Kisah Dasori Memasuki TNGL dan Harapannya Dalam Pemilu

LANGKAT, KabarMedan.com | Namanya Dasori. Tapi lebih dikenal dengan panggilan Rahmane. Dua dasawarsa lagi usianya genap satu abad. Di masa tuanya ini dia ingin hidup dengan aman dan damai. Betapa tidak. Dia sudah mengawali masa mudanya dengan berbagai perubahan.

Melewati jalur darat dari tanah Jawa ke hampir ujung utara pulau Sumatera di tahun 1976 tidaklah seperti sekarang. Ya, Rahmane memulai perantauannya ke Kuala Simpang, Aceh Tamiang, bekerja di sebuah perusahaan perkebunan. Dia tak merinci jenis pekerjaannya.

Dia tidak betah dan mendapat gaji yang kecil. Dia sempat meminta pesangon untuk pulang namun tak diberikan. Dia pun pindah ke Langsa lalu ke Aceh Timur. Usianya yang sudah renta membuatnya tak lagi mengingat detail yang dialaminya. Dia bercerita menurut waktu dalam rentang tahun.

Saat itu, di tahun 1990 dia membuka lahan untuk ditanami kacang kuning (kedelai) seluas satu hektare. Di lahan yang sama ditanaminya padi secara bergantian sesuai musimnya. Dia pun punya dua hektare tanaman karet.

“Ya waktu itu saya tidak sendiri. Banyak juga kawan-kawan dari Jawa,” katanya.

Tak lama di lokasi tersebut, dia menjual lahannya lalu pindah tak jauh dari lokasi, masih di Aceh Timur. Dia menanam coklat seluas setengah hektare, karet seluas satu hektare, dan masih ada 2,5 hektare lagi yang belum ditanamu.

Dia mengganti rugi dari orang lain sebesar Rp 1 juta/hektare, plus dua rumah. Dari situ lah kemudian dia bersama dengan sekitar 300 kepala keluarga (KK) diminta meninggalkan tempat dan diperbolehkan datang di lain waktu. Secara rombongan, dia berjalan kaki selama satu hari kemudian menumpang truk.

Akhirnya dia sampai di Langkat, di perkebunan milik seorang tokoh. Tepatnya di Desa Harapan Makmur, Kecamatan Sei Lepan. “Di situ saya kerja nyangkul jalan di tempat yang namanya trans BM 1. Itu di Desa Harapan Makmur. Kerja mocok-mocok lah di situ. Nah dari situ saya lihat Barak Induk, di situ banyak pengungsi juga,” katanya.

Tahun 2003 dia masuk ke Barak Induk. Di sini dia punya lahan seluas tiga hektare, satu hektare di antaranya sudah ditanami karet. Bukan tanpa alasan dia belum menanaminya. Lahan yang masih kosong adalah kawasan perlintasan gajah sumatra (Ellephas maximus sumatrensis). Sekali masuk, kata dia, rombongan gajah bisa mencapai 30 ekor dan memakan tanaman yang dilintasinya.

“Itu saya dapat karena ganti rugi Rp 4 juta dari orang yang sudah keluar dari situ,” katanya.

Hingga kini, 16 tahun sudah dilewatinya. Pemilihan umum calon legislatif, bupati, gubernur dan presiden sudah berkali-kali, dia mengaku tak begitu merasakan adanya perubahan. Hari demi hari berganti, kepemimpinan berganti, dia tetaplah seorang petani yang karet di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Biarpun demikian, dia pun selalu ikut dalam pemilu karena memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan alamat di Dusun Aman Damai, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan.

Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat lainnya yang tinggal di dalam kawasan TNGL. Bahkan, pada saat pemilu tahun 2014, ada sekitar 4 tempat pemungutan suara (TPS) di Sei Minyak dan Barak Induk, yang sama-sama di dalam kawasan TNGL.

“Walaupun tinggal di dalam kawasan, tapi kita punya KTP. Kalau ditanya apa harapan saya dengan pemilu, saya gimana ya. Yang penting bisa aman, damai dan tenang. Di sini (Barak Induk dan sekitarnya), ada 400-an KK. Gimana lah supaya hidupnya baik,” katanya.

Seorang tokoh masyarakat setempat, Hamdani mengatakan, masyarakat yang tinggal di dalam kawasan mengikuti pemilu baik legislatif, bupati, gubernur maupun presiden dan wakil presiden. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu menunjukkan bahwa masyarakat memiliki harapan untuk kehidupan yang lebih baik dengan calon-calon yang dipilihnya.

“Misalnya Sei Minyak, banyak yang belum legalitas, untuk KTP lah. Padahal 20 tahun sudah di situ. Sementara di Seli Lepan sudah tapi tidak semua. Di pemilu gubernur, hanya 31 orang dari total 200-an pemilih. Alasannya tidak ada ktp elektronik. Mereka itu masuk Desa PIR ADB di Kecamatan Besitang,” katanya.

