Cerita Petani Cabai Gagal Panen Raya Akibat Cuaca Ekstrim

DELI SERDANG, KabarMedan.com | Panen cabai di Dusun Jogja, Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin, Deli Serdang tak begitu menggembirakan. Penyebabnya diduga karena cuaca ekstrim dan tidak menentu.

Petani cabai bernama Sarjono beristirahat di gubuknya. Dia berkeluh kesah tentang kondisi pertanaman cabai merahnya yang tahun ini tidak seperti tahun sebelumnya. Biasanya dia bisa panen per hari 300 kg, kali ini hanya bisa 150 kg. Jumlah itu akan terus menurun karena banyaknya hama yang menyerang.

Menurutnya, panas kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Hal yang mengherankannya, cuaca panas bisa tiba-tiba berubah menjadi hujan deras. “Kalau panas kali itu tidak bagus untuk cabai. Begitu juga kalau hujannya deras kali, juga tidak bagus untuk tanaman,” katanya.

Sarjono mengaku sudah pernah dua kali gagal panen tahun lalu. Dia tak ingin mengulanginya tahun ini. Namun melihat kondisi pertanaman saat ini dia pesimis akan bisa panen raya tahun ini. “Intinya, kalau terlalu panas atau terlalu deras hujannya, berat untuk panen raya. Panen biasa pun turun drastis,” katanya.

Pengurus Kelompok Juli Tani, Yareli mengatakan, Sarjono merupakan salah satu anggota kelompok tani yang berdiri sejak Juli 1982. Pertanaman cabai merah di daerahnya memang menjadi pertanaman utama sejak 2017 ditetapkan menjadi cluster cabai merah binaan Bank Indonesia Sumatera Utara.

Sebagai cluster cabai merah, para petani mendapatkan capacity building dan menerima sejumlah bantuan beerupa alat juga kita terima bantuan berupa alat mesin pertanian (alsintan) sebagai pendukung budidaya. Selain itu juga automatic weather station (AWS) dan lainnya.

Kelompok Juli Tani yang beranggotakan 105 orang ini memiliki lahan seluas 48 hektare yang mana 40 ditanami cabai merah dan 8 hektare ditanami padi. Hasil panen cabai merah di daerah ini, lanjut Yareli, dipasarkan ke sejumlah titik yang sudah bekerjasama atas inisiasi BI di Riau, Pekanbaru dan Aceh.

“Yang kita rasakan di 2 tahun terakhir ini, mulai terhitung sejak Musim Tanam (MT) 2 pada Desember 2022, panen di bulan Maret – April itu terjadi penurunan produksi,” katanya.

Dia menduga penurunan ini tidak lepas dari faktor cuaca, baik elnino maupun lanina. “Karena dari hasil pantauan alat kita AWS itu, suhu di sini mencapai 36,5 derajat dan suhu itu sebenarnya kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman cabe karena idealnya dia suhu itu 28 sampai 32 derajat Celcius pada saat siang hari dan malam hari itu bergeser 18-22 derajat Celcius,” katanya.

Baca Juga:  2 Pria di Medan Ditangkap karena Jual 4 Lutung dan 2 Kukang

Yareli menyebut cuaca sangat panas membuat produksi cabai merah menurun. Dari biasanya 20 ton per ha menjadi 17 ton per ha. Cabai yang biasanya bisa dipanen sebanyak 20 kali kali ini hanya bisa 8 kali.

Dikatakannya, yang terjadi saat ini panas cukup luar biasa sehingga pertumbuhan tanaman cabai kurang bagus. Apalagi saat buah yang di atas seharusnya besar secara maksimal namun karena daunnya rusak akhirnya tidak bisa terisi (kopong). Sehingga terjadilah penurunan produksi.

“Jadi dari hasil rekapitulasi produksi di MT2 2022 kemarin terjadi penurunan dari sebelumnya 20 ton menjadi 17 ton per hektar. Saat ini di MT1 2023 penanaman di bulan Juni kemarin juga pasti ini akan terjadi penurunan karena kita lihat ini rata-rata tanaman cabe kita baru pembentukan ke-8 sampai ke-10 itu bagian atas tanaman cabenya yaitu sudah tidak maksimal. Normalnya, bisa 15 – 20 kali petik, full panen,” katanya.

