indonesia untuk memiliki jaminan di hari tua.
Dalam kesempatan yang sama Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menambahkan agar mekanisme pencairan JHT dikembalikan ke konsep UU Nomor 24 Tahun 2011 seperti praktek yang berlaku internasional berupa old saving.
“Dana yang disimpan di BPJS Ketenagakerjaan itu sebenarnya adalah dana ketahanan untuk pembangunan ekonomi. Ketika Jaminan Hari Tua dirubah maknanya menjadi jaminan hari terjepit karena bisa diambil setelah dipecat, memang menjadi hilang filosofinya. Apakah dikembalikan aturannya ke Undang-Undang sebelumnya, itu mungkin juga masih perlu diskusi lebih lanjut,” tutur Elly.
Elly juga menitikberatkan pada manfaat program Jaminan Pensiun (JP) yang masih sangat kecil yaitu 300 ribu rupiah hingga 3,6 juta rupiah per bulan.
Ia menyayangkan sejak program tersebut dijalankan di tahun 2015 hingga saat ini, belum dilakukan peninjauan kembali terkait besar iurannya.
Mengakhiri pernyataannya ia berharap peninjauan dapat dilakukan setiap tiga tahun sekali sesuai ketentuan agar manfaat yang diterima peserta bisa maksimal.
Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga Kepala BPJAMSOSTEK Tanjung Morawa, Iskandar menjelaskan bahwa bagi peserta yang sudah terdaftar untuk tidak merasa khawatir karena pelaksanaan pengelolaan dana Jaminan Hari Tua sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan akan diberikan manfaat maksimal kepada peserta nantinya. [KM-07]