[CEK FAKTA] Benarkah Obat Tocilizumab Diklaim Bisa Sembuhkan 90 Persen Pasien COVID-19?

JAKARTA, KabarMedan.com | Sebuah situs https://goodmothers.raulaz.com/ menayangkan artikel berjudul “Alhamdulillah,Ilmuan Temukan Obat Baru Untuk Virus C0R0NA, Sembuhkan 90% Meski Kondisi Pasien Kritis”.

Berita yang diunggah sejak 28 Maret 2020 tersebut masuk ke dalam kolom berita populer. Bagaimana tidak, isi berita itu mampu menyedot banyak perhatian. Sebab, ditengah pandemi Covid-19 yang melanda, berita ini seakan memberi jalan keluar bagi semua orang.

Berita tersebut seakan membuat heboh karena menyatakan beberapa waktu yang lalu ada kabar gembira bahwa ada obat yang digunakan untuk menyembuhkan pasien dari virus corona. Belum lagi, berita tersebut disukai (like) sebanyak 813 akun dan dishare ke sejumlah grup Facebook.

Dalam berita yang dibagikan, Obat Avigan dari Jepang dan chloroquin, obat Malaria yang selama ini mudah dijumpai di Indonesia juga disebutkan.

Meski tidak resmi, namun kedua obat tersebut sudah dijadikan alternatif untuk mengobati pasien virus corona.

Narasi ini semakin dikuatkan dengan premis, saat ini ada kabar gembira lagi bahwa ditemukan obat baru diyakini juga bisa digunakan untuk mengobati Covid-19. Bahkan obat tersebut memiliki rasio besar hingga 90% bisa menyembuhkan dari virus corona.

Dilansir oleh Daily Star pada Kamis (26/3/2020), sebuah obat ditemukan untuk melawan virus corona dan bahkan disebut memiliki rasio 90% untuk menyembuhkan.

Hal itu dibuktikan dalam uji coba pertama. Pasien Covid-19 yang didiagnosis kondisinya parah atau kritis di dua rumah sakit terpisah di Provinsi Anhui, China Timur.

Mereka diberi obat yang disebut tocilizumab bersama secara rutin antara 5-14 Februari. Hasilnya efektif, keduanya bisa disembuhkan dan memberikan perubahan signifikan.

Ini bisa menjadi temuan besar dalam membantu mengatasi pandemi yang belum ditemukan solusinya hingga saat ini. Tocilizumab atau dikenal dengan Actemra diproduksi oleh perusahaan farmasi Swiss Roche.

Biasanya obat ini digunakan untuk mengobati radang sendi. Lima belas dari 20 pasien yang terlibat dalam percobaan dapat menurunkan asupan oksigen.

Dengan 19 pasien dipulangkan rata-rata 13,5 hari setelah perawatan.

Studi ini menyimpulkan “Tocilizumab adalah pengobatan yang efektif pada pasien Covid-19 yang parah yang memberi strategi terapi baru untuk penyakit fatal ini.”

Tocilizumab membantu menurunkan kadar protein interleukin 6 tinggi yang membantu beberapa penyakit peradangan.

Genetech sebuah perusahaan bioteknologi di AS meluncurkan uji coba pada obat ini apakah bisa digunakan di Amerika.

“Kami sedang melakukan uji klinis pada Actemra untuk perawatan di rumah sakit dengan Covid-19 sehingga dapat lebih baik sehingga bisa menentukan apakah Actemra potensial dalam memerangi penyakit ini,” tertulis dalam artikel itu.

Di China penelitian dengan Actemra masih terus berjalan dan dalam uji klinis sudah diujikan pada 188 pasien dan akan terus berjalan sampai 10 Mei.

Jumat lalu, WHO mengumumkan uji coba global untuk mencari tahu obat-obatan yang potensial untuk digunakan melawan Covid-19.

Aksi tersebut disebut SOLIDARITY untuk menggunakan obat-oabatan yang tersedia yang mungkin bisa mengendalikan virus tersebut.

Jika ini berhasil bukan tidak mungkin kita tak perlu takut lagi dengan wabah penyakit ini, karena bisa diatasi dengan mudah. Berita ini pun dimuat dengan klaim bersumber dari Tribunnewswiki.com.

Meski telah diunggah sejak tiga bulan lalu. Beberapa situs memposting kembali berita serupa. Sehingga warganet pun ikut terus membagikan berita yang belum dipastikan kebenarannya itu melalui akun Facebook.

Satu diantaranya, akun Facebook Ningsih Muct yang membagikan berita serupa namun diunggah oleh situs berbeda yakni tipsdaninpirasi.blogspot.com. Berita itu diupload pada Jumat 29 Mei 2020.

