MENTAWAI, KabarMedan.com | Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat menyimpan budaya dan keanekaragaman hayati yang unik. Masyarakat adat secara turun temurun hidup berdampingan bersama alam dengan masa depan yang penuh tantngan. Diperlukan penguatan terhadap masyarakat adat sekaligus wilayah kelolanya yang menjadi habitat bagi primata endemik Mentawai yang berstatus dilindungi.
Dalam keterangan tertulisnya, Direktur Green Justice Indonesia (GJI), Panut Hadisiswoyo mengatakan, diskusi mengenai hal tersebut sudah dimulai setahun silam bersama Yayasan Citra Mentawai Mandiri serta Swara Owa dan dan kini secara konsorsium melakukan kerja-kerja advokasi terkait penguatan masyarakat adat dan perlindungan primata endemik Mentawai. Menurutnya, perlu dilakukan penyusunan langkah-langkah lebih lanjut. Dia berharap dalam dua tahun ke depan dapat membuahkan hasil yang baik.
Pembelajaran dari Tapanuli
Panut membagikan pengalaman GJI dalam pengajuan pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) di Desa SImardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, memakan waktu 2 tahun seluas 2.917 hektare.
Kolaborasi Mendalami Cerita
Di salah satu rumah warga yang dikunjungi di Desa Madobak Ugai, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, terlihat ada banyak tengkorak berbagai jenis hewan dan menurut Panut paling banyak adalah tengkorak pigtail langur.

Hal-hal tersebut nantinya perlu diangkat dalam publikasi, yang sudah diangkat akan dikemas kembali sembari menggali cerita yang belum terekspos. YCMM, lanjut Panut, sudah banyak bekerjasama dengan jurnalis dan lembaga jurnalis.
“Kita perlu mengangkat dengan angle yang berbeda sehingga kita akan banyak memproduksi informasi atau pengetahuan yang menarik diangkat menjadi sebuah berita. Secara spesifik tentang hutan adatnya saya belum dapat. Tentang suku dan adat budayanya, ada beberapa. Tapi tentang aturan adat, tata kelolanya, nilai budayanya bagaimana,” katanya.
Langkah berikutnya yang akan diambil mencakup pendalaman konsep hutan adat dari perspektif masyarakat setempat. “Apakah pemahaman mereka sejalan dengan pengakuan negara, ini menjadi salah satu aspek yang perlu dieksplorasi lebih lanjut guna memastikan bahwa kebijakan yang diusulkan benar-benar sesuai dengan harapan komunitas adat,” katanya.
Satu-satunya di Sumatera Barat
Sementara itu, Askurnis Lubis yang akrab dipanggil Buyung, dari Yayasan Citra Mentawai Mandiri mengatakan Kepulauan Mentawai merupakan satu-satunya kabupaten di Sumatera Barat yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan dan perlindungan uma sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di mentawai dengan masa advokasi selama 5 tahun.

Dijelaskannya, sudah ada sekitar 30 kelompok masyarakat adat yang disebut dengan Uma yang didampingi Yayasan Citra Mandiri Mentawai untuk berproses mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah, 9 uma sudah ditetapkan dan diakui oleh bupati Mentawai melalui SK pengakuan Uma tahun 2020, dan selebihnya masih berproses, di dalam perda yang disebutkan UMA adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Mentawai.
Bagi masyarakat, semua tanah di Mentawai itu milik masyarakat Mentawai. Mulai dari hutan, sungai, sudah ada tanda batas alamnya sejak dari dulu. Begitupun aturan mengelola wilayah adat juga sudah ada. Begitu juga dalam hal membuka lahan. “Yang mana boleh dikelola, di dataran ditanami apa, dan di gunung itu bukan untuk diolah, tetapi untuk mereka berburu. Kalaupun ditanami itu dengan tanaman-tanaman buah untuk kosumsi mereka,” katanya.
Dari sisi kebutuhan untuk makan atau untuk upacara adat mereka akan berburu, salah satu buruannya monyet. Sepanjang pengetahuannya, sejak tahun 2013 saat dia masuk ke Mentawai dan berinteraksi dengan masyarakat, masuk dari desa ke desa, Sikerei berpantang memakan bilou. Mereka tidak akan memburunya. Kalau ada anggota keluarganya yang makan bilou, itu akan bisa berdampak kepada Sikerei atau keluarganya.
Salah satu yang menjadi tantangan masyarkat Mentawai adalah terkait kawasan hutan, 82% dari luasan mentawai itu adalah kawasan hutan, sementara masyarakat Mentawai bermukim dan berladang mencari kebutuhan hidup mereka dalam hutan, ini akan rawan terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat.
“Karena kita sama tau dalam aturan kehutanan, tidak boleh ada satu aktifitas apapun dalam kawasan hutan kecuali aktifitas kehutanan,” katanya.

Seperti Taman Nasional Siberut, di dalam kawasan itu ada beberapa desa dan kecamatan. Masyarakat, pada sebagian tidak begitu suka dengan hadirnya Taman Nasional karena dianggap hanya memberikan larangan tetapi tidak ada memberikan timbal balik yang adil bagi masyarakat.
“Misalnya mereka diberikan bibit pinang, karet dan lainnya dengan jumlah yg terbatas. Tapi tentunya itu tidak berdampak secara ekonomis bagi masyarakat. Kami sudah dilarang, tapi apa yang kita bisa dapat setelah ada taman nasional itu pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dari masyarakat. Mereka tetap berladang, karena mereka mau kemana lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” katanya.
Masyarakat Mentawai, lanjut Buyung, sangat terbuka bagi pihak-pihak yang ingin mendampingi mereka. Terutama agar dapat meningkatkan perekonomian mereka, memenuhi kebutuhan keluarganya, sekolah-anak-anaknya, dan lain sebagainya. “Mereka mau menjaga hutannya. Mereka bilang, kami gak akan ganggu hutan, tak akan ganggu taman nasional, tapi apa yg diberikan ke kami masyarakat adat mentawai supaya kami gak tergiur misalnya perusahaan HPH,” katanya.
Dikatakannya, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana memberdayakan masyarakat agar tetap dapat mengelola sumber daya alam mereka tanpa kehilangan hak atas tanah adatnya. Dikatakannya, masyarakat Mentawai melihat tanah tidak hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas dan keberlangsungan budaya mereka.
“Oleh karena itu, setiap upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya mereka,” katanya.
“Misalnya mereka diberikan bibit pinang, karet dan lainnya dengan jumlah yg terbatas. Tapi tentunya itu tidak berdampak secara ekonomis bagi masyarakat. Kami sudah dilarang, tapi apa yang kita bisa dapat setelah ada taman nasional itu pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dari masyarakat. Mereka tetap berladang, karena mereka mau kemana lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” katanya.
Masyarakat Mentawai, lanjut Buyung, sangat terbuka bagi pihak-pihak yang ingin mendampingi mereka. Terutama agar dapat meningkatkan perekonomian mereka, memenuhi kebutuhan keluarganya, sekolah-anak-anaknya, dan lain sebagainya. “Mereka mau menjaga hutannya. Mereka bilang, kami gak akan ganggu hutan, tak akan ganggu taman nasional, tapi apa yg diberikan ke kami masyarakat adat mentawai supaya kami gak tergiur misalnya perusahaan HPH,” katanya.
Dikatakannya, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana memberdayakan masyarakat agar tetap dapat mengelola sumber daya alam mereka tanpa kehilangan hak atas tanah adatnya. Dikatakannya, masyarakat Mentawai melihat tanah tidak hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas dan keberlangsungan budaya mereka.
“Oleh karena itu, setiap upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya mereka,” katanya.

Pentingnya Uma dan Sikerei
Wawan menjelaskan, dalam konteks perlindungan terhadap satwa khususnya primata, aturan-aturan adat sebenarnya bisa digunakan. Tetapi di lapangan banyak aturan-aturan adat ini tidak diterapkan lagi karena sudah tidak ada sistem adat Uma, Sikirei yang melarang menembak dan memakan bilou, tidak boleh memburu yang masih muda dan betina, dan lain sebagainya.
“Sebenarnya itu aturan yang bisa membantu juga secara langsung untuk keberlanjutan primata. Tapi karena sistem ini sudah ada erosi, jadi orang nggak lagi
berpegang teguh pada aturan-aturan adat. Karena nggak ada Uma dan Sikirei sebagai pilar dan pusat adat. Tidak ada Uma dan Sikerei, ya udah bebas, nggak ada yang pantangan-pantangan itu lagi,” katanya.
Wawan mengingatkan, satwa yang ada di Pagai dan Sipora adalah satwa endemik yang tidak ada di Siberut, karenanya dibutuhkan aksi untuk membangun kesadaran pentingnya perlindungan di kawasan, solusi ekonomis misalnya wisata minat. “Perlu pendekatan yang berbeda dengan Siberut karena sudah tidak ada lagi Uma dan Sikerei,” katanya.

Populasi bilou saat ini ada sekitar 10.000 – 20.000 di seluruh Mentawai. Dari 6 jenis primata, yang paling banyak adalah simakobu dan joja. Sebagaimana yang dilihat di rumah-rumah warga di Desa Madobak Ugai, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai terdapat banyak tengkorak-tengkorak hasil buruan. “Iya kalau kita lihat di rumah-rumah mereka itu, itu kemungkinan paling banyak jenis simakobu dan joja,” katanya. [KM-05]