JAKARTA, KabarMedan.com | Raden Ajeng Kartini atau Kartini dikenal sebagai tokoh pejuang perempuan Indonesia. Banyak hal yang dipelajari dari Kartini, salah satunya adalah gagasannya tentang persamaan gender. Kartini begitu gigih memperjuangkan hak kaum perempuan agar setara dengan laki-laki. Karakternya begitu kuat melekat dalam benak setiap orang, khususnya para Perempuan di Indonesia.
Karakter Kartini menarik perhatian sebuah media online, HUMAS INDONESIA. Platform media digital ini jeli melihat persamaan antara karakter Kartini dengan para perempuan praktisi kehumasan. Nama besar Kartini pun dipilihnya menjadi nama sebuah apresiasi yang diberikan kepada 50 perempuan praktisi kehumasan di Indonesia di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
HUMAS INDONESIA, bagian dari PR INDONESIA Group, merupakan brand media online yang fokus menyajikan informasi dan pemberitaan seputar sosok, peristiwa, kiprah, kompetensi, kinerja kehumasan pemerintah dan badan publik. Media komunitas yang lahir sejak 2019 ini juga aktif menyelenggarakan berbagai aktivitas turunan, termasuk Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI).
Salah satu sosok yang dipilih oleh HUMAS INDONESIA sebagai Kartini HUMAS INDONESIA adalah Dyah Rachmawati Sugiyanto. Perempuan kelahiran Bekasi, 40 tahun silam ini menekuni bidang komunikasi sejak duduk di bangku kuliah jenjang diploma tiga. Selama menjadi humas pemerintah, Dyah telah menerima beberapa penghargaan seperti 50 Tokoh Humas pilihan Majalah PR INDONESIA, Fellowship PR INDONESIA, Gold Winner Insan PR kategori Kepala Bagian/ Koordinator, dan kali ini sebagai satu dari 50 Kartini Humas Indonesia.
Ia merasa bersyukur karena anugerah ini merupakan bentuk apresiasi terhadap kegigihannya memperjuangkan profesi Humas Pemerintah. Menurutnya, Humas Pemerintah adalah sebuah profesi yang layak diperhitungkan dari sekian banyak profesi di Indonesia. Sebagai informasi, seleksi calon penerima anugerah dilakukan dengan melihat portofolio, kontribusi, dan pencapaian setiap insan humas perempuan. Sedangkan aspek-aspek penilaian meliputi pengaruh (40%), achievement (30%), dan karya (30%).
Apresiasi ini diberikan kepada para perempuan yang bergerak di bidang public relations (PR)/humas di tanah air atas kontribusi dan kinerjanya yang menginspirasi di dunia komunikasi. “Inisiasi tersebut lahir karena kami melihat saat ini kehadiran perempuan di dunia kehumasan sudah mengalami pergeseran yang signifikan. Keberadaannya tidak lagi sebatas pendukung apalagi pemanis, tapi telah memiliki peluang yang sama untuk turut andil membawa humas sebagai fungsi strategis di manajemen serta memberikan dampak bagi organisasi,” ujar Asmono Wikan, CEO & Founder HUMAS INDONESIA.
Saat ini Dyah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Ikatan Pranata Humas Indonesia sekaligus Dewan Pengarah Pengurus Cabang Iprahumas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pelan tapi pasti, Dyah bergabung sebagai fungsional Pranata Humas sejak 2006, diawali dari jenjang kepangkatan II/c (Terampil). 18 tahun mengabdi sebagai Humas Pemerintah, kini Dyah menduduki jabatan Pranata Humas Ahli Madya dengan pangkat Pembina Tingkat I, golongan IV-B.
Sejak kecil, Dyah yang berani tampil berpuisi, berpidato, dan mendongeng dari panggung ke panggung ini, beberapa kali berhasil pulang dengan membawa piala atau sertifikat penghargaan. Baginya, perlombaan itu bukan sekadar menang dan kalah, tapi bagaimana ia optimal menyiapkan diri, entah sebagai pemenang atau peserta yang kalah, tapi bukan sebagai pecundang.
Dyah menghabiskan masa bersekolahnya di Jakarta. Ia aktif berorganisasi tanpa melupakan kewajibannya sebagai siswi. Jiwa kepemimpinannya sudah tampak sejak kecil. Mulai dari seringnya ia ditugaskan sebagai Komandan Upacara, Captain Cheerleader saat SMP, Ketua Paskibra, dan Ketua Unit Kegiatan Mahasiwa Teater di kampus diplomanya dulu. Setelahnya pun, hingga kini ia masih dipercaya sebagai Ketua Alumni SMAN 89 angkatan 13.
Bakatnya di dunia Pendidikan juga sudah dibuktikannya. Ia pernah menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar negeri, mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Kala itu Pelajaran tersebut kali pertama masuk dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dasar wilayah Jakarta. Pada hari yang berbeda, Dyah mengajar siswa-siswi di sekolah menengah pertama untuk mata pelajaran kesenian. Sedangkan di akhir pekan, aktivitasnya adalah sebagai pelatih teater di SMAN 1 Depok.
