MEDAN, KabarMedan.com | Tiga kapal asing Malaysia dari dan Thailand ditenggelamkan di area 14 perairan Belawan, Sabtu sore (11/5/2019).
Staf khusus di Satgas 115 (Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal) dan Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Yunus Hussein mengatakannya kepada wartawan, di Terminal Bandar Deli.
Ketiga kapal tersebut yakni, KM PKFB 443, berkapasitas 49,69 GT dari Thailand dan jumlah orang yang diamankan sebanyak 3 warga negara Thailand oleh PSDKP Belawan pada 13 Agustus 2018.
Kedua, KM PKFB 600, berkapasitas 59,22 GT dari Myanmar dan jumlah orang yang diamankan sebanyak 4 orang warga negara Myanmar oleh PSDKP pada 5 Oktober 2018.
Dan ketiga, KM SLFA 4938 berkapasitas 29,17 GT dari Malaysia an jumlah orang yang diamankan sebanyak 2 warga negara Myanmar oleh Ditpol Air Polda Sumut pada 5 Desember 2018.
Penenggelaman ini, sebelumnya juga dilakukan di Pontianak dan Natuna. Namun begitu, penenggelaman di area 14 ini belum sempurna karena kurangnya pengalaman. Selama berjam-jam kapal diisi air menggunakan mesin, setelah penuh pun kapal masih tetap mengapung.
“Tapi tampaknya penenggelamannya belum sempurna. Karena mungkin masih ada udara atau busa yang membuat kapal belum tenggelam sempurna,” katanya.
Karenanya, pihaknya mengirim kembali pengawas kelautan dan perikanan untuk membuat lubang baru dan memotong-motong bagian kapal untuk memastikan kapal tenggelam sempurna.
“Ini penghukuman kepada pemilik kapal, memberi efek jera dan kepada lainya supaya tak ambil ikan di wilayah penangkapan perikanan Indonesia,” katanya
Kapal Vietnam Paling Banyak
Sejak 2014-2019, tercatat udah 539 kapal asing pelaku ilegal fishing ditenggelamkan. Menteri Susi Pudjiastuti memiliki kebijakan keras terhadap kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.
Yunus mengatakan, dari 539 kapal asing tersebut, lebih dari 55 persen merupakan kapal asal Vietnam. Penyebabnya, hingga kini masih terjadi sengketa antara kedua negara terkait wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
“Di situ lah paling banyak. 55 persen dari Vietnam. Tak cuma itu ada juga dari China, Thailand, Malaysia, dan lainnya,” katanya.
Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah, orang-orang yang ditangkap di wilayah ZEE tidak bisa dihukum badan, melainkan hanya denda. Begitupun, denda tidak bisa disubsider dengan pemenjaraan. Sehingga ketika yang bersangkutan tidak mengantongi uang, denda tidak bisa diterapkan.
“Ini mereka semua sudah dipulangkan ke negaranya masing-masing. Tapi kalau tertangkap di teritori boleh hukum badan dan denda,” katanya.
Meskipun demikian, dia bersyukur karena tidak banyak nelayan Indonesia yang ditangkap Vietnam lantaran mencari ikan di wilayah ZEE karena di wilayah perairan teritori Indonesia masih banyak ikan. Hal tersebut menurutnya visa dikonfirmasi kepada nelayan maupun kepala daerah.
Hanya saja, saat ini kemampuan menangkap nelayan tradisional masih harus ditingkatkan. Negara, menurutnya sudah memberikan kemudahan kepada nelayan dengan kapal berkapasitas di bawah 10 GT dibebaskan dari banyak perizinan.
Di sisi lain hingga saat ini masih banyak nelayan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing misalnya di Taiwan dan Thailand. Menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking), kerja paksa (force labour) yang direktur oleh orang atau agen yang menjanjikan kerja di luar negeri dengan fasilitas enak.
“Mereka diperjualbelikan, diperlakukan tidak manusiawi,” katanya.
Dalam hal ini, menurutnya Kementrian Luar Negeri sudah memiliki Direktorat Perlindungan warga negara dan badan hukum asing yang selalu maju ke depan. KKP, menurutnya memiliki keterbatasan. KKP akan membantu dalam melindungi nelayan dalam mengembalikan hak-hak mereka.
“Pernah ungsikan 320 orang, dari Ambon lebih dari 1000. Kita lakukan remediasi, rundingkan, hak kewajiban perusahaan kapal, suruh bayar lalu pulangkan ke Myanmar, Kamboja, dan lainnya,” katanya. [KM-05]