KABAR MEDAN | Ketua Tim Litigasi DPD RI, I Wayan Sudirta mengaku, pengajuan uji materi (judicial review) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang dilakukan mereka sekaligus dengan kajian untuk pemberian sanksi bagi DPR. Sanksi bagi DPR yang dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Tidak ada cara lain, karena norma-norma sudah ditetapkan oleh MK yang seharusnya revisi UU MD3 itu diabaikan saja. Sudah banyak DPR menga baikan putusan MK. Kali ini, kami coba ajukan lagi sambil membuat kajian. Apa sanksi bagi DPR yang tidak melaksanakan putusan MK,” sebut anggota DPD RI asal Provinsi Bali ini usai Focus Discussion Group di Universitas Sari Mutiara Indonesia, Kamis (21/8/2014).
Menurutnya, jika tindakan DPR yang mengabaikan putusan MK terus dibiarkan, maka tidak ada gunanya putusan MK. “Nanti satu-satu diabaikan. Lalu tidak efektif putusan itu. Lama-lama orang tidak akan mau ke MK lagi karena tidak ada manfaat. Akibatnya MK itu mati. Itu yang kita hindari,” tegasnya.
Jadi, katanya, pengajuan uji materi ke MK tentang UU MD3, bukan karena DPD ingin ikut-ikutan ramai membicarakan UU MD 3 bersama 8 kelompok lain. Akan tetapi jauh lebih penting bagaimana membuat DPR menghargai produknya, salah satunya UU MK, di mana dalam salah satu pasal UU MK berbunyi putusan MK bersifat final dan mengikat.
Mengikat artinya untuk semua lembaga negara, instansi dan lembaga. Tidak boleh lalu DPR menjadi di atas MK dan mengabaikan putusan MK karena DPR membuat undang-undang. “Justru, melalui forum ini, mari kita ingatkan bersama-sama kepada DPR. Kelak, perlu kita pikirkan apa sanksi bagi DPR. Kami sedang kaji, apakah DPR bisa dikatakan content of code,” katanya.
Alternatif lain, sebutnya, bisa juga melaporkan kepada ketua partai anggota DPR tersebut agar orang-orang ini tidak dipilih kalau mereka membuat undang-undang tidak menghargai MK. Atau mungkin hukum acara MK diperbarui dan ditambah. “Sehingga, eksekusi putusan MK dihormati. Siapa yang menghalangi eksekui bisa dikenakan tindak pidana atau bisa kena sanksi karena tetap melanggar hasil-hasil putusan MK,” ucapnya.
Namun, hukum acara proses bagaimana eksekusi, sebenarnya bisa dibuat oleh MK sendiri. Karena MK punya mandat, MK boleh membuat peraturan untuk mendukung tugasnya. Ditanya apakah UU MD3 ini terkait erat dengan politis, dia tidak membantah. Apalagi lahirnya UU MD3 ini 8 hari sebelum pemilu.
“Saya tidak bisa katakan, tidak fair atau tidak transparan. Namun orang bisa menuduh DPR sedang mencuri kesempatan. Bagaimana cara DPR membela tuduhan orang, karena punya agenda yang tersembunyi, dituduh untuk merugikan kelompk lain, lalu isinya UU MD3 memperkuat diri sendiri. Posisi DPR jauh sekali dari wakilnya (rakyat-red). Untuk memeriksa DPR dalam UU itu bukan main berbelit-belit. DPR bisa mengambil over fungsi penegak hukum. Mahkamah di DPR itu bidang etik, bukan intervensi bidang hukum,” tegasnya.
Terkait masalah ini juga, katanya, DPD bekerjasama dengan aparat hukum untuk mengkaji ini. “Mana lebih tinggi gubernur dengan wakil, tentu gube rnur. Mana lebih tinggi rakyat dengan wakilnya. Apalagi salah satu Pasal UU MD3 yang berhak pimpinan DPR dipilih. Lalu, kalau ada satu partai mend apat 30 suara, terus dia karena banyak uang dan akhirnya terpilih menjadi ketua DPR, padahal suaranya 30 di DPR. Kita tahu di seluruh dunia yang ketua yang suaranya paling banyak. Kalau hal ini diketahui internasional, kita akan ditertawai,” jelasnya.
Anggota DPD RI asal Sumut, Parlindungan Purba menyambut baik kegiatan FGD di Sumut termasuk di perguruan tinggi swasta. “Kita apresiasi keperca yaan DPD yang menggandeng swasta menggelar FGD. Hasilnya cukup baik. Ternyata, tokoh-tokoh di Sumatera Utara ini tidak kalah hebatnya dengan pemikir lainnya di luar Sumut. Kita harapkan kegiatan seperti ini berlanjut,” ucapnya.
Dilihat dari sisi ini, katanya, USM Indonesia berencana membentuk pusat kajian tata Negara, konstitusi dan undang-undang. “Lembaga ini nantinya di bawah naungan Fakultas Hukum USM Indonesia. Berbagai undang-undang akan kita kaji seperti UU Kesehatan berkaitan dengan BPJS Kesehatan, UU tentang ketatanegaraan dan lain sebagainya,” jelas Parlindungan Purba.
Selain I Wayan Sudirta, hadir dalam FDG di USM Indonesia, anggota DPD lainnya, Anang Prihantoro (Lampung), Paulus Yohanes Sumino (Papua), Caro lina Nubatonis Condo (NTT), Abdurrachman (Banten), Djasamen Purba (Kepri), Wahidin Ismail (Papua Barat), Nurmawati Dewi Bantilan (Sulawesi Ten gah), Elviana (Jambi). Turut hadir, Ketua Yayasan Sari Mutiara, Washington Purba dan para dosen di civitas akademika USM Indonesia. Narasumber FGD sejumlah pakar hukum di Sumut. [KM-03]