Menurutnya, penurunan produksi ini memukul petani. Saat itu harga pembelian petani (HPP) sebesar Rp 15 ribu per pohon. Naik dari 2 tahun sebelumnya karena harga pupuk melonjak dari biasanya Rp 480 ribu untuk 50 kilo, saat ini menjadi Rp 780 ribu – Rp 900 ribu. “Jadi biarpun harga Rp 28 ribu per kg, itu bukan angka yang aman bagi petani,” katanya.

Situasi yang tidak menentu ini juga membuat populasi hama khususnya trip, tungau, kutu kebul nyaris tidak terkendali. Agar tanaman aman, petani terpaksa harus melakukan penyemprotan lebih rapat. “Durasi penyemprotannya itu harus dirapetin. Biasanya seminggu 3 – 4 kali, sekarang ini dua hari sekali wajib disemprot. Kalau tidak tanamannya rusak. Biaya operasional pun bertambah,” katanya.

Gunakan pupuk kimia dan organik

Dijelaskannya, dalam prosesnya, petani tidak bisa hanya menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik hanya pada awal pengolahan. Namu saat perawatan dari vegetatif ke generatif harus full kimia karena untuk mengejar produksi. Sehingga untuk menjadi organik, saat ini belum bisa dilakukan.

Baca Juga:  2 Pria di Medan Ditangkap karena Jual 4 Lutung dan 2 Kukang

“Belum bisa kenapa, karena pemerintah juga tidak membedakan antara harga cabe organik dengan cabe yang konvensional,” katanya.

Cuaca yang tidak menentu berakibat pada penurunan produksi cabai merah di Dusun Jogja, Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin, Deli Serdang.

Sumut tidak terdampak elnino

Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Utara (UPT PTPH Sumut), Marino menjelaskan bahwa yang terjadi di Sumatera Utara bukan elnino melainkan lanina. Begitu juga di Sumatera Barat dan Aceh. Posisi sekarang ini adalah lanina, banjir hujan. Dibandingkan dengan provinsi lain seperti Sumatera Selatan, Lampung dan daerah Jawa itu kan termasuk El Nino.

“Pak Yareli itu punya alatnya untuk mendeteksi suhu, kelembaban dan lainnya. Pak Yareli membacanya dari situ. Kedua, mungkin untuk produksi cabe pada musim tanam ini berkurang dibandingkan pada musim-musim panen sebelumnya,” katanya.

Pihaknya mencatat, periode 1 – 15 September 2023 pada tanaman padi terkena banjir seluas 461,3 ha di Kabupaten Asahan, Batubara dan Kota Medan. Dari angka tersebut, 8 hektare di Desa Air Putih, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan mengalami gagal panen atau puso. “Belum ada laporan yang kena kekeringan, atau elnino. Laporan hanya terkena banjir,” katanya.

Untuk antisipasi jika terjadi banjir, pihaknya sudah memiliki sarana dan prasarana terutama untuk pompa air di gudang brigade di Langkat, Deli Serdang dan Asahan.

Namun demikian, Sumatera Utara pernah mengalami gagal panen akibat elnino pada tahun 2015. Gagal panen itu terjadi pada komoditas jagung di Kabupaten Karo karena sama sekali untuk selama beberapa bulan tidak ada air sehingga tanaman yang 15 hari tanam itu busuk.

“Langkah ketika terjadi kekeringan, pompanisasi all in, ada masuk ada keluar seandainya ada air kemudian kita membantu para petani untuk membuat sumur-sumur dangkal itu ada airnya kita bantu untuk 2022 kemarin,” katanya.

Di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, ada sekitar 700 hektare tanaman padi yang hampir kekeringan namun sudah dibantu. Di kecamatan itu, lanjut Marino, ada bulan-bulan tertentu tidak ada air selama 4 hari. Kemudian air masuk itu akibat dorongan air pasang. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.