BANDA ACEH, KabarMedan.com | Azan Magrib terdengar sayup dari Masjid Baitussalahin, UleeKareng, Kota Banda Aceh, bersahutan dengan sejumlah meunasah terdekat.
Abdul Hamid (46 tahun) mempercepat langkahnya melintasi pasar menuju ke tempat azan berkumandang. Berkain sarung, peci dan baju koko, Hamid siaga dengan masker di muka. Maklum wabah COVID-19 sedang mengintai tak tampak. Dialang sung masuk masjid setelah mencuci tangan dan kaki, wudhu telah siap dilakukan di rumah.
Menyiapkan masker adalah kebiasaan baru bagi Hamid, warga Ulee Kareng yang selalu menunaikan salat jemaah di Masjid Baitussalihin. Dia jemaah tetap di sana saat Magrib, Isya dan Subuh. Dua waktu salat wajib lainnya ditunaikan di meunasah dekat kantornya bekerja.
“Virus corona tak sedikit pun menyurutkan saya untuk tetap berjemaah di masjid, hal baru hanya membawa masker. Kematian ada di tangahTuhan,” katanya.
Kata Hamid, heboh virus corona di Aceh sempat membuat jemaah masjid sedikit berkurang pada akhir Maret 2020. Dugaanya setelah ada warga yang positif COVID-19 dan kebijakan pemberlakuan ‘Jam Malam’ oleh Pemerintah Aceh.
Virus corona terdeteksi pertama kali di Aceh oleh pasien AA (56 tahun), meninggal pada 23 Maret 2020 saat dirawat sebagai Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.
Hasil swab yang keluar tiga hari kemudian, menunjukkan AA positif COVID-19. Saat bersamaan, dua warga Banda Aceh lainnya ikut dinyatakan positif. Sejak itu, suasana lumayan heboh menyusul sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten/Kota seperti penutupan warung dan tempat keramaian.
Forkopimda Aceh kemudian menerapkan ‘Jam Malam’ pada 29 Maret 2020. Malam di Banda Aceh seperti ‘kota hantu’. Dinilai mematikan ekonomi masyarakat kecil, ‘jam malam’ ditentang banyak pihak.
Forkopimda Aceh kemudian mengevaluasi dan mencabutnya pada 4 April 2020, menggantinya dengan berbagai sosialisasi pencegahan COVID-19 secara masif.
“Setelah ‘jam malam’ tidak ada lagi, jemaah di masjid perlahan normal kembali dan ramai,” kata Hamid.
Diakuinya, ada sedikit perubahan di masjid-masjid. Pengurus selalu mengingatkan jemaah untuk menjaga protokol kesehatan dan memakai masker, ambal disimpan dan warga diminta membawa sajadah sendiri dari rumah.
Wastafel lengkap dengan sabun juga disiapkan di halaman. Hanya sebagian masjid yang menerapkan jaga jarak saat salat.
Saat salat, ada tambahan rukun qunut nazilah sebagai doa penolak bala sebagaimana disunahkan Rasulullah Muhammad SAW. Di Masjid Baitussalihin Ulee Kareng, tak semua jemaah terlihat memakai masker saat salat berlangsung, juga tidak ada imbauan jaga jarak.
“Jika ada hanya 20 persen yang terlihat bermasker saat salat,” katanya.
Kendati demikian, Hamid sadar bahwa menjaga kesehatan penting di tengah wabah corona.
“Tidak boleh sombong dan selalu membersihkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Saya selalu mencoba berusaha dan berdoa,” katanya.
Salah seorang warga Aceh lainnya, Alfian mengungkapkan hal sama. “Bala dari Allah untuk manusia, menjaga tidak terjangkit itu wajib, ibadah tidak pengaruh,” katanya.
Dia menyakini, wudhu minimal sehari lima kali setidaknya mampu menjadi tameng bagi virus corona untuk masuk ketubuh. Selain itu, mematuhi anjuran pemerintah penting, baik saat ibadah maupun kala duduk di warung kopi.
Di masjid terbesar Aceh, Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, kondisi jemaah saat ini telah normal kembali setelah sempat berkurang kala ‘Jam Malam’ diberlakukan selama sepekan.
“Ya sekarang sudah normal jemaahnya dalam setiap pelaksanaan salat, tetapi selalu diingatkan untuk patuhi protokol kesehatan,” kata Tgk Ridwan Johan, Kepala UPTD Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Dia mengakui ketaatan warga Aceh dalam beribadah sama sekali tidak dipengaruhi COVID-19. Awalnya, saat heboh corona ada beberapa jemaah tetap yang tidak terlihat di masjid, tetapi mereka telah hadir kembali seiring dengan kegiatan ibadah yang terus berlangsung di sana.
“Kalau soal keberanian, warga Aceh memang dikenal sejak dulu. Saat perang dan konflik saja berani dan tidak meninggalkan masjid, apalagi sekarang,” katanya terkekeh.
Kendati tak ditutup saat wabah corona, Masjid Raya Baiturrahman menerapkan sejumlah protokol pencegahan COVID-19 yang dikeluarkan pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Selain imbauan memakai masker, dan menyiapkan wastafel di pintu masuk, masjid itu juga menggudangkan semua ambal dan menerapkan jaga jarak saf, terutama saat salat Jumat.
Pelaksanaan ibadah di Aceh dalam kondisi apapun termasuk di tengah pandemi COVID-19, warga selalu merujuk pada pendapat-pendapat yang dikeluarkan MPU Aceh.
Lembaga yang disebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) di provinsi lainnya, telah mengeluarkan setidaknya dua tausyiah terkait kegiatan ibadah dan sosial keagamaan selama wabah melanda.
Pertama adalah Tausyiah MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2020 tentang Tentang Pelaksanaan Ibadah dan Kegiatan Sosial Keagamaan Lainnya dalam Kondisi Darurat, dikeluarkan pada 31 Maret 2020.
Memuat tujuh poin, berisikan antara lain: seorang muslim dibolehkan tidak melakukan salat berjemaah di masjid-masjid, meunasah atau mushalla dan boleh tidak melaksanakan shalat Jumat, tetapi wajib menggantikan dengan salat dhuhur di kediaman masing-masing.
Tausyiah yang dikeluarkan saat virus corona heboh di Aceh tersebut, tidak melarang warga untuk melaksanakan salat jemaah di masjid, dengan tetap mematuhi protokol pencegahan COVID-19.
Kedua adalah Tausyiah MPU Aceh Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Ibadah Bulan Ramadan dan Kegiatan Keagamaan Lainnya Tahun 1441 H, dikeluarkan 21 April 2020 atau jelang Ramadan. Tausyiah ini memuat 13 poin, di antaranya berisi boleh melaksanakan tarawih berjemaah, salat Idul Fitri berjemaah di masjid dan lapangan dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.
Hanya kegiatan sosial keagamaan yang dilarang, seperti gelar buka puasa bersama di masjid-masjid, takbir keliling dan acara yang mengumpulkan banyak orang lainnya. MPU Aceh punya alasan kuat dan kajian sebelum mengeluarkan produk hukum itu, kendati pemerintah telah menetapkan Aceh sebagai darurat COVID-19.
“Ketentuan cara ibadah mengikuti konsep darurat itu, karena dalam fiqih (Islam) ada konsep darurat,” kata Tgk Faisal Ali, Wakil Ketua MPU Aceh.
Menurutnya, MPU selalu melihat apakah darurat yang ditentukan oleh pemerintah mempengaruhi kegiatan ibadah, dan apakah bisa diterapkan darurat itu kepada ibadah. Maka, MPU kemudian merumuskan hukum mengenai tata cara ibadah sesuai konsep darurat dalam perspektif syariat Islam.
“Maka diberlakukan darurat-darurat (lain) saat ini, dikeluarkanlah tausyiah,” kata Tgk Faisal.
Beliau menilai, masyarakat Aceh dikenal taat dan biasa melaksanakan ibadah di masjid-masjid. Dalam pandemi COVID-19, kebiasaan itu terus berjalan dengan sejumlah perhitungan. Persoalannya karena status Aceh tidak naik pada zona merah COVID-19.
“Tapi kalau pemerintah berdasarkan fakta menaikkan status Aceh menjadi merah, maka masyarakat akan mematuhi dan tata cara pelaksanaan ibadah juga akan mengikuti,” kata Tgk Faisal.
COVID-19 di Aceh yang tidak parah, tata laksana ibadah tetap berlangsung seperti biasa.
“Saya kira masyarakat cukup fleksibel terhadap ketentuan-ketentuan yang dihasilkan oleh pemerintah dan juga para ulama. Ada satu dua (berbeda) wajarlah, karena pemahaman mungkin berbeda,” sambungnya.
Pengakuannya, dalam pelaksanaan ibadah masyarakat Aceh selalu mematuhi aturan yang dikeluarkan MPU. Misalnya kalau pemerintah mengeluarkan status zona merah, tetapi tidak diikuti oleh fatwa atau tausyiah ulama, masyarakat tidak akan tunduk.
“Orang Aceh mengikuti kepada para ulama (soal ibadah), apapun yang sudah ulama katakan akan tetap dipercayai argumentasinya.”
Ada perbedaan antara aturan yang dikeluarkan MUI Pusat dengan MPU di Aceh terkait persoalan ibadah di masa pandemi COVID-19.
Kata Tgk Faisal, perbedaan memang terlihat oleh masyarakat awam, karena masyarakat awam melihat judul saja, tapi bagi masyarakat intelektual yang membaca satu persatu item yang dianjurkan oleh MUI Pusat, dan item-item yang dianjurkan oleh MPU Aceh maupun MUI-MUI daerah lain, tidak ada pertentangan.
Ada kesamaan-kesamaan prinsip hukum, hanya saja yang membedakan dalam konteks implementasi. Perbedaan karena kondisi di masing-masing daerah juga berbeda-beda status. Contohnya; MUI Pusat mengeluarkan pendapat pada daerah yang pandemi corona tidak terkendali, salat tidak perlu dilaksanakan berjemaah, cukup di rumah.
“Jadi di Aceh juga seperti itu, hanya saja Aceh kan bukan (zona) merah. Kalau didalami semua produk-produk itu tidak ada yang bertentangan, cuma judul saja yang terpahami bertentangan. MUI Pusat dan MPU Aceh selalu berkomunikasi setiap hari merespons perkembangan-perkembangan di daerah masing-masing,” jelas Tgk Faisal.
Doa-doa pengusir wabah corona diajurkan para ulama, termasuk anjuran untuk menambah qunut nazilah dalam setiap salat lima waktu. Bahkan, banyak masjid yang menggelar zikir dan doa bersama untuk menolak wabah, seperti digelar pertama kali di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada Februari silam.
“Salah satu upaya dan senjata kita adalah doa. Doa adalah senjata orang beriman, doa dapat menolak bala,” kata Ustadz Masrul Aidi, Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keueng dalam tausyiahnya.
Perumpamaan dari muslim yang beriman adalah ikut merasakan apa yang dirasakan mereka yang terdampak dari sebuah kejadian (musibah). Salah satu cara yang dapat dilakukan seorang muslim adalah menyampaikan doa dan zikir memohon kepada Allah agar musibah tersebut diangkat Allah dari muka bumi.
Warung Kopi di Tengah Pandemi
Bakda Magrib, Jihadul kembali ke warung kopi langganannya di kawasan Lampineung, Banda Aceh. Sesampai di sana, langsung merapat ke sebuah meja bersama bersama beberapa rekan. Mereka lalu larut dalam percakapan tentang segala hal dari politik, kehidupan sosial, keluarga, sampai hiburan.
Dia tak segan rapat tanpa jarak dengan rekan, mereka telah saling kenal dan tahu jejak perjalanan masing-masing, tak ada yang baru dari zona merah COVID-19.
“Saya tetap siaga dengan masker,” kata Bang Doel, begitu dia kerap disapa menunjukkan kebiasaan barunya.
Warung-warung kopi di Banda Aceh dan Aceh secara umum selalu ramai kendati di tengah COVID-19. Sempat lengang sejenak saat ‘Jam Malam’ diberlakukan, tempat itu normal kembali sesudahnya. Kebiasaan ngopi dan ngumpul di warung telah menjadi budaya bagi warga sejak lama.
Tak heran, Kota Banda Aceh sendiri dijuluki sebagai kota 1001 warung kopi. Pemerintah tak menutup mata pada fenomena ini. Aparat gabungan dari Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 selalu turun ke lapangan melakukan sosialisasi, seperti jaga jarak dan selalu memakai masker.
Salah satu sasaran razia adalah warung kopi dan café. Bahkan Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penggunaan Masker dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19. Melanggar aturan akan dikenakan sejumlah sanksi, paling berat adalah pencabutan sementara Kartu Identitas Penduduk (KTP).
Kepala Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, Muhammad Hidayat, mengatakan saat ini razia masker mulai kurang dilakukan sejak Banda Aceh beralih status menjadi zona kuning dari zona merah pada pekan lalu.
“Karena telah berubah status menjadi zona kuning, tentu new normal mungkin akan diterapkan. Namun, tetap mengindahkan protokol Kesehatan,” katanya.
Banda Aceh ditetapkan sebagai zona merah COVID-19 bersama 8 Kabupaten/Kota lainnya, pada 2 Juni 2020, sesuai Surat Edaran Gubernur Aceh bernomor 440/7810 tentang Penerapan Masyarakat Produktif dan Aman Corona (COVID-19) pada Kriteria Zona Merah dan Zona Hijau di Aceh.
Sepekan kemudian, semuanya beralih menjadi zona kuning. Razia kepatuhan pada protokol COVID-19 tetap dilakukan kendati tidak intensif di Banda Aceh. Hai ini dipengaruhi berkurang kesadaran masyarakat dalam menggunakan masker, mungkin karena sudah menganggap Banda Aceh secara umum telah aman.
“Jadi mereka menganggap COVID-19 ini, mungkin tidak dirisaukan lagi. Padahal kita sudah harus lebih waspada, karena jelang new normal ke depannya banyak pelonggaran,” kata Hidayat.
Secara umum kondisi Banda Aceh telah normal kendati new normal belum ditetapkan. Selain warung dan rumah ibadah, pasar-pasar ramai saban hari, mall dan pusat perbelanjaan mulai buka, juga sejumlah lokasi wisata. Hanya sekolah yang belum berjalan seperti biasa.
Menurutnya, pengawasan pola hidup warga akan terus dilakukan kendati new normal diterapkan nantinya. Targetnya adalah sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat untuk hidup sehat dan patuh protokol pencegahan COVID-19, seperti memakai masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak.
Sejumlah tantangan dihadapi para personel Tim Gabungan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di Banda Aceh. Hambatan terberat adalah mengajak masyarakat sadar akan wabah COVID-19.
“Hari ini dengan ODP, PDP, dan Positif yang tidak ada penambahan membuat masyarakat lengah. Padahal semuanya tetap waspada, mana tahu suatu saat akan bertambah kalau kita tidak waspada. Kita tidak menginginkan ini di Banda Aceh dan Aceh secara umum,” kata Hidayat.
Meningkatkan kewaspadaan warga menjadi salah satu target tim saat ini, jelang rencana pemberlakuan new normal di Aceh dan Banda Aceh khusunya.
“Mungkin dengan kewaspadaan dan mematuhi protokol kesehatan, kasus-kasus ini akan menurun dan tidak ada lagi di Aceh,” cetusnya.
Wilayah dengan COVID-19 Terendah se-Indonesia
Melihat kondisi sosial dan masyarakat di Aceh, banyak yang kaget dan seakan tak percaya saat Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penangan COVID-19 Nasional, Achmad Yurianto memuji masyarakat Aceh yang dinilai disiplin menjalankan anjuran pemerintah, menjalankan protokol kesehatan. Hal ini mengingat kasus di Aceh terus turun dan paling rendah di Indonesia.
“Banyak yang bertanya kepada saya, menilai pernyataan Achmad Yurianto ini tidak sesuai dengan fakta (disiplin) kehidupan sosial di Aceh,” kata Saifullah Abdulgani alias SAG, Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Aceh.
Pujian terhadap Aceh disampaikam Achmad di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (24/5/2020).
Dia menyoroti peran serta tokoh masyarakat Aceh dalam rangka memutus rantai penyebaran COVID-19. Menurutnya para tokoh masyarakat seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh yang lain menjadi kunci keberhasilan dalam memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat, sehingga dapat menerapkan apa yang menjadi langkah upaya pencegahan penularan virus corona jenis baru itu.
“Pasti ini peran dari tokoh masyarakat, bukan hanya dari peran pemerintah. Tapi tokoh masyarakat memegang peran kunci. Karena saya paham betul masyarakat Aceh itu masyarakat yang masih sangat patuh kepada tokoh-tokoh masyarakat,” katanya dikutip laman resmi Pemerintah Indonesia dalam penanganan COVID-19.
Menurut SAG, pernyatan tersebut sempat memunculkan debat di jejaring media sosial dan warung- warung. Maklum, masyarakat Aceh tampak tak terpengaruh dengan COVID-19 sebagai fobia yang sedang melanda dunia.
Kehidupan masyarakat juga tampak normal, misalnya berbelanja di pasar seperti lazimnya, tidak berjarak antar sesama dan sebagian tidak patuh memakai masker. Pelaksanaan salat berjamaah di masjid dan mushala berlangsung seperti biasa, tak terkecuali saat salat tarawih di bulan Ramadan maupun salat Idul Fitri.
Pengunjung warung kopi dan cafe juga tidak menyusut, baik siang maupun malam hari. Pemandangan itu mudah ditemukan di perbagai kota seluruh Aceh. Mereka minum kopi satu meja seperti biasa, bahkan ada yang agak berdesakan.
“Pemandangan itu menunjukkan tidak ada yang berubah. Bagi masyarakat Aceh, dunia sedang baik-baik saja meski Badan Kesehatan Dunia, WHO, telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi,” jelas SAG.
Pandangan itu sah-sah saja dan tak bisa dipungkiri. Tetapi, kata SAG, banyak yang lupa bahwa masyarakat Aceh sudah lebih dulu teredukasi tentang virus corona, penyebab COVID-19 itu dibandingkan wilayah lainnya. Media massa di Aceh telah gencar memberitakan tentang maupun COVID-19 sejak 25 Januari 2020.
Ini berawal dari lockdown-nya Kota Wuhan, Provinsi Hubai, China pada 24 Januari 2020. Saat itu, 13 mahasiswa asal Aceh terkurung di sana, mereka meminta perhatian Pemerintah Aceh. Menyikapi situasi tersebut, Pemerintah Aceh membuka Posko Pusat Komunikasi dan Informasi Masyarakat Aceh Kota Wuhan, memudahkan koordinasi.
Posko Informasi yang berlokasi di Dinas Sosial Aceh itu, kemudian menjadi gerbang lalu-lintas informasi dan komunikasi antar unsur pemerintah, mahasiswa Aceh di Kota Wuhan dan wilayah China lainnya.
Setiap perkembangan disampaikan kepada media, menjadi edukasi bagi warga. Pertukaran informasi terus berlangsung, sampai para mahasiswa tersebut dipulangkan Pemerintah Indonesia bersama mahasiswa asal provinsi lainnya, awal Februari 2020.
Menurut SAG, pemberitaan media yang masif memiliki efek edukasi positif bagi masyarakat. Masyarakat Aceh telah terbanjiri informasi tentang virus corona, jauh sebelum WHO menetapkan status Kota Wuhan sebagai Publik Health Emergensi Internasional Concern (PHIC), melainkan masih berstatus High Risk China.
Posko Informasi tersebut tak ditutup, meski 13 mahasiswa telah pulang ke Aceh pada 15 Februari setelah menjalani obeservasi di Natuna. Pemerintah Aceh terus melakukan sosialisasi untuk pencegahan virus corona, salah satunya melalui Surat Edaran Gubernur Aceh, Nomor 440/4820 tentang Cegah Virus Corona Melalui Ibadah, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Surat itu bertanggal 12 Maret 2020, ditujukan kepada bupati/wali kota, Rektor, Pimpinan Instansi Vertikal, Satuan Kerja Perangkat Pemerintah Aceh (SKPA), BUMN/BUMD, Perbankan, dan seluruh lapisan masyarakat.
“Artinya surat Edaran Gubernur Aceh ini terbit satu hari setelah WHO menetapkan pandemi COVID-19 dan satu hari sebelum Presiden RI menandatangani Kepres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19,” jelas SAG.
Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh kemudian sepakat menerapkan ‘Jam Malam’ pada 29 Maret 2020, selanjutnya dicabut pada 4 April 2020, untuk disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Jadi, rendahnya kasus COVID-19 di Aceh karena Pemerintah Aceh telah bertindak lebih cepat dan masyarakat telah terpapar informasi yang cukup melalui pelbagai media massa,” katanya.
“Ketika Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, masyarakat Aceh sudah tidak asing. Mereka tidak panik lagi,” sambung SAG.
Masyarakat Aceh juga ikut bertindak saat kasus COVID-19 pertama ditemukan di Aceh. Banyak gampong (desa) yang melakukan sosialisasi maupun lockdown mandiri untuk menjaga wilayahnya tak bebas keluar-masuk pendatang. Kesiagaan itu terlihat di beberapa desa dalam kawasan Banda Aceh, seperti di Gampong Lampaseh Kota, Gampomg Surin, dan Gampong Lambung. Keterlibatan warga menjaga wilayahnya dinilai sebagai kunci pencegahan meluasnya virus corona di Aceh.
Tak hanya itu, SAG mengklaim protokol kesehatan juga dijalankan dengan disiplin tinggi oleh Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang terdeteksi di Aceh.
“Mereka patuh melakukan isolasi mandiri di rumahnya selama 14 hari. Mereka tidak melaksanakan salat di mesjid atau meunasah, tidak pula berkeliaran di tempat-tempat umum, warung kopi maupun café. Orang-orang di desa ikut mengawasi,” jelasnya.
Alhasil, kasus positif COVID-19 di Aceh menjadi paling rendah di Indonesia. Data terakhir sampai Minggu (14/6/2020), tercatat sebanyak 27 kasus positif, 19 di antaranya telah dinyatakan sembuh, 7 masih dalam perawatan, dan 1 lainnya meninggal dunia.
Wabah dalam Sejarah Aceh
Di tengah anjuran larangan bekumpul, dua ratusan warga memenuhi meunasah Gampong (desa) Gla Meunasah Baro, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Sabtu (28/3/2020) malam.
Sebuah hajatan ritual sedang disiapkan, tolak bala wabah Virus Corona atau COVID-19. Lelaki tua dan muda serta anak-anak membentuk barisan, beberapa memegang suluh atau obor, kertas doa dibagikan.
Sementara kaum perempuan berdiam di meunasah, untuk melafazkan Surah Yasin. Tuha Peut (tetua) Gampong, Fazilan memberi petunjuk dari pengeras suara.
“Sambil berjalan keliling kampung, tetap menjaga jarak, jangan berdekatan,” katanya.
Sambil berjalan, doa-doa dilantunkan. Sesekali rombongan berhenti dan muazin tampil mengumandangkan azan. Salah satu surat Al-Quran yang diulang-ulang adalah Al Isra ayat 81: “Waqul jaa-al haqqu wazahaqal baathilu innal baathila kaana zahuuqan” (Dan katakanlah telah datang kebenaran itu dan bakal lenyap yang bathil. Sesungguhnya yang batil itu pasti akan lenyap).
Tak hanya di Gampong Gla, beberapa desa lainnya melakukan hal sama saat virus corona merebak di Aceh. Ritual ini sudah menjadi tradisi sejak ratusan tahun di Aceh, jika ada wabah penyakit maupun marabahaya lainnya.
Salah seorang warga, Husaini, mengakui pada tahun 1960-an, hal serupa pernah dipraktikkan di sana.
“Dulu ada wabah seperti cacar yang setiap hari memakan korban, warga juga menggelar ritual ini,” katanya.
Pemerhati sejarah dan budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, mengungkapkan, ritual-ritual keagamaan itu dikenal di seluruh Aceh sejak dulu. Saat wabah corona mewabah, tradisi dipimpin oleh para ulama dan teungku-teungku di gampong, dilakukan berturut-turut selama 7 hari.
“Ini semua dilakukan atas anjuran para alim ulama di Aceh pada awal-awal wabah terjadi,” katanya.
Sejak dulu Aceh akrab dengan bencana dan wabah. Hal itu bahkan tertulis dengan lengkap dan detail dalam sejumlah literatur Aceh seperti dalam manuskrip kuno dan catatan sejarah lainnya, tentang berbagai peristiwa yang pernah dialami beberapa abad sebelumnya.
“Orang-orang Aceh sejak dahulu kala mengenah wabah, yang disebut Thae’un, ini terjadi di Aceh beberapa kali,” katanya.
Wabah thae’un dulunya juga bukan produk Aceh, tapi sebagai penyakit yang diimpor pendatang asing yang datang ke Aceh dan menularkan kepada masyarakat.
Pada saat itu, masyarakat telah memikirkan segala pengetahuan tentang obat-obatan, makanan dan menerapkan pola hidup bersih. Termasuk beberapa ritual pengusir wabah yang disertai doa-doa memohon kesembuhan kepada Allah.
Ketaatan warga Aceh dalam beragama dimulai sejak lahirnya kerajaan Islam pertama Nusantara, Samudera Pasai (Aceh Utara) pada abad ke-13. Pusat pemerintahan kemudian bergeser ke Kesultanan Aceh Darussalam (Banda Aceh) sekitar abad ke-15, membuat peradaban Islam semakin maju dan mengakar dalam kehidupan warga.
“Kuatnya kehidupan beragama terwariskan hingga kini, terhubung ke sendi kehidupan lainnya termasuk saat menghadapi musibah dan wabah,” kata Tarmizi.
Menurutnya, terkait wabah corona yang melanda saat ini, masyarakat Aceh percaya bahwa makhluk kecil yang tidak mampu dilihat oleh mata manusia adalah makhluk Allah, yang menyerang manusia sesuai dengan kehendak Allah dan mematikan manusia dengan kehendak Khalidnya.
“Keyakinan itu membuat warga tak panik, di sisi lain mereka juga melaksanakan anjuran pemerintah dalam memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19 ini. Karena menjaga kesehatan juga diwajibkan agama, mereka patuh kepada para ulama,” jelasnya.
Salah satu langkah yang dilakukan misalnya, menyekat desa untuk memantau orang-orang asing yang masuk dan berinteraksi dengan penduduk. Karena mereka yakin, virus corona juga impor dari daerah lain seperti wabah-wabah yang pernah melanda Aceh dahulu kala.
Di sisi makanan, Aceh juga mengenal bahan-bahan alam Aceh untuk memperkuat imun tubuhnya.
Misalnya, lebih sering memakan daun sirih, makanan kaya rempah-rempah, minum air rebusan daun- daunan dan akar tanaman yang diyakini sebagai obat warisan peninggalan dari leluhur.
“Ini sebagai alternatif untuk menangkis dari serangan wabah,” katanya.
Sepanjang corona menjangkiti Aceh, masjid-masjid, warung dan aktivitas masyarakat tampak normal seperti biasa.
Seperti Abdul Hamid, yang kembali melangkah ke masjid saat azan Isya berkumandang. Selepas magrib tadi, dia telah menghabiskan segelas kopi panas di warung. [Kontributor: Adi Warsidi/Fotografer: Suparta]