JAKARTA, KabarMedan.com | Website Projectmultatuli.org terindikasi mendapatkan serangan digital pada Rabu 6 Oktober pukul 18.00 WIB. Sepanjang malam itu banyak pembaca mengeluh karena tidak bisa mengakses berita tersebut.
Semula tim Project Multatuli mengira hal tersebut terjadi karena masalah kapasitas server yang tidak memadai.
Namun, pada 7 Oktober 2021 pagi baru bisa dikonfirmasi ada serangan DDoS terhadap website itu. Rti manusia.
Ini menyebabkan netizen tidak bisa mengakses laporan pertama dari serial #PercumaLaporPolisi dengan judul berita “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang tayang sejak sore sekitar pukul 16.00 WIB.
Selain serangan DDoS, sekitar pukul 20.00 WIB, akun @humasreslutim menuliskan komentar di Instagram yang berisikan klarifikasi tentang pemberitaan Project Multatuli.
Namun akun tersebut menuliskan secara gamblang nama pelapor yang sudah ditulis dengan nama samaran Lydia di artikel, sehingga tim Project M memilih untuk menghapus komentar tersebut dan mempersilakan @humasrelutim berkomentar tanpa menyebutkan nama ibu para korban.
Sekitar 20 menit kemudian tim Project M mendapatkan laporan dari pembaca yang membagikan berita di media sosial mereka mendapatkan DM dari @humasreslutim yang menyebabkan beberapa pembaca merasa tidak nyaman.
Pukul 21. 00 WIB, akun @humasreslutim mengunggah konten di story Instagramnya menyatakan bahwa reportase Project M tersebut adalah hoaks.
Tak berapa lama, sejumlah akun berkomentar di Instagram menyebutkan bahwa berita itu hoaks.
Laporan yang dicap hoaks oleh Polres Luwu Timur bercerita tentang Lydia, bukan nama sebenarnya, yang telah melaporkan mantan suaminya untuk dugaan pemerkosaan pada ketiga anaknya yang masih berusia di bawah 10 tahun.
Lydia mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, lalu melaporkan ke Polres Luwu Timur.
Di kedua institusi ini Lydia mengatakan dia tidak mendapatkan keadilan. Ia bahkan dituding punya gangguan punya gangguan kesehatan mental.
Mantan suaminya yang merupakan Aparatur Sipil Negara di kantor dinas pemerintah Luwu Timur, Sulawesi Selatan biasa menjemput anak-anak Lydia saat sepulang sekolah dengan memberi jajan atau makanan.
Oktober 2019, anak-anaknya mengeluh sakit dan menceritakan kepada ibunya perlakuan mantan suaminya kepada mereka. Sejak saat itu Lydia melaporkan kasus tersebut ke Polres Luwu Timur.
Namun pada 10 Desember 2019, polisi menghentikan proses penyidikan dan mengabaikan semua bukti foto yang disampaikan Lydia.
Bahkan kemudian mencap laporan yang diterbitkan di website Projectmultatuli.org adalah hoaks.
Menyikapi hal ini, AJI Indonesia menyatakan:
- Mengecam Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi. Laporan tersebut telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait termasuk kepolisian Luwu Timur.
Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis.
Pasal 18 Undang-Undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah.
- Mendesak Polres Luwu Timur mencabut cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi tersebut, serta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Pelabelan hoaks akan membuat pers menjadi takut dalam membuat berita atau dikhawatirkan memicu praktik swasensor.
Upaya yang dapat mengarah kepada pembungkaman pers ini pada akhirnya dapat merugikan publik karena tidak mendapatkan berita yang sesuai fakta.
- Mengecam serangan DDoS terhadap website Projectmultatuli.org. Serangan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.
- Mengimbau kepada jurnalis dan media agar mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta mengacu pada pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers dalam memberitakan kasus pencabulan terhadap tiga anak oleh ayahnya di Luwu Timur.
Yakni, jurnalis tidak menuliskan identitas atau nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor. Menyebut inisial pun bisa membahayakan pelapor dan ketiga anaknya. [KM-07]