Selepas SMA, Dyah yang akrab dipanggil Didy, melanjutkan pendidikan di sebuah Akademi Komunikasi Radio dan Televisi. Ia menempuh jurusan Siaran Radio dan TV. Ia sempat berkeinginan menjadi penyiar radio. Sayangnya, ia selalu ditolak setelah beberapa kali melamar pelerjaan tersebut. Tak ada sedikitpun kekecewaan atau kesedihan yang dirasakannya. Dyah pun kembali melanjutkan passion mengajarnya. Ia pernah menjadi guru Bahasa Inggris di sebuah Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris dan membuka privat.
Hingga pada suatu Ketika dirinya melamar pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), untuk pertama kalinya ia membidik posisi Humas (tanpa mengetahui apa sebenarnya Humas itu). Pada 2005, ia resmi diangkat sebagai CPNS LIPI satu-satunya yang berlatar belakang pendidikan diploma tiga Komunikasi. Saat itulah dirinya baru benar-benar memulai mengenal profesi dan pekerjaan Humas Pemerintah secara praktis.
Ibu dengan dua puteri ini sebenarnya adalah sosok yang malas menempuh pendidikan tinggi. Tidak seperti Kartini, ia justru merasa sudah cukup bergelar sarjana muda. Namun, ia terlanjur berjanji pada dirinya untuk melanjutkan kuliah jika diterima sebagai PNS.
Ia pun merasa harus belajar Humas lebih serius. Maka komitmen diri tersebut dilunasinya dengan menempuh program kelas karyawan di Universitas Mercu Buana (UMB) dalam kurun waktu dua tahun dan berusaha melupakan keinginan mengajar.
Namun kerinduannya untuk mengajar kembali hadir. Ia tak mungkin kembali menjadi guru di sekolah sebab seluruh hari kerjanya hanya untuk mengabdi di LIPI. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi dosen. Singkatnya, ia kemudian mendapat kesempatan mengajar di UMB setelah menyelesaikan program magister di kampus yang sama.
Tak jauh-jauh, jurusan yang diambilnya masih di bawah payung Ilmu Komunikasi, yaitu Media dan Komunikasi Politik. Lagi-lagi ia lulus tepat waktu, tanpa beasiswa. Perjalanan karir sebagai Humas membuatnya berfikir hingga menemukan sebuah pertanyaan besar tentang “mengapa perkembangan Humas Pemerintah di Indonesia begitu lambat?” Kecintaannya terhadap profesi Humas mendorongnya untuk menyelesaikan disertasi tentang Pemaknaan Humas bagi Pejabat Struktural dan Fungsional Humas Pemerintah di Lembaga Riset. Ia memilih tiga lokus penelitian, yaitu di BATAN, LAPAN, dan BPPT. Masih tanpa beasiswa, gelar doktor dengan promosi kepakaran Public Relations diperolehnya dari Universitas Padjadjaran, Bandung.
Mengenai karya, belasan kaya tulis ilmiah, beberapa artikel yang dibukukan, tulisan di media massa, serta chapter book dalam buku Reputasi Berkarakter adalah karya-karya yang telah ditulisnya. Ia juga tercatat sebagai reviewer beberapa jurnal universitas. “Lewat tulisan, saya ingin banyak berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada siapa saja yang mau belajar. Tidak ada yang lebih membanggakan ketika anak didik kita sukses berkiprah, sejahtera, dan terhormat karena sikap dan pendidikannya,” urainya.
Hingga kini, bersama rekan-rekan Pejabat Fungsional Pranata Humas dari berbagai kementerian, lembaga, dan daerah, aktif dalam organsasi profesi Ikatan Pranata Humas Indonesia (Iprahumas). Ia pun pernah menjadi Wakil Ketua Umum 1 Iprahumas (2015-2018), Ketua Umum Iprahumas pada 2018, dan harus melepasnya sebab ia dilantik sebagai pejabat struktural (Kepala Bagian Humas dan Informasi Publik LIPI) pada 2019.
Ketika terjadi integrasi BRIN, Dyah diberikan amanah sebagai Koordinator Komunikasi Publik selama dua tahun dan kini ia dipercaya sebagai Koordinator Engagement Nasional Pengembangan Kompetensi SDM Iptek BRIN. Perempuan yang juga vokalis band dan penari Gambyong Pareanom ini juga terdaftar sebagai dosen di Universitas Paramadina. Setiap Sabtu ia mengajar beberapa mata kuliah di Fakultas Falsafah dan Peradaban.
Perempuan keturunan Jawa ini juga mendirikan Kelas Olah Wicara Anak (KOWA) yang dirintisnya sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, KOWA adalah laboratorium pribadinya dalam melakukan eksperimen sosial, psikologi edukasi, dan komunikasi. “Belajar sepanjang hayat. Tidak harus dari sekolah atau kampus. Belajar bisa di mana saja, termasuk belajar tentang hidup dan keterampilan hidup,” tutupnya. [KM-08]