“Saya ingin anak-anak di sekitar Danau Toba suka membaca. Tidak seperti saya dulu. Mereka harus mempunyai akses yang besar untuk membaca buku-buku bacaan berkualitas. Dengan pendidikan, anak-anak bisa memiliki wawasan lingkungan dan kecintaan untuk melestarikan lingkungan. Terutama Danau Toba. Itu mimpi saya,” kata Togu Simorangkir. Demi mimpi-mimpi itu, Togu kemudian pulang kampung dan melakukan banyak hal tidak biasa.
Siang itu, ia bercerita banyak kepada KabarMedan.com tentang mimpi-mimpinya untuk Danau Toba. Ia sedang sibuk mempersiapkan lahan pertanian sayuran organik di areal perladangan dan sawah organiknya di Desa Silulu, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Togu Simorangkir adalah satu di antara sedikit putra terbaik Indonesia yang memilih pulang kampung untuk mengabdi kepada masyarakatnya. Setelah lebih dari 16 tahun keluar dari Sumatera Utara untuk menimba ilmu dan mengurusi masyarakat di luar kampung halamannya, Togu Simorangkir memilih pulang.
Tahun 2010, lelaki tamatan MSc in Primate Conservation, Oxford Brookes University, Inggris ini kembali ke Pematang Siantar untuk menjadi petani organik dan mendirikan Yayasan Alusi Tao Toba.
Rencananya tidak muluk-muluk. Ia ingin mendekatkan buku-buku kepada anak-anak di desa-desa di sekitar Danu Toba. Pendekatannya adalah lingkungan hidup, pendidikan, dan penguatan masyarakat yang pada akhirnya muaranya adalah pada pelestarian lingkungan hidup. Togu sangat prihatin terhadap kondisi Danau Toba sebagai Danau Terbesar di Sumatera Utara dan merupakan suplai air terbesar di Pulau Sumatera yang terus semakin memburuk. Ia tahu betul, untuk melestarikan Danau Toba diperlukan kesadaran lingkungan dari masyarakat.
“Pendekatan kita untuk bikin sopo belajar dan kapal belajar adalah perubahan pola pikir untuk orang lebih mencintai lingkungan, tapi pendekatan kita memang dari anak-anak. Orang dewasa sudah sulit untuk merubah pola pikirnya. Kita mempersiapkan generasi ke depannya,” kata Togu.
Togu memulai mimpinya tersebut dengan mendirikan sopo belajar (rumah belajar) di desa-desa di sekitar Danau Toba. Sopo belajar pertama yang dikelola oleh Yayasan Alusi Tao Toba adalah Sopo Belajar Lontung, berada di Desa Lontung, Pulau Samosir. Desa Lontung merupakan desa dengan akses jalur darat yang sangat sulit. Togu berasumsi tempat yang sulit diakses melalui jalur darat berarti sangat minim dengan informasi yang masuk, bahkan surat kabar pun tidak ada di sana. Itulah alasannya Togu memilih Desa Lontung sebagai desa pertama tempat sopo belajar didirikan. “Alusi nantinya memang akan bekerja di 7 Kabupaten. Dan Samosir sebagai wilayah kerja pertama karena ia berada di dalam pulau,” jelas Togu. “Kemudian kita membagi mimpi itu kepada masyarakat, agar anak-anak mempunyai akses terhadap buku-buku bacaan berkualitas dan yang pertama menyediakan tempat adalah Desa Lontung. Jadi memang harus ada juga respon dari masyarakat,” lanjut bapak tiga anak ini.
Togu bermimpi untuk mendirikan banyak sopo belajar di ratusan desa di seputaran Danau Toba yang sangat sulit (tidak bisa) dijangkau melalui jalur darat. Tahun 2016 ini, bersama Yayasan Alusi Tao Toba ia berencana mendirikan 5 sopo belajar lagi dan launching Kapal Belajar Alusi Tao Toba jilid 2.
Sejak awal berdiri di tahun 2010 hingga 2016, Alusi Tao Toba sudah berhasil mengelola 3 sopo belajar. Sopo Belajar Lontung di Desa Lontung, Sopo Belajar Janji Maria di Pangururan, dan Sopo Belajar Bahalbahal di Kecamatan Simanindo Samosir.
