MEDAN, KabarMedan.com | “Sepertinya ini mulai serius,” ungkap seorang pria yang memiliki perawakan besar, rambut mulai putih meng-abu dengan kunciran khasnya. Entah mengapa pada awalnya ini hanya tentang menceritakan pengalaman-pengalaman yang sudah biasa dilakukannya. Hanya sebuah narasi biasa yang bisa dianggap sebuah dongeng bagi anak-anak dan terasa mudah untuk disampaikan.
Ia adalah Rizanul Arifin, salah seorang inspirator yang turut berpartisipasi mengajar di SDN 064026 Kecamatan Medan Tuntungan, pada “Hari Inspirasi” yang dilaksanakan Kelas Inspirasi Medan, Kamis (5/3/2015).
Kepada siswa sekolah Dasar Rizanul menuturkan pengalaman dan profesinya sebagai Jurnalis di salah Surat Kabar di kota Medan.
Ternyata ada yang beda, ketika ia telah mengetahui ada tanggung jawab dan hal-hal inti yang perlu diselipkan juga sembari dia menceritakan pengalaman tersebut. Ia harus menyampaikan bahwa ada kejujuran dalam menceritakan pengalaman itu, ada kerja keras demi ia mendapatkan pengalaman itu, pantang menyerah untuk mempertahankan pengalaman itu, dan kemandirian didalam dirinya sendiri agar pengalaman itu terjalin di setiap ia menjalani kehidupan.
Sebanyak 42 anak SD usia 6-7 tahunan mengerumuninya sambil menempelkan cita-cita di kertas yang ia bagikan. Diantara mereka sibuk minta tos lima jari dan diantaranya ada yang spontan memeluk pinggang Rizanul.
Dan sampailah ia pada hari penyampaian dongeng itu, dongeng yang nyata itu. Bukan hanya sekali, 6 kali ia harus menceritakan pengalaman itu berulang-ulang di 6 kelas. Tentunya sangat menguras seluruh tenaganya, padahal jantungnya sedang tidak berpihak padanya (sehari sebelum Hari Inspirasi, Rizanul sempat terkena serangan jantung=red), namun ia menguatkan diri keesokan harinya untuk tetap mengajar di Hari Inspirasi. Hal itu ia lakukan dengan segenap hati. Dengan harapan bahwa hal-hal yang disampaikannya akan terserap di dalam jiwa setiap anak.
“Jadi guru tidak mudah. Sangat tidak mudah. Kita yang satu hari saja kewalahan, apalagi setiap guru yang datang setiap hari, yang benar-benar melakukan ini untuk anak bangsa. Saya merasa anak-anak kelas 1, 2, dan 3 lebih mudah dipahami. Mereka masih sangat relatif jujur dalam bersikap. Walau cara berpikirnya penuh dengan ego, tapi mereka bisa merasakan kalau kita serius mengajak mereka berinteraksi. Saya rasakan itu saat berakhirnya jam belajar di kelas 1. Merinding rasanya saat itu ternyata begitu rasanya mengajar anak kelas 1 dan 2 SD,” tuturnya.
Berharap dongeng nyata yang ia sampaikan akan terekam dalam alam bawah sadar anak-anak. Berharap pohon yang ia hias bersama cita-cita anak-anak ini, akan senantiasa diingat, bahwa anak-anak ini harus merawat pohonnya agar tumbuh cantik dan berbuah manis. Sama seperti cita-cita mereka, dirawat dan dipoles sedemikian rupa agar menghasilkan masa depan yang cerah bagi mereka. [KI STORY/Teks oleh : Goldha Hildayani]