Untuk memeriksa fakta dari berita ini maka dilakukan pengecekan melalui berita disejumlah media mainstream. Ternyata, berita yang menyatakan obat Tocilizumab dapat menyembuhkan Covid-19 hingga 90 persen merupakan klaim yang salah.

Pada akhir Februari 2020, ilmuwan di Akademi Ilmu Pengetahuan Cina memang menemukan hasil yang menjanjikan pada 14 pasien Covid-19 yang parah dan kritis yang dirawat dengan obat-obatan yang tersedia, termasuk Actemra, di rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas Sains dan Teknologi Cina (USTC).

Para ilmuwan di sana telah memulai uji klinis acak untuk mengevaluasi pengaplikasian obat tersebut. Berdasarkan laporan Regitrasi Uji Klinis Cina, para ilmuwan tersebut mendaftarkan 188 pasien, yang setengahnya menggunakan Actemra.

Meskipun begitu, Actemra tidak secara langsung membunuh virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Actemra berfungsi menghambat reseptor interleukin 6 (IL-6), sebuah sitokin proinflamasi. Ilmuwan USTC dan kelompok penelitian lain menduga IL-6 adalah penyebab utama dalam reaksi berlebihan kekebalan tubuh atau badai sitokin pada pasien Covid-19.

Saat terjangkit Covid-19, tubuh dapat merespons patogen dengan memproduksi sel-sel kekebalan secara berlebihan dalam sebuah fenomena berbahaya yang disebut badai sitokin.

Peradangan paru-paru serupa terjadi pada pasien SARS selama wabah di tahun 2003, terutama di Cina. Pada awal Maret 2020, otoritas Cina merekomendasikan penggunaan Actemra terbatas bagi pasien Covid-19 yang mengalami badai sitokin yang berpotensi merusak jaringan paru-paru.

Di Amerika Serikat, Tocilizumab juga sedang diuji klinis kepada pasien Covid-19. Pada akhir April 2020, uji klinis oleh University of California (UC) San Diego Health ini telah memasuki fase ketiga.

Uji klinis tersebut bertujuan untuk menilai apakah obat itu dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien Covid-19 yang memiliki kerusakan paru-paru serius.

Pada uji klinis ketiga ini, UC San Diego Health melakukan percobaan intervensi acak dengan mendaftarkan sekitar 330 peserta di hampir 70 lokasi di seluruh dunia. Peserta harus berusia 18 tahun ke atas dan dirawat di rumah sakit dengan diagnosis pneumonia Covid-19. Studi ini diperkirakan selesai pada 30 September 2020.

Namun, menurut penelitian lain yang diterbitkan pada 22 Mei 2020 di European Journal of Internal Medicine berjudul “Efficacy and safety of tocilizumab in severe Covid-19 patients: a single-centre retrospective cohort study”, tidak terdapat peningkatan klinis dan kematian yang signifikan secara statistik antara pasien dengan pengobatan Tocilizumab dan pasien dengan perawatan standar.

Penelitian yang dilakukan terhadap 65 pasien ini, yang 32 di antaranya dirawat dengan Tocilizumab, juga mencatat infeksi bakteri atau jamur pada 13 persen pasien dengan Tocilizumab serta pada 12 persen pasien perawatan standar.

“Konfirmasi kemanjuran dan keamanan membutuhkan uji coba terkontrol yang berkelanjutan,” demikian kesimpulan dalam studi tersebut.

Menurut dokumen Penilaian Bukti untuk Perawatan Terkait Covid-19 yang diterbitkan oleh ASHP (American Society of Health-System Pharmacists) Advancing Healthcare, penggunaan Tocilizumab di Cina memang menjanjikan. Tapi, di Italia, dua dari enam (33 persen) pasien Covid-19 yang memiliki pneumonia dan dirawat dengan Tocilizumab meninggal.

Mengutip panel National Institutes of Health dalam panduan perawatan Covid-19, tidak terdapat data klinis yang cukup untuk merekomendasikan atau menentang penggunaan Tocilizumab sebagai pengobatan Covid-19. Peran pengukuran sitokin rutin dalam menentukan tingkat keparahan dan pengobatan Covid-19 masih membutuhkan studi lebih lanjut.

Sehingga berdasarkan pemeriksaan fakta sudah dapat dibuktikan dengan jelas bahwa berita yang terus viral ini merupakan disinformasi serta klaim yang salah. Dan masuk dalam kategori konten menyesatkan. Oleh karena itu, warganet tetap dituntut harus lebih cerdas dalam memilah arus informasi yang beredar. [Fact Checker: Reinardo Sinaga]

Berkomentarlah secara bijaksana dan hindari menyinggung SARA. Komentar sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator.