Peran Polri Sebagai Social Engineering

Oleh: Kompol Roni Bonic, S.IK, MH (Pasis Sespimen Dikreg 60)

Filosofi kebedaraan Polisi dapat dilihat dari aspek filsafati yakni aksiologi, epistimologi dan ontologi.

Aspek ini dimaksudkan untuk mengetahu kenapa dan untuk apa ada polisi, secara filsafati akan ditemukan kedudukan dan peran polisi yang pada hakekatnya adalah sebagai “wasit yang adil”, bukan sebagai alat (tool) kekuasaan dan kelompok serta bukan ditujukan untuk mencari keuntungan (no politic, no clique, no profit) yang dalam arti bahwa polisi merupakan sarana Negara untuk rekayasa sosial (social engineering).

Sejarah organ dan fungsi polisi di Nusantara dapat diidentifikasi sebagai berikut: Pertama, fungsi kepolisian telah ada sebelum lahirnya Negara republik Indonesia.

Kedua, kepolisian bercorak rule appointed police yang artinya kepolisian lebih cenderung digunakan untuk kepentingan penguasa dan kin police yang artinya kepolisian berkembang secara kontekstual dan lokalitas.

Ketiga, kepolisian bertugas untuk kepentingan politik kerajaan dalam menjaga keamanan dan keteraturan warga.

Perkembangan selanjutnya pada era globalisasi dan demokratisasi yang ditandai dengan legitimasi publik (public legitimacy) dan public consent yang menekankan pada kekuasaan ditangan rakyat maka orientasi kepolisian dituntut sebagai institusi Negara yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan kepuasaan masyarakat.

Hal ini menuntut Polri di dalam pelaksanaan tugas di bidang Harkamtibmas dan Kamdagri harus professional untuk membangun kepercayaan masyarakat.

Upaya Polri dalam mewujudkan profesionalisme dan membangun kepercayaan masyarakat pada hakekatnya telah dirumuskan oleh pimpinan Polri sejak dahulu dan dikuatkan kembali pada saat ini oleh Kapolri Bapak Jenderal (Pol) Idham Azis untuk terwujudnya Polri yang makin profesional, modern, dan terpercaya (ProMoTer).

Berdasarkan pada arah kebijakan pemerintah yang menjadi acuan bagi arah kebijakan polri, dan dihadapkan pada berbagai tantangan, permasalahan, tuntutan, harapan masyarakat, serta beberapa program pimpinan polri sebelumnya yang dapat dicontohkan pada saat kepemimpinan Bapak Jenderal Awaluddin Djamin telah memprogramkan kemandirian dan profesionalisme Polri yang didukung dengan pengimplementasioan polisi sipil.

Selain itu, program pimpinan Polri sebelumnya terkait Reformasi Birokrasi Polri yang menekankan pada tiga masalah sentral yakni: interumental, struktural dan kultural dengan harapan terjadinya paradigma baru Polri di dalam pelaksanaan tugas Kepolisian.

Menurut Chairuddin Ismail di dalam bukunya Polisi Sipil dan Paradigma Baru Polri (Kumpulan Naskah Bahan Ceramah), Penerbit PT. Merlyn Lestari, Jakarta, 2009 hal. 4 bahwa Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang modern maka Polri telah melakukan perubahan dari paradigma lama di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menjadi Paradigma Baru yaitu Polisi Sipil.

Paradigma baru Polri yang lebih berorientasi pada masyarakat sipil, memerlukan model kepemimpinan yang tepat, terutama dalam rangka menghadapi permasalahan- permasalahan nasional yang serba kompleks agar terwujudkan good governance dan clean governance serta permasalahan global yang serba tidak pasti adalah dengan mengedepankan konsepsi “Civilian Police” yaitu polisi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (citizenry, civil right). Paradigma baru Polri secara terminologi diartikan sebagai frame of thingking (kerangka pikir) yang tidak bisa dilepaskan dari attitude (sikap) dan behaviour (perilaku).

Jika paradigma diumpamakan sebagai bingkai kacamata maka sikap adalah lensanya dan perilaku adalah apa yang terkait dengannya. Sikap berperan sebagai kerangka pilar, sedangkan perilaku adalah bangunan yang merupakan implemetasinya.

Paradigma adalah hasil dari suatu proses pembelajaran. Paradigma tidak berubah seketika namun ia dapat digeser (shifting paradigm). Pergeseran paradigma dapat berlangsung secara sukarela melalui proses pembelajaran dapat juga berlangsung secara terpaksa yang diawali oleh peristiwa yang traumatis.

Artinya bahwa paradigma bukanlah sekedar perubahan teknologi, struktur kerja tetapi suatu perubahan cara berpikir kepemimpinan Polri.

Hal inilah yang seharusnya mendasari perubahan perilaku kepemimpinan Polri di dalam mengimpelementasikan perubahan paradigma baru Polri.

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.