Adalah Muhammad Hidayat, calon legislatif dari Partai Bulan Bintang dengan daerah pemilihan (dapil) 5, Sei Lepan, Babalan, Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya. Pria berkacamata ini getol menyuarakan persoalan yang dialami oleh masyarakat yang mengelola lahan di dalam kawasan TNGL, khususnya yang termasuk dalam masyarakat adat Kedatukan Besitang.

Dijelaskannya, berbicara tentang TNGL harus mengetahui sejarahnya. Wilayah yang saat ini masuk dalam kawasan TNGL dulunya adalah wilayah adat hutan adat Kedatukan Besitang yang di tahun 1927 diadakan penelitian bersama Belanda di wilayah Sikundur.

Dari penelitian tentang keanekaragaman hayati tersebut, ditemukan banyaknya potensi. Kemudian dengan Datuk Abdul Khalid, yang kala itu berumur 17 tahun bersepakat kawasan tersebut dilestarikan demi anak negeri, sebagai paru-paru dunia.

Dari tahun 1927 – 1936, dilanjutkan dengan penatabatasan sebagai Suaka Margasatwa Sikundur. Proses berikutnya, di mana penelitian sudah mencakup wilayah adan Kedatukan Besitang seluas 79.100 hektare dan faktor kedekatan Belanda dengan Kesultanan Langkat, kemudian dijadikan blue print Sikundur sebagai satu perjanjian.

“Saya tak tahu persis di Aceh bagaimana. Tapi kita berpendapat bahwa perjanjian secara konkrit dengan penata batasan itu diawali oleh Kedatukan Besitang. Jadi ketika menjadi seluas 213.000 hektare, itu setelah tahun 1936di mana Belanda sudah melakukan penelitian tidak hanya di wilaya kita saja,” katanya.

Baru setelah dua tahun kemudian, wilayah itu seluas 213.000 hektare itu disebut sebagai wilhelmina Katten, karena bentuknya menyerupai kucing. Wilayah adat yang disatukan setelah Sikundur selesai, dilakukan dengan perjanjian dengan kejuruan-kejuruan. Kejuruan adalah wilayah kedatuka yang pemimpinnya keluarga kesultanan.

Dalam proses berikutnya, di tahun 1945 terjadi euphoria nasionalisme. Wilayah sepenuhnya dikelola oleh pemerintah. Di tahun 1980-an, pemerintah menggelontorkan Program Pembinaan Habitat (PPH) untung menjarangkan pohon atau ruang bagi satwa untuk ‘bermain’ di situ. Maka kemudian dilakukan penebangan oleh perusahaan untuk memotong pohon-pohon besar dengan sistem tebang pilih.

“Intinya begini, rusaklah hutan itu. Runtutannya begini, setelah merdeka, lahan dikelola TNGL. tahun 1980-an, masuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang nebagi pohon, kemudian izinnya ditarik di tahun 90-an. kemudian keluar mereka yang meninggalkan lokasi. Masih banyak bekas-bekas tebangannya. Pasca reformasi, masuk lah pengungsi dari Aceh ke tempat itu,” katanya.

Dikatakannya, sebagai calon legislatif, menurutnya, masyarakat di dalam kawasan ini harus diberi pembinaan dan perhatian yang lebih dari yang sudah-sudah. Masyarakat yang memasuki kawasan TNGL pasca reformasi melihat bahwa kawasan tersebut bukanlah hutan dan merasa bisa hidup di tempat tersebut dengan bercocok tanam.

“Kalau pemerintah arif, masyarakat ini harusnya dibina. Saya tak tahu apakah pemerintah dulu tak tahu community logging atau peerhutanan sosial atau bagaimana. Kenapa saat itu tidak diarahkan dan justru tidak dianggapsebagai manusia atau warga negara sekaligus dianggap sebagai perambah liar. Padahal di dalam itu ada kilang-kilang, itu sudah ada sebelum mereka masuk,” ungkapnya.

Menurutnya, saat ini penanganan pemerintah sudah lebih baik dalam konteks perhutanan sosial. Namun, sejarahnya harus didudukkan dulu. Ada masyarakat yang hidup dengan struktur adat. Pasalnya, jika hanya dengan pendekatan hukum negara, akan ada pertentangan.

Di sisi lain negara mengakui ini adanya wilayah adat. Caleg, kata dia, adalah skup yang sangat lokal. Karenanya upayanya adalah dengan pembinaan kepada masyarakat adat untuk bersama-sama mengembalikan hutan lestari, mendorong berjalannya adat istiadat yang secara nilai sangat konservasionis.

“Nilai yang disampaikan dulu kan banyak lewat pantun. Misalnya, menebang kayu saja ada pantunnya. Begitupun memilih pohon yang mau ditebang, tidak boleh sembarangan,” katanya.

Saat ini, masyarakat adat yang menyatakan dirinya di dalam Kedatukan Besitang sudah mencapai 150-an. Mereka menanami lahannya dengan tanaman buah dan tanaman keras. Tetapi itu tak mudah karena masih banyak babi hutan yang merusak tanaman sehingga petani merugi.

