LAPK Minta BPK Audit Investigasi PLN

listrik-padam

KABAR MEDAN | Masa 9 tahun krisis listrik di Sumatera Utara memerlukan audit investigasi atau pemeriksaan menyeluruh kepada PLN yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur dan teknik-teknik yang umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu kejahatan.

Hal itu diungkapkan Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), dalam siaran pers yang diterima KabarMedan.com, Selasa (12/8/2014).

“Yang paling mungkin melakukan audit adalah investigasi auditor eksternal pemerintah yaitu Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). BPK perlu melakukan audit investigasi kepada PLN adalah untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan, yang berpotensi terjadi selama 9 (sembilan) tahun krisis listrik di Sumatera Utara, ” kata Direktur LAPK, Farid Wajdi.

Menurutnya, audit investigasi yang dilaksanakan merupakan pengembangan temuan audit sebelumnya, seperti financial audit (audit keuangan) dan operational audit (audit kinerja), baik yang dilaksanakan penegak hukum atau audit internal perusahaan, auditor dapat menyusun langkah audit yang hendak dilaksanakan.

Kondisi tersebut, lanjut Farid, misalnya, apakah ada tindak pidana korupsi lain yang belum terungkap di luar kasus yang telah diproses secara hukum (kejaksaan dan pengadilan), memeriksa dokumen proses yang telah dilakukan dalam perbaikan selama krisis listrik.

“Mengapa proses pembayaran tagihan listrik justru naik, padahal PLN melaksanakan program pemadaman bergilir. Bagaimana penggunaan BBM selama pemadaman bergilir, apakah konsumsi naik, tetap atau turun? Berapa sudah kerugian ekonomi dan sosial masyaratak dan dunia usaha selama program pemadaman bergilir dilaksanakan? Bagaimana tender sewa genset, tender pencatatan meteran, tender perbaikan mesin yang rusak, dll?, ” ujarnya.

Pada intinya menurut LAPK, semua tahapan atau langkah PLN dalam mengelola dan meperbaiki sistem kelistrikan yang pada masa krisis, apakah telah sesuai dengan peraturan, prosedur atau justru banyak terjadi pelanggaran.

Dalam proses audit investigasi auditor mesti diberi kewenangan, untuk menggunakan prosedur dan teknik yang umumnya digunakan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kejahatan, seperti pengintaian dan penggeledahan

Peran Lembaga Konsumen
Setiap kali berhadapan dengan produsen, masyarakat selaku konsumen selalu berada pada posisi lemah. Karena itu, sikap yang cenderung pasrah atas kekuasaan produsen seakan-akan menjadi tipikal mayoritas masyarakat konsumen Indonesia. Apalagi bila produsen barang/jasa tersebut berupa badan-badan milik negara (BUMN) seperti Pertamina, PLN, dan PT Telkom.

Praktis, tumpuan masyarakat konsumen selama ini hanya bersandar kepada sejumlah lembaga swadaya pengadvokasi konsumen. Padahal, lembaga semacam itu bukan sosok pembela yang selalu dapat menuai kemenangan.

Ketiadaan kesadaran komunal ini menjadikan sulit mengharapkan ada sebuah gerakan konsumen yang mampu kenaikan posisi tawar masyarakat konsumen berhadapan dengan produsen. Belajar dari persoalan PLN sekatang ini, misalnya, bentuk dukungan yang diberikan kepada lembaga konsumen terbilang sangat minim. Yakni sebatas mengadukan persoalan tanpa dibarengi kesadaran untuk melakukan tindakan lebih konkret.

Masyarakat konsumen dalam kasus PLN dan juga beberapa kasus lain, tampak enggan untuk sedikit melibatkan diri dalam sebuah gerakan yang termobilisasi. Ajakan boikot rekening justru seperti angin lalu. Proses hukum (gugatan class action, citizen lawsuite, legal standing, perdata konvensional) atau gerakan mobilsasi massa masih kurang mendapat respons yang cukup. Konsumen cenderung memilih menyerahkan urusan kontrol terhadap perilaku produsen kepada lembaga konsumen.

“Yang dapat dilakukan lembaga konsumen secara maksimal hanyalah menjadikan setiap isu tentang kepentingan konsumen sebagai wacana publik, seperti halnya kontroversi pemadaman bergilir, ” ungkap Farid.

Karena itu pula, keberadaan lembaga-lembaga konsumen tidak akan berarti bagi penguatan posisi tawaran masyarakat konsumen jika masyarakat konsumen itu bersikap apatis terhadap buruknya pelayanan publik. [KM-01]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.