Demi mewujudkan mimpi tersebut, penggalangan dana pun dilakukan dengan banyak cara tidak biasa. Togu ingin membangkitkan semangat berbagai (filantropi) dari masyarakat. Ia menyebutnya gerliya fundrising. Mulai dari menjual merchandise, ngamen bersama para relawan Baling (sebutan untuk relawan Alusi Tao Toba, singkatan dari Bersama Alusi Luaskan Impian Nan Gemilang), menjual kalender Tao Toba penuh cinta berisi foto-foto alam dan budaya di sekitar Danau Toba sumbangan para fotografer profesional Sumatera Utara, Bersepeda Berbagi, dan banyak aksi menakjubkan lainnya.
Togu pernah berenang sejauh 18 Kilometer di Danau Toba untuk menggalang dana bagi pengadaan kapal belajar. Pada tahun 2015 lalu, 2 Mei 2015, bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional, dalam EventBerenang Berbagi 2015, Togu berenang dari Onanrunggu ke Balige dengan waktu tempuh 8 jam. Di aksi ini Togu berhasil mengumpulkan dana sebesar 120 jutaan. Aksi baling ini bukan yang pertama kali dia lakukan. Sebelumnya Togu sudah pernah berenang sejauh 9 kilometer dengan waktu tempuh 5 jam dalam Event Berenang Berbagi 2012 pada 21 Juli 2012. Saat pertama kali berenang di Danau Toba ia mengalami lima kali kram dan berhasil mengumpulkan dana 64 juta rupiah.
Togu memang tidak pernah bermain-main dengan mimpi-mimpinya. Ia selalu konsisten dan berpegang teguh kepada prinsip. Bagi Togu hidupnya adalah untuk Tuhan dan kemanusiaan. Ia sering disebut Baling (bahasa orang Medan untuk menyebut gila), tapi ia tidak mau membuang banyak waktu untuk mengurusi pendapat orang. “Selama niat kita baik, maju saja,” optimis Togu.
Chrissanty Simanungkalit, isteri Togu Simorangkir memilik hati seluas samudera pula. Ia sangat mendukung suaminya dan mensupport Togu melakukan hal-hal “besar” demi mewujudkan mimpi membawa perubahan bagi Danau Toba. Bahkan untuk berenang di Danau Toba. “Dukungan terhadap mimpi-mimpi suami saya adalah wujud cinta saya,” kata ibu dari Nous, Bumi, dan Langit ini.
Dalam mengumpulkan dana untuk pengadaan dan biaya operasional sopo belajar dan kapal belajar nantinya, Yayasan Alusi Tao Toba menolak bantuan dana dari perusahaan perusak lingkungan, perusahaan rokok, dan partai politik.
Membesarkan Yayorin dan Meneruskan Tongkat Estafet
Sebelumnya kembali ke Sumatera Utara, Togu Simorangkir sudah berhasil membesarkan sebuah yayasan yang konsentrasi dalam konservasi dan pelestarian orangutan di Kalimantan Barat, Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) namanya. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga konservasi orangutan terbesar di Indonesia.
Pada tahun 2003, Togu Simorangkir meminta izin kepada pendiri Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin), sebuah lembaga lokal di Kalimatan yang berkonsentrasi pada konservasi orangutan untuk membangun kembali lembaga yang hampir ‘mati’ tersebut. Tindakan ini dianggap sangat baling oleh teman-teman Togu. Memilih mengurusi Yayorin, Togu menolak pekerjaan lain dengan penghasilan yang jauh lebih besar.
Di Yayorin, Togu awalnya sama sekali tidak bergaji. Ia giat mengejar mimpi untuk melakukan konservasi orangutan tanpa menomorduakan masyarakat sekitar hutan. Fokus utama lembaga ini di bawah pimpinan Togu adalah penguatan masyarakat. Kelestarian orangutan hanya bisa dilakukan bila hutan terjaga. Untuk menjaga hutan, masyarakatnya perlu memiliki kesadaran dan kecintaan pada lingkungan. Masyarakat perlu dibina berhenti berladang pindah, merusak hutan, dan membuka lahan-lahan baru di tengah hutan.
“Saya sangat menyayangkan para pelaku konservasi yang hanya fokus kepada orangutan dan menomorduakan masyarakat sekitar hutan. Yang terjadi kemudian justru adalah kesenjangan sosial. Masyarakat semakin membenci orangutan dan upaya pelestarian orangutan menjadi sia-sia,” kata Togu Simorangkir.
