MEDAN, KabarMedan.com | Wajah dunia pendidikan seolah semakin terpuruk seiring dengan munculnya kasus ijazah dan gelar palsu yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Maraknya ijazah palsu, karena banyak orang bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor bahkan profesor untuk menaikkan posisi tawarnya.
Masalahnya dengan sumber finansial yang dimiliki yang tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual, maka banyak yang berusaha memotong jalur untuk memudahkan dirinya mendapatkan gelar kesarjanaan atau gelar lainnya dibidang akademik.
“Ijazah palsu laris karena semua jadi serbamudah. Ijazah S-1 seharga Rp15-20 juta. Itu jauh lebih murah bila dibandingkan dengan biaya kuliah sungguhan. Apalagi, dari segi waktu, kuliah S-1 butuh empat sampai lima tahun,” kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen, Farid Wajdi, Minggu (31/5/2015).
Ia menjelaskan, beli ijazah palsu, dalam hitungan hari, gelar sudah dalam genggaman. Kondisi ini yang direspons oleh sebagian orang untuk memperdagangkan gelar kesarjanaan. Dengan tanpa kuliah, ujian skripsi, ujian tesis dan disertasi, orang bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Ini adalah penipuan besar.
“Padahal jika kita telaah lagi, tidak akan berguna gelar tersebut jika tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual dan skill,” sebut Farid.
Jika dikaji secara mendalam ini terjadi disebabkan : Pertama, watak manusia Indonesia yang masih belum menunjukkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab. Kedua, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki.
“Penggunaan gelar palsu yang dilakukan oleh para pejabat negara adalah sebuah cerminan rendahnya kejujuran dan tanggungjawab. Melihat begitu maraknya praktik ijazah palsu, kalau Kemenristekdikti bersama pihak berwajib mau, para pelaku pasti sangat mudah ditangkap. Praktek gelar palsu dan ijazah palsu adalah kejahatan secara telanjang dan mudah disaksikan,” ungkap Farid.
Namun, karena operasi untuk memberantas kejahatan itu tidak pernah konsisten, praktik kotor-kotor tersebut tidak pernah hilang. Selain ijazah palsu, peredaran ijazah asli tapi palsu (aspal) sangat marak. Dua hal tersebut berbeda. Ijazah palsu adalah ijazah yang dikeluarkan perorangan atau lembaga yang tidak berizin sebagai perguruan tinggi.
“Jika pelakunya perorangan, biasanya dia memiliki banyak stempel logo kampus ternama untuk membuat ijazah palsu. Sementara itu, ijazah aspal adalah ijazah yang dikeluarkan perguruan tinggi resmi. Tetapi, mahasiswanya tidak menjalani aturan perkuliahan sesuai ketentuan. Tetapi fakta yang demikian belum disentuh dengan serius oleh pemerintah,” ujar Farid.
Jika dilihat keseriusan pemerintah untuk meminimalkan kejahatan pemalsuan ijazah belum ada langkah serius dan sistematis. Ijazah palsu ada sejak dulu, tetapi, belum ada program konkret untuk mencegah dan menghentikannya.
Oleh itu, menurutnya, harus ada kebijakan bersama antara Kemenristekdikti, polisi, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta badan-badan lain untuk urusan ijazah palsu itu. Pemerintah mesti konsisten menekan kejahatan akademik itu.
Jika tidak, lanjut Farid, masyarakatlah yang menjadi korban dan ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah karena tidak melakukan upaya perlindungan. Jika ada upaya yang sungguh-sungguh, semua lembaga harus mengecek ijazah pegawai masing-masing. Mulai para menteri; pejabat eselon I, II, dan di bawahnya; para anggota DPR, DPD, hingga PNS di seluruh Indonesia harus diverifikasi.
“Polisi juga harus bekerja secara professional dan melakukan audit internal mengenai penggunaan ijazah palsu. Kasus ijazah palsu itu bukan delik pengaduan. Artinya, upaya polisi tidak hanya menunggu ada laporan adanya pengaduan masyarakat atau pejabat. Modus pemesanan ijazah kilat di kalangan PNS yang sering terjadi adalah memanfaatkan kelas kuliah jauh,” tukas Farid.
Selama ini sanksi penggunaan ijazah aspal bagi PNS memang kurang menggigit. PNS yang kedapatan menggunakan ijazah aspal hanya diberi sanksi administrasi. Yakni, dicopot dari jabatannya. Juga sanksi penurunan pangkat satu level atau satu tingkat.
“Padahal, hukuman pidana pelaku untuk pelaku kejahatan itu sangat berat, yakni Pasal 69 ayat [1] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta rupiah. Selain itu, berdasar UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 44 ayat (4) adalah penjara selama sepuluh tahun atau denda Rp 1 miliar,” pungkas Farid. [KM-01]