“Kita mendorong pemerintah membantu mereka dalam proses menghutankan kembali sesuai perjanjian itu. Bahwa pemerintah harus memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat itu sudah ada. Tapi itu masih di awang-awang,” katanya.

Perhutanan Sosial dan Penyelesaian Konflik di TNGL Penyelesaian konflik di TNGL sebenarnya sudah memasuki babak baru. Di mana pada bulan Februari 2018, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar TNGL menandatangani MoU dengan Pemerintah Kabupaten Langkat untuk menyelesaikan konflik di dalam kawasan.

Kemudian pada bulan Oktober di tahun yang sama, 13 kelompok tani hutan konservasi (KTHK) di Sumatera Utara dan Aceh menandatangani kerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) untuk memulihkan kawasan.

Penandatanganan tersebut disaksikan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Petai, Scorpion, Wildlife Conservation Society-Indonesia Programe (WCS-IP), Yayasan Ekosistek Lestari, Yayasan Orangutan Sumatra Lestari-Orangutan Information Centre dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo dan lain sebagainya.

Dengan demikian, proses panjang konflik sampai pada penandatanganan kerjasama pemulihan kawasan merupakan langkah besar di mana berbagai upaya sudah dilakukan dengan energi yang besar. Kemitraan konservasi yang berjalan di TNGL ini menempatkan masyarakat sebagai subjek dan harus berhasil.

Penandatanganan ini diyakini bahwa nantinya yang dikerjakan oleh 13 kelompok tani ini akan menjadi succes story perhutanan sosial dengan skema kemitraan konservasi di Indonesia. Diketahui, 13 kelompok tani tersebut terdiri dari 11 kelompok tani hutan konservasi di Kabupaten Langkat di lahan seluas 740 hektare dan 2 kelompok tani di Kabupaten Aceh Tenggara di lahan seluas 93,2 hektare.

Penandatanganan tersebut dilakukan oleh para ketua kelompok tani yang datang bersama dengan anggota kelompoknya. Kerjasama ini menjadi salah satu resolusi konflik tenurial di kawasan TNGL dalam bentuk inisiatif dari kelompok-kelompok tani hutan konservasinyang ingin berpartisipasi dalam perlindungan, pemulihan ekosistem dan pemanfaatan berkelanjutan di kawasan TNGL yang terdegradasi.

Kawasan hutan TNGL yang mengalami degradasi akibat perambahan seluas 35.631,11 hektare atau 4,29% dari luas kawasan TNGL. Sebagai upaya untuk menghentikan laju degradasi hutan ditempuh dengan pemulihan ekosistem.

Nantinya, setiap kelompok tani hutan konservasi akan menyusun rencana pelaksanaan program (RPP) dan rencana kerja tahunan (RKT). Kerjasama berlaku selama 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi pelaksanaannya di lapangan.

Kepala Bidang Teknis Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Adhi Nurul Hadi mengatakan, lebih dari 35.000 open area di TNGL adalah akibat perambahan yang terjadi sejak lama.

“Tahapan kita sudah sampai di role model di kawasan Sekoci melalui pendekatan ke masyarakat sehingga perambah yang tadinya selalu ada perlawanan sekarang sudah bersama kita melakukan restorasi. Kita ajak mereka di wilayah Sekoci. Memang kita fokuskan di Sekoci untuk role model,” katanya.

Sebagai langkah awal, dari 35.000 hektare yang terdegradasi, kawasan yang akan direstorasi dengan pendekatan kemitraan bersama masyarakat seluas 1.200 hektare. Dia mengakui restorasi adalah hal yang butuh waktu panjang untuk pemulihannya.

“Dalam kemitraan itu, mereka boleh mengelola 2 hektare/kk. Kalau punya lebih dari itu, harus dilepas. Kita sudah sampaikan kepada kepala desanya. Harus ada perjanjian kerjasama dengan masyarakat. Tanamannya yang didominasi dengan tanaman keras,” katanya.

Dijelaskannya, salah satu upayanya adalah melalui Collaborative Management Plan (CMP) yang sudah dibahas beberapa kali mulai di BBTNGL secara internal, pertemuan di Jakarta dan saat ini di Medan dalam konsultasi publik.

“Harapannya ada tambahan terhadap draft CMP. Terkait dengan fokusnya ada di ekowisata, restorasi dan pemberdayaan masyarakat. CMP ini sebagai menjadi bridging gap antara BBTNGL dengan para mitra,” katanya.

Sebagaimana diketahui, pada 22 Februari 2018, pihak BBTNGL dengan Pemerintah Kabupaten Langkat menandatangani Memorandum of Understanding penguatan fungsi TNGL untuk penyelesaian konflik berkepanjangan di dalam kawasan TNGL. Penandatanganan yang dilakukan saat Deklarasi Petani Hutan di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat dan menjadi babak baru dalam upaya penyelamatan TNGL.

Lokasi penandatanganan tersebut berada di bekas kantor kantor TNGL Resort Sekoci yang ditinggalkan setelah rusuh menyusul operasi penghancuran tanaman sawit dan karet seluas 1.500 hektare di 2011 – 2012, dan memicu perlawanan massa. [KM-05]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.