Prinsip dan sudut pandang berbeda dari Togu ini kemudian membuahkan hasil yang sangat besar. Setelah 7 tahun berjalan, Yayorin sudah tumbuh sebagai sebuah lembaga lokal yang besar dan disegani. Togu melepaskan Yayorin dan menyerahkan kepemimpinan kepada masyarakat lokal yang sudah terlatih dengan meninggalkan aset lembaga berupa 6,8 hektar tanah yang menjadi pusat pelatihan pertanian terpadu, mobil baca, gedung kantor sendiri, tiga buah guest house, kolam ikan, dan kandang sapi.
Memutuskan cukup mengurusi Orangutan dan masyarakat sekitar hutan di Kalimantan, Togu memilih pulang ke Sumatera Utara. Bekerja untuk peningkatan kualitas hidup dan pelestarian lingkungan di sekitar Danau Toba. “Tongkat estafet harus diserahkan kepada yang muda. Ketika saya melihat orang lokal sudah ada yang bisa dan potensial, tongkat estafet harus diserahkan. Begitupun Alusi Tao Toba nanti, setelah besar akan diteruskan ke generasi selanjutnya. Ini yang banyak dilupakan para leader. Setelah besar, banyak yang menjadi terlalu nyaman dan malas untuk keluar,” kata Togu.
Visi Untuk Masa Depan di Danau Toba
Saat ini, Togu dan Alusi Tao Toba masih fokus pada bidang pendidikan. Mempersiapkan generasi masa depan yang memiliki wawasan dan kecintaan terhadap lingkungan di desa-desa di seputaran Danau Toba. Goal terbesarnya adalah pelestarian Danau Toba.
Demi mencapai mimpi tersebut, Togu sadar tidak cukup melalui pendidikan saja. Sangat perlu dilakukan penguatan masyarakat seperti yang sudah pernah ia lakukan di Kalimantan. Itulah sebabnya, Alusi Tao Toba di tahun 2017 bermimpi untuk memiliki sebuah area untuk pembelajaran lingkungan dan pertanian terpadu. “Jadi semua orang bisa belajar di sana dan berperan aktif melestarikan danau. Dan secara ekonomi masyarakat terbantu. Seperti yang saya lakukan di Kalimantan, kami punya 6 hektar lahan tempat pelatihan pertanian terpadu supaya mereka tidak berladang bepindah yang justru merusak hutan. Nah kalau di sini sekarang, supaya masyarakat bisa bertani sepanjang tahun dan meningkat ekonominya,” jelas Togu optimis terhadap mimpi-mimpinya.
Selain itu, Togu juga bermimpi untuk membuat rumah sehat. Tempat orang-orang bisa datang berobat, menjadi sembuh tanpa perlu membayar mahal. “Kalau bisa mereka berobat cukup dengan bayar dua ribu saja,” kata Togu.
Tantangan untuk mewujudkan banyak mimpi untuk peningkatan mutu pendidikan di seputaran Danau Toba, membawa akses buku bacaan berkualitas, dan penguatan masyarakat untuk pelestarian lingkungan ini memang tidak sedikit. Kendala pertama adalah orang tua yang tidak rela memberikan izin anaknya belajar dan bermain di sopo belajar. Sebagian besar anak di seputaran Danau Toba adalah pekerja anak yang akan menghabiskan waktu sepulang sekolah berada di ladang membantu orang tuanya bertani.
“Untuk bisa meyakinkan orang tua, itu butuh waktu. Seperti di sopo belajar pertama kami, Sopo Belajar Lontung. Awalnya tidak banyak dukungan dari orang tua, tapi karena mereka melihat hasil perubahan pada motivasi belajar dan karakter baik anak, terutama kebiasaan-kebiasaan baik dan rasa percaya diri anak, orang tua justru mendeklarasikan untuk mendukung anaknya datang ke sopo belajar,” cerita Togu.
Kendala lainnya adalah relawan yang siap memberi hati dan hidupnya untuk hidup di desa dan live in dengan anak-anak di sana. “Anak-anak itu butuh orang untuk menjadi inspirasi mereka. Itu yang sekarang susah dicari. Rata-rata kita sudah memasang angka-angka dalam rupiah. Sulit bukan berarti tidak mungkin. Selalu masih ada orang tulus,” lanjut mantan Direktur Yayorin ini. “Untuk menutupi lubang-lubang besar di masyarakat kita, hanya orang yang siap menjadi ‘aneh’ yang bisa melakukannya,” pungkas Togu.
(Penulis : Eka, kontributor KabarMedan.com, foto koleksi pribadi Togu Simorangkir)