Laporan : Agoez Perdana
MEDAN, KabarMedan.com | Saat ini Indonesia termasuk salah satu negara yang masih memberlakukan sistem penjara bagi anak. Indonesia pun belum memiliki sistem peradilan anak berbasis HAM. Padahal memasukkan anak ke penjara bukanlah sebuah pilihan yang baik. Belum lagi isu pelanggaran Deklarasi HAM Universal dan Konvensi Hak-hak Anak PBB.
Namun anehnya, di sebuah penjara anak, atau Kementerian Hukum & HAM menyebutkan lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Kota Medan, di pintu masuknya jelas tertempel sebuah bingkai yang berisi Deklarasi HAM Universal. Entah sebagai sebuah peringatan, atau sekadar hiasan.
Kondisi penjara yang sangat tidak layak di penjara anak/Lapas anak Kota Medan, yang berlokasi di kawasan Tanjung Gusta. Terletak satu kompleks dengan penjara orang dewasa, dari segi kapasitas daya tampung hanya 250 orang, namun penjara anak di Kota Medan dihuni hampir 600 anak. Ruangan sel penjara berukuran 4 x 3 m2 yang diisi 8-10 orang anak dengan kamar mandi tanpa penutup di dalamnya, tentunya sangat tidak nyaman dan mengganggu kesehatan. Bayangkan, jika anda harus tidur di tempat tidur semen beralas tikar dengan bau busuk yang menyengat hidung.
Aspek kesehatan anak di penjara juga masih menjadi persoalan. Hasil pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terhadap kondisi penjara/lapas anak Kelas II Tanjung Gusta, Medan, sejumlah anak mengalami masalah kesehatan baik fisik maupun mental. Sementara layanan terhadap mereka sangat terbatas. Betapa tidak, biaya layanan kesehatan di penjara anak tersebut saat ini berasal dari pemerintah pusat karena penjara anak di bawah otoritas Kementerian Hukum dan HAM, yang kelembagaannya di daerah bersifat vertikal.
Pengelolaan pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum, yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Hukum & HAM Indonesia juga dinilai tidak tepat. Hal ini ditegaskan oleh Direktur LSM Pusat Kajian & Perlindungan Anak, Ahmad Sofian.
“Seharusnya anak-anak yang sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, itu tidak dibina lagi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Tapi diserahkan kepada Kementerian Sosial, sehingga fungsi rehabilitasi untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum itu memang benar-benar dilakukan, dan perspektif masyarakat tidak lagi mengganggap anak itu berada di penjara,” kata Sofian.
Berdasarkan data KPAI, saat ini ada sekitar 6.271 anak yang mendekam di 16 penjara anak/Lapas anak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan fakta yang lebih mengejutkan, menurut KPAI, lebih dari separuh anak mengalami penyiksaan. Sebanyak 18 dari 32 anak penghuni penjara yang diwawancarai, mengaku mengalami penyiksaan selama penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian.
Sementara itu, setiap tahun sebanyak 6.000 anak di Indonesia berhadapan dengan hukum. Dari jumlah itu, 3.800 di antaranya berakhir di penjara anak. Sisanya ditahan di penjara orang dewasa, tahanan polisi dan tempat lain yang tidak layak bagi anak.
Menurut Ketua KPAI, Maria Ulfa Ansor, status bermasalah dengan hukum tidak lantas menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki anak.
“Peradilan itu adalah sama dengan pidana dan sama dengan penjara, tetapi bagaimana memberikan punishment kepada anak secara manusiawi, menghargai juga terhadap hak-hak anak. Jadi meskipun anak itu secara hukum mungkin salah, tetapi hukumannya tidak seperti orang dewasa, masuk di penjara misalnya, tetapi anak tetap masih bisa sekolah, anak tetap dalam pengasuhan orang tuanya, tetap dalam perlindungan hak-hak yang lainnya,” kata Maria.
Di banyak negara, penjara anak sudah ditiadakan. Direktur LSM Pusat Kajian & Perlindungan Anak, Ahmad Sofian, menuturkan di negara-negara lingkungan ASEAN, misalnya Malaysia atau Phillipina jauh lebih baik dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
“Batas usia mereka sudah lebih baik, di atas 12 tahun. Kemudian anak tidak disatukan dengan orang dewasa sejak penahanan, proses persidangan juga dalam suasana kekeluargaan, dan mereka tidak dibina satu komplek dengan pembinaan orang dewasa. Jadi terpisah di bawah Kementerian Sosial. Itu sudah menjadi paradigma universal. Jadi kalau Indonesia masih berpandangan bahwa pembinaan anak-anak yang berhadapan dengan hukum itu di bawah Kementerian Hukum & HAM, revisi Undang Undang Peradilan Anak itu enggak ada gunanya karena perspektifnya masih pemenjaraan kepada anak, ” jelas Sofian.
Undang-Undang Peradilan Anak
Saat ini revisi UU Peradilan Anak di Indonesia, masih sebatas Rancangan Undang Undang (RUU). Banyak masyarakat yang mendesak agar RUU Peradilan Anak ini segera disahkan menjadi UU agar anak tidak diperlakukan seperti orang dewasa, ketika mereka melakukan sebuah perbuatan yang melawan hukum. Dalam RUU Peradilan Anak itu, telah ditegaskan tidak boleh ada penjara bagi anak.
Balwin Simatupang, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum & HAM Propinsi Sumatera Utara, kelihatan enggan memberikan komentar soal keberadaan penjara/lapas anak.
“Kita lihat perbuatannya, tentunya kalau kita bandingkan dengan luar negeri katakanlah Swedia, Norwegia, ya memang tidak semua anak yang bermasalah dengan hukum itu harus dimasukkan ke dalam penjara. Jadi kita lihat secara kasuistik,” kata Balwin.
Perihal perkembangan pembahasan RUU Peradilan Anak yang saat ini sedang dibahas DPR-RI, pun Balwin Simatupang menolak untuk berkomentar.
“Aduh, saya pikir enggak sampai kompetensi saya kesana walaupun saya memahami tapi saya membatasi diri lah kalau persoalan itu,” tegasnya.
Berbicara soal sistem peradilan anak di Indonesia, saat ini terdapat UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun banyak pihak yang perduli dengan isu anak justru menganggap UU ini sebagai produk hukum yang gagal melindungi anak dari proses kriminalisasi. UU itu justru mengarahkan anak untuk dipidanakan. Selain itu, dalam proses pengadilan, anak diperlakukan layaknya orang dewasa.
Anehnya produk hukum yang ada di Indonesia, terkadang selalu bertentangan satu sama lain. Misalnya, adanya UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang semangatnya justru melindungi hak-hak anak, salah satunya ketika bermasalah dengan hukum.
Kasus anak yang terjerat hukum di Indonesia, saat ini tercatat mencapai 6.236 kasus sehingga pembahasan RUU Peradilan Anak ini harus secepatnya dituntaskan oleh DPR-RI agar masalah sistem peradilan anak di Indonesia tidak lagi seperti yang selama ini terjadi.
Paradigma yang akan dibangun dalam RUU Peradilan Anak ini adalah bagaimana anak yang berhadapan dengan hukum tidak serta merta dalam waktu yang bersamaan harus berhadapan dengan institusi penegak hukum. Dengan paradigma ini menurut Direktur Pusat Kajian & Perlindungan Anak, Ahmad Sofian, ada pembedaan penanganan antara anak yang bermasalah dengan hukum dengan orang dewasa.
“Dalam RUU Peradilan Anak itu, yang paling penting bagaimana anak yang berhadapan dengan hukum itu tidak dijatuhi hukuman dan dibawa ke peradilan formal, penaikan batas usia, jaminan pendidikan ketika anak menghadapi proses peradilan, dan rehablilitasi pasca berhadapan dengan putusan pengadilan,” kata Sofian.
Beberapa orang anak yang sudah keluar dari penjara/lapas anak yang berhasil ditemui, dengan alasan malu kepada masyarakat, dan takut kepada aparat, tidak bersedia diwawancarai. Mereka hanya mengatakan, anak-anak yang dipenjara kebanyakan tidak mendapatkan efek jera, malah memperoleh keahlian untuk melakukan kejahatan baru setelah keluar dari penjara.
Hal yang sama dilakukan orang tua anak-anak yang bermasalah dengan hukum itu. Mereka mengatakan, malu atas cap mantan narapidana yang kini di sandang anaknya yang susah diterima kembali oleh masyarakat. Salah seorang narapidana anak, sebut saja Adi, menuturkan bagaimana ia tidak betah berada dipenjara karena kondisi yang sangat tidak layak, belum lagi sekeluarnya dari penjara nanti harus menanggung embel-embel sebagai mantan narapidana